Proses Penegakan Hukum Belum Inklusif bagi Penyandang Disabilitas
Kepastian akomodasi yang layak akan memberikan penegakan hukum yang inklusif bagi penyandang disabilitas korban kekerasan.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Penyandang disabilitas, khususnya perempuan, menjadi kelompok rentan mengalami tindak kekerasan. Namun, ketidakpastian akomodasi yang layak membuat mereka belum mendapatkan penegakan hukum yang inklusif.
Situasi tersebut tergambar pada laporan kekerasan berbasis jender dan disabilitas di Indonesia dalam Catatan Tahunan (Catahu) 2022 Sentra Advokasi Perempuan, Disabilitas, dan Anak (SAPDA). Dalam laporan tersebut, SAPDA menemukan kasus tidak adanya akomodasi yang layak dalam proses hukum yang dijalani penyandang disabilitas korban kekerasan berbasis jender dan disabilitas.
”Seharusnya penyandang disabilitas memiliki hak dan punya kapasitas hukum seperti orang tanpa disabilitas,” kata peneliti SAPDA Irma Pudyas, Selasa (18/7/2023).
Akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan. Hal ini berkaitan dengan kewajiban aparat penegak hukum memperhatikan hambatan dan mengakomodiasi jenis kebutuhan penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum.
Irma memaparkan, data dalam Catahu 2022 dikumpulkan oleh SAPDA bersama 25 lembaga pengada layanan di delapan provinsi di Indonesia. Pendataan didukung Pemerintah Australia melalui program Australia-Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2).
Dari 81 kasus kekerasan berbasis jender dan disabilitas yang terlaporkan, sebagian besar terjadi pada penyandang disabilitas perempuan, yakni 96 persen. Adapun untuk pelaku didominasi oleh orang terdekat, yakni anggota keluarga (20 orang), tetangga (15 orang), dan suami (14 orang). Kekerasan seksual menjadi bentuk kekerasan yang paling sering dialami oleh penyandang disabilitas.
”Sebanyak 67 persen korban kekerasan berbasis jender dan disabilitas bisa mengalami dua bentuk kekerasan. Bahkan, 8 persen di antaranya mendapatkan empat bentuk kekerasan sekaligus,” ujar Irma.
Irma menyebut, penanganan hukum kasus telah melibatkan lembaga terkait. Akan tetapi, akomodasi yang layak belum diperoleh secara merata oleh penyandang disabilitas korban kekerasan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas serta berbagai regulasi pendukung belum mengakomodasi proses hukum yang inklusif.
Sering kali, kata Irma, lembaga penegak hukum mengabaikan hambatan dan kebutuhan penyandang disabilitas korban kekerasan. Korban sering disangsikan kapasitas hukumnya. Sementara masih banyak aparat penegak hukum dan pengada layanan dalam penanganan kasus belum berperspektif disabilitas.
Dia mencontohkan, aparat penegak hukum di kepolisian tidak membedakan umur disabilitas. ”Ada kasus korban mengalami kekerasan seksual. Saat dimintai keterangan, korban yang berumur di atas 18 tahun dianggap suka sama suka. Padahal, secara mental dia masih berusia anak,” ucapnya.
Selain itu, sarana dan prasarana di lembaga penegak hukum yang masih terbatas turut menjadi tantangan. Begitu pun dengan terbatasnya kapasitas sumber daya manusia di peradilan atau kepolisian membuat penanganan tidak maksimal.
Perbedaan data
Anggota Komnas Perempuan Rainy Hutabarat mengungkapkan, angka kekerasan pada perempuan dan penyandang disabilitas selalu tinggi. Hal tersebut bisa terlihat dari temuan langsung serta kasus laporan dari media arus utama. Namun, dia menyayangkan hal tersebut justru berbanding terbalik laporan di lembaga hukum.
Rainy menyoroti akomodasi layak yang belum merata ini berhubungan dengan angka kekerasan yang akan terus meningkat. Hal ini bukan saja berkaitan dengan kasus yang tidak dilaporkan, melainkan juga kasus tidak terdeteksi atau diabaikan.
”Kepastian akomodasi yang layak menjadi tanggung jawab negara. Bagaimana negara memastikan aparat penegak hukum agar mereka peka dan menyetarakan (korban) di depan hukum,” kata Rainy.
Lembaga penegak dan peradilan hukum mengakui sumber daya manusia menjadi hambatan dalam penyelesaian hukum berperspektif disabilitas. Jaksa Ahli Madya Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung Erni Mustikasari mengatakan, merujuk laporan dari SAPDA, memang ada kendala dalam proses peradilan berperspektif disabilitas.
Erni mengungkapkan, PP Nomor 39 Tahun 2020 yang masih terbilang baru perlu disosialisasikan lebih komprehensif. Untuk memastikan berbagai kebutuhan akomodasi yang layak, lembaga penegak hukum masih perlu dukungan pendanaan.
Pendapat serupa diungkapkan Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Bareskrim Polri Ajun Komisaris Besar Ema Rahmawati.
Ema menyampaikan, kepolisian terkendala prosedur operasional standar (SOP) yang belum ada dalam penanganan penyandang disabilitas korban kekerasan. Dia menyebut, penyidik kepolisian belum memiliki perspektif yang mumpuni tentang penyandang disabilitas berhadapan hukum.
”Akan tetapi, saat ini kami difasilitasi AIPJ2 menyusun SOP penanganan disabilitas yang berhadapan dengan hukum di lingkungan kepolisian. Di dalamnya akan mencakup SOP, mulai dari pelaporan, pemeriksaan, penyelidikan, penyidikan, penangkapan, hingga penahanan,” ujar Ema.
Kepastian akomodasi yang layak menjadi tanggung jawab negara. Bagaimana negara memastikan aparat penegak hukum agar mereka peka dan menyetarakan korban kekerasan di depan hukum.
Sementara itu, Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Margareth Robin Korwa mengapresiasi hasil temuan SAPDA. Dia berharap temuan ini akan memperkuat pendampingan kepada penyandang disabilitas korban KBDJ harus dilakukan bersama. Hal ini sesuai dengan bagian ketiga, dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual tentang Pendampingan Korban dan Saksi.