Perempuan Paling Berisiko Terdampak Perubahan Iklim
Perhatian pada perempuan dan anak dari keluarga miskin, serta warga lanjut usia dan disabilitas masih rendah. Mereka juga paling rentan terdampak perubahan iklim.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan iklim berdampak signifikan bagi perempuan di Indonesia. Sebagai negara kepulauan dengan beragam ekosistem dan masyarakat, perubahan iklim menimbulkan tantangan khusus bagi perempuan, terutama yang tinggal di daerah rawan bencana dan lingkungan yang rentan.
Pada situasi bencana, perempuan berisiko menjadi korban 14 kali lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berbagai dampak perubahan iklim memengaruhi perempuan mulai dari krisis pangan, kesehatan dan sanitasi, air bersih hingga migrasi dan konflik, sosial dan ekonomi, serta kerentanan terhadap kekerasan berbasis jender.
”Dampak-dampak ini sangat berpengaruh pada kehidupan perempuan, terutama perempuan penyintas kekerasan, perempuan kepala keluarga, dan perempuan pra-sejahtera, yang kondisinya dapat diperburuk dengan perubahan iklim,” ujar Deputi bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny N Rosalin dalam ”Dialog Nasional tentang Gender dan Perubahan Iklim” di Jakarta, Senin (31/7/2023).
Kegiatan tersebut diselenggarakan Kementerian PPPA bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai bagian dari persiapan Indonesia untuk menghadiri Konferensi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) tentang Perubahan Iklim ke-28 atau COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab, pada akhir tahun 2023.
Selain untuk memenuhi komitmen Indonesia dalam melaksanakan Lima Work Programme on Gender (LWPG), dialog nasional juga menjadi langkah awal untuk menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) Gender dan Perubahan Iklim serta membentuk Sekretariat Nasional Gender dan Perubahan Iklim di Indonesia.
Menurut Lenny, perempuan petani dan nelayan sering kali mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarganya saat banjir dan kekeringan mengganggu produksi pertanian dan perikanan.
Sementara di bidang kesehatan dan sanitasi, perempuan berisiko lebih tinggi terpapar polusi udara dan banjir yang memengaruhi kesehatan mereka. Padahal, mereka harus bertanggung jawab atas kesehatan dan sanitasi keluarga.
Perempuan juga sering harus menempuh jarak yang lebih jauh untuk mengumpulkan air bersih. Hal ini dapat menyebabkan kelelahan fisik dan mengurangi waktu produktif mereka. ”Dampak perubahan iklim seperti bencana dan konflik juga dapat meningkatkan risiko kekerasan terhadap perempuan,” tambah Lenny.
Di tengah tantangan perubahan iklim yang kompleks, maka penting untuk mengakui peran kunci perempuan dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. ”Hal yang perlu menjadi pertimbangan adalah peran perempuan sebagai pengelola sumber daya alam, akses perempuan terhadap pendidikan, kesehatan, dan pelatihan, serta promosi kesetaraan jender dalam pengambilan keputusan di tingkat masyarakat, regional, nasional, bahkan internasional,” kata Lenny.
Masyarakat miskin
Vivi Yulaswati, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, menyampaikan, perubahan iklim berdampak lebih parah pada kelompok masyarakat miskin dan perempuan. Salah satunya adalah penurunan kesempatan kerja untuk perempuan.
Dia mencontohkan, pada tahun 2021, daerah-daerah di Nusa Tenggara, Jawa, dan Bali mengalami periode tanpa curah hujan yang panjang. Hal ini menurunkan produktivitas lahan dan lapangan kerja. Akibatnya, perempuan kerap menghadapi bias negatif dalam kesempatan bekerja sehingga mereka kemudian memilih bekerja di luar negeri.
”Namun, sektor ini kebanyakan tidak diatur dan cenderung eksploitatif, menyebabkan banyak perempuan menjadi korban kondisi kerja yang buruk, perlindungan hukum yang kurang, dan perdagangan manusia,” ujar Vivi.
Selain itu, perubahan iklim juga juga mengancam keamanan perempuan. Sejak tahun 2000, deforestasi dan pembalakan liar di Kalimantan Selatan dan Papua menyebabkan penduduk harus mengungsi. Di kamp pengungsian terjadi kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
Anak-anak dan bayi juga rentan terdampak kesehatannya akibat perubahan iklim. Iklim ekstrem dapat menimbulkan trauma dan mengganggu perkembangan tumbuh kembang mereka.
Selain itu, menurut Vivi, perubahan iklim juga berdampak pada masyarakat usia senja, masyarakat dengan tingkat Kesehatan fisik dan mental rendah, serta masyarakat dengan tingkat akses dan mobilitas rendah.
KLHK yang diwakili Agus Rusly, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, mendukung gagasan penyusunan Rencana Aksi Nasional Gender dan Perubahan Iklim sesuai dengan mandat LWPG ini. Hal itu sejalan dengan Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) Indonesia 2022.
”Partisipasi semua pihak untuk melaksanakan ENDC dalam rangka menurunkan emisi gas rumah kaca, sangat berarti,” ujar Agus.
KLHK juga sepakat bahwa perempuan umumnya menghadapi risiko lebih tinggi dari dampak krisis iklim, khususnya dalam situasi kemiskinan. Karena itu, dalam mengantisipasi dampak negatif perubahan iklim terhadap laki-laki dan perempuan, perlu ada pengintegrasian kesetaraan jender dalam penyusunan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta pelaksanaannya di semua sektor pembangunan.
Pendanaan iklim
Jiro Tominaga, Country Director Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) untuk Indonesia, menyatakan, pihaknya mendukung ”Dialog Nasional tentang Gender dan Perubahan Iklim” sebagai kelanjutan dari komitmen ADB dalam mendukung upaya Indonesia dalam mengarusutamakan pertimbangan jender dalam aksi iklim.
”Kami ingin perempuan mendapatkan manfaat dari aksi iklim dan berkontribusi untuk menghasilkan solusi iklim yang sangat kita butuhkan,” ujar Jiro.
Ia menegaskan, visi ADB adalah menjadi bank iklim untuk Asia dan Pasifik. Bahkan, ADB bercita-cita untuk menyediakan pendanaan iklim kumulatif sebesar 100 miliar dollar AS untuk kawasan Asia dan Pasifik pada tahun 2030.
”Mempercepat kesetaraan jender juga merupakan salah satu prioritas operasional perusahaan kami. Di ADB, kami percaya bahwa kesetaraan jender merupakan hal utama dalam pembangunan berkelanjutan,” tegas Jiro.
Sebab, berinvestasi pada perempuan dan anak perempuan tidak hanya meningkatkan kesejahteraan mereka, tetapi juga membuka potensi besar untuk pertumbuhan ekonomi dan kemajuan sosial.
Lenny menambahkan, RAN Gender dan Perubahan Iklim berdasarkanLWPG meliputi lima prioritas, yaitu pembangunan kapasitas, manajemen pengetahuan dan komunikasi, keseimbangan jender, partisipasi dan kepemimpinan perempuan; koherensi, koordinasi dan penguatan Kelembagaan; implementasi dan sarana implementasi yang tanggap jender; dan pemantauan serta pelaporan,
Adapun pembentukan sekretariat untuk Implementasi RAN Gender dan Perubahan Iklim dilengkapi dengan kelompok kerja yang diselaraskan dengan agenda Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim dalam ENDC yang terbagi dalam lima kelompok kerja.