Ironi Gizi Buruk dan ”Stunting” di Kampung Wuring yang Berlimpah Ikan
Gizi buruk dan ”stunting” tidak semata-mata karena keterbatasan akses pada makanan bergizi. Hal ini juga dipengaruhi pola asuh keluarga, literasi pangan sehat, selain pencemaran lingkungan.
Anak-anak dan perempuan Bajau di Kampung Wuring, Kabupaten Sikka, mencari kerang di laut, Rabu (19/7/2023). Sekalipun berlimpah hasil laut, banyak anak-anak di kampung ini yang kekurangan gizi dan tengkes (stunting).
Gizi buruk dan stunting masih menghantui anak-anak Bajo di Kampung Wuring, Desa Wolomarang, Kecamatan Alok Barat, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, padahal mereka berlimpah ikan. Hal ini menunjukkan, gizi buruk dan stunting tidak semata-mata karena keterbatasan akses ke makanan bergizi, tetapi juga dipengaruhi pola asuh keluarga, selain pencemaran lingkungan.
Kampung Wuring sebagian besar berada di atas laut. Rumah-rumah yang dihuni oleh orang-orang Bajau (Bajo) itu berimpit di atas tiang pancang kayu, dihubungkan jalan papan dan bambu. Sebagian rumah itu ditembok, dengan fondasi beton.
Di dasar laut yang surut sore itu, Selasa (18/7/2023), segala macam kotoran bercampur baur, mulai dari plastik hingga limbah dapur dan toilet. Laut itu juga menjadi pusat aktivitas warga Bajo.
Orangtua saya dulu biasa memberikan bubur ikan, termasuk dari kepala ikan yang dibakar dan dihancurkan, kepada anak-anak. Ada juga bubur sagu kapurung, yang isinya selain sayur juga ikan.
Rombongan perempuan dan anak-anak menyusuri pantai untuk mengumpulkan kerang dan siput laut. Sementara itu, beberapa perahu berlayar dengan membawa lelaki untuk mencari ikan ke tengah laut. Mereka akan kembali esok hari dengan membawa hasil tangkapan.
”Orang Bajo sebenarnya tidak akan pernah kekurangan ikan. Kalaupun hasil tangkapan kurang, juga ada banyak kerang dan hasil laut lain,” kata Sania (32), Ketua Kader Posyandu Kampung Wuring Laut.
Di Pasar Wuring, hasil tangkapan nelayan hari itu berlimpah. Satu mangkuk berisi 10-15 cumi segar dijual Rp 10.000. Demikian halnya satu mangkuk yang berisi enam ekor anakan tongkol juga dihargai Rp 10.000.
Semangkuk ikan dan semangkuk cumi (10-15 ekor) ini dijual Rp 10.000 di Pasar Wuring, Desa Wolomarang, Kecamatan Alok Barat, Kabupaten Sikka, NTT, Rabu (19/7/2023). Saat musim ikan dijual Rp 3.000 per mangkuk.
”Ini termasuk mahal. Kalau lagi musim, satu mangkuk itu hanya laku Rp 3.000-Rp 5.000. Kalau Rp 10.000 sudah dapat satu kantong keresek besar,” kata Sania.
Dengan keberlimpahan hasil laut ini, nyatanya kasus gizi buruk dan tengkes (stunting) anak-anak di Kampung Wuring juga ternyata masih tinggi. ”Kondisinya seperti tidak ada perbaikan. Dari tiga posyandu di Wuring, selalu saja ada anak-anak mengalami masalah gizi,” ucap Wahida Kamal (52), anggota Kader Posyandu Kampung Wuring Tengah sejak tahun 1989.
Menurut Wahida, dari 84 anak usia di bawah lima tahun (balita) di Posyandu Wuring Tengah, yang meliputi lima RT, terdapat 15 anak yang masuk kategori gizi kurang dan 5 anak stunting. ”Di posyandu lain juga hampir sama, pasti ada anak yang bermasalah gizi dan stunting,” lanjutnya.
Baca juga: Keterlibatan Keluarga dalam Penanganan Tengkes Sangat Krusial
Masalah gizi dan stunting di Kampung Wuring telah banyak dilaporkan. Misalnya, laporan penelitian Nur Asiah dan Alib Birwin dari Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Prof Dr Hamka pada 2018 menyebutkan, kejadian stunting pada anak balita di Posyandu Wuring Tengah sebesar 36,7 persen. Anak balita dengan kategori sangat kurus sebanyak 17,8 persen dan anak balita dengan kategori kurus 11,1 persen.
Masih menurut laporan Asiah dan Birwin, status gizi berdasarkan indeks berat badan menurut umur pada anak balita di Posyandu Wuring Tengah, anak balita yang mengalami masalah gizi mencapai 35,6 persen, sebanyak 12,2 persen termasuk gizi buruk dan gizi kurang 23,4 persen.
Pola asuh keluarga
Sania menyebutkan, banyaknya kasus gizi buruk dan stunting di Wuring tidak semata-mata soal kurangnya makanan bergizi. ”Banyak yang orangtuanya sebenarnya mampu, setidaknya mampu memberi makan ikan kalau mau, tetapi nyatanya anaknya stunting. Di sini banyak kasus, orang dari melaut justru menjual seluruh hasil tangkapannya dan membelikan anak-anak makanan instan,” ungkapnya.
Menurut Sania, pola asuh orangtua sangat berpengaruh bagi gizi anak-anak. ”Banyak orangtua yang terlena dengan iklan susu formula dan makanan instan untuk bayi,” lanjutnya.
Apa yang terjadi di Wuring sebenarnya juga terjadi di banyak daerah lain di Kabupaten Sikka. ”Kasus gizi buruk dan stunting di Sikka ini memang kompleks. Sebagian di antara kasus ini justru terjadi di keluarga mampu,” ujar Asep Purnama, dokter di RSUD TC Hillers Maumere yang juga pemilik Klinik Agradece.
Mengacu pada data Balitbang Kabupaten Sikka pada 2022, dari 3.984 (17,2 persen) anak balita yang mengalami stunting di Sikka, sebanyak 957 memiliki latar belakang keluarga mampu secara ekonomi. ”Jadi, solusi untuk mengatasi stunting dan gizi buruk dengan makanan tambahan saja belum tentu efektif. Apalagi, makanan tambahannya telur, sementara di sekitar mereka banyak hasil laut,” ucapnya.
Herawati Supolo Sudoyo, Ketua Komisi Ilmu Kedokteran (KIK) Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), yang tengah melakukan studi pada orang Bajo di Wuring mengatakan, masalah gizi buruk telah dibahas dalam social determinants of health oleh KIK AIPI.”Masalah gizi buruk telah menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan kesehatan pada masa tumbuh kembang. Dari sudut nutrisi, hal ini karena asupan makanan yang terbatas, baik dalam jumlah, kualitas, maupun variasi,” katanya.
Baca juga: Pencegahan Tengkes Tidak Selalu Mahal
Herawati menyebutkan, apa yang ditemukannya di Wuring menunjukkan hilangnya pengetahuan tentang makanan lokal bergizi yang biasanya diberikan sebelum anak-anak mendapat makanan pengganti. ”Menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua untuk memperkenalkan kembali makanan lokal bergizi, bukan makanan instan. Karena di Bajo sendiri memiliki tradisi penyediaan makanan bergizi untuk anak-anak mereka,” katanya.
Mbacu Gaebu (59), kader posyandu yang juga tokoh masyarakat Bajo, menyebutkan, banyak menu tradisional yang kaya gizi untuk anak-anak, tetapi sekarang sudah banyak dilupakan. ”Misalnya, orangtua saya dulu biasa memberikan bubur ikan, termasuk dari kepala ikan yang dibakar dan dihancurkan, kepada anak-anak. Itu makanan utama. Ada juga bubur sagu kapurung, yang isinya selain sayur juga ikan,” ungkapnya.
Mbacu menambahkan, orang Bajo masih mau makan hasil laut, seharusnya tidak akan kekurangan gizi. ”Untuk karbohidratnya bagi orang Bajo dulu sebenarnya hanya tambahan, dan itu bermacam-macam. Bukan hanya beras. Justru dulu lebih banyak makan sagu, singkong, dan jagung. Tetapi, yang penting ada ikan, itu harus ada tiap hari,” tuturnya.
Selain soal gizi, Herawati mengingatkan, stunting juga sangat terkait dengan masalah lingkungan. Pencemaran lingkungan bisa memicu penyakit infeksi yang berulang yang akhirnya bisa menghambat pertumbuhan anak.
”Kita tidak bisa melakukan penanganan stunting tanpa melakukan studi per daerah karena sering kali masalahnya berbeda dari satu daerah dengan daerah lain. Mereka yang tinggal di pegunungan dan pantai tentunya masalahnya berbeda, jadi penanganannya tidak bisa one size fits all. Perlu riset dan pemetaan mendalam untuk mencari solusi yang berbeda, bukan dengan semuanya diberi makanan tambahan saja,” paparnya.
Baca juga: Salah Perspektif Komunikasi dan Kebijakan Penanganan Tengkes
Untuk Bajo di Wuring, jelas bahwa masalah gizi buruk dan stunting yang masih banyak diderita anak-anak itu bukan ketiadaan sumber protein karena hasil laut mereka berlimpah. Namun, pola asuh, termasuk literasi pangan sehat, dan pencemaran lingkungan, bisa jadi menjadi faktor yang harus diperhitungkan.