Gali Fondasi Rumah, Warga Temukan Gading Berusia Ratusan Ribu Tahun
Seorang warga menemukan fosil gading gajah purba sewaktu menggali fondasi untuk bangunan rumahnya, di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Fosil itu diperkirakan berumur 600.000-800.000 tahun.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
SRAGEN, KOMPAS — Seorang warga menemukan fosil gading gajah purba sewaktu menggali fondasi untuk bangunan rumahnya di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Fosil itu diperkirakan berumur 600.000-800.000 tahun. Penelitian lanjutan hingga perangkaian ulang bakal dilakukan mengingat kondisi fosil dinilai sangat rapuh.
Penemu fosil itu ialah Rudi Hartono (35), warga Desa Ngebung, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen. Rumahnya berada di dalam Kawasan Situs Purbakala Sangiran. Fosil gading ditemukan Rudi ketika sedang menggali fondasi untuk rumahnya, Senin (31/7/2023). Adapun kedalaman galian saat itu baru mencapai 40 sentimeter.
”Linggis yang saya pakai kena gading. Lalu, ada yang cuwil sedikit. Ternyata, pecahan itu ada yang serat-seratnya menyerupai fosil gading. Maka, kami lapor ke pengelola museum di Kluster Ngebung,” kata Rudi saat ditemui di rumahnya, Rabu (2/8/2023).
Selanjutnya, tim dari Museum dan Cagar Budaya (MCB) Sangiran mendatangi lokasi penemuan fosil tersebut. Dari proses ekskavasi, diketahui panjang fosil itu mencapai 3,25 meter. Kondisi fosil sebagian besar cukup lapuk dan rapuh. Beberapa pecahan fosil disimpan dalam plastik transparan.
Rudi mengatakan sudah beberapa kali menemukan fosil binatang di desanya. Jenisnya macam-macam, seperti tanduk banteng hingga kaki sapi. Hanya saja, ukuran fosil sebesar itu baru pertama kali ia dapatkan. Dirinya pun berharap agar kelak fosil gading tersebut bisa dikembalikan ke titik penemuan awal tersebut.
”Sekarang pihak museum biar melakukan tindakan penyelamatan terlebih dahulu biar tidak rusak dan hancur. Nanti kalau sudah selesai prosesnya, kami harapkan bisa dikembalikan ke desa asalnya. Biar bisa jadi ikon wisata desa ini,” kata Rudi.
Rudi menyebut, ada beberapa pihak yang menghubunginya setelah penemuan fosil tersebut. Segelintir orang membujuknya supaya fosil itu dijual kepada mereka. Nilai jualnya nanti bergantung kualitas dan tingkat kerusakan fosil.
Dengan ukuran temuan sebesar itu, ia diiming-imingi harga jual mencapai Rp 10 juta. Namun, ia memilih untuk melaporkan temuan ke pengelola museum demi kepentingan kelestarian.
Pamong Budaya Ahli Muda MCB Sangiran Suwita Nugraha menyampaikan, proses penyelamatan temuan cukup menantang. Itu disebabkan tingginya tingkat kelapukan dan keretakan pada fosil gading tersebut. Bahkan, sebagian sisi gading pecah dalam proses pengangkatan dari lubang galian. Padahal, fosil itu telah diberi poliuretan sebelumnya.
”Ini ada yang patah-patah itu nanti akan dirangkai kembali menjadi bentuk fosil yang utuh. Hari ini memang baru bisa kami lakukan penyelamatan. Nanti akan kami bawa ke museum untuk kegiatan konservasi dan penelitian lebih lanjut,” kata Suwita.
Ditilik dari segi morfologinya, fosil gading itu milik gajah purba berjenis stegodon.
Menurut dia, fosil gading itu berasal dari era Pleistosen. Umurnya diperkirakan antara 600.000 tahun dan 800.000 tahun. Perkiraan itu melihat lokasi temuannya yang berada di formasi tanah kapur. Akan tetapi, pihaknya perlu meneliti kembali guna memastikan usia pasti dari temuan tersebut.
Ditilik dari segi morfologinya, fosil gading itu milik gajah purba berjenis stegodon. Ciri khusus stegodon bisa dilihat dari bentuk gading yang melingkar. Selain itu, terdapat dua jenis fosil gajah lain yang pernah ditemukan di kawasan Sangiran, yakni mastodon dan elephas.
”Kalau gading, cukup sering kita temukan. Gajah ini ukurannya besar-besar. Awal Juli kami menemukan rahang bawah gajah. Pernah juga kami temukan seperti tulang pelvis dan kepala,” ucap Suwita.
Suwita membuka peluang bagi warga jika benar-benar ingin mengelola temuan fosil itu secara mandiri. Syaratnya, warga perlu menyiapkan tempat khusus untuk memajang temuan itu. Tempat itu juga harus dipastikan mampu menjaga terawatnya kondisi fosil. Jangan sampai niat perawatan warga justru mengakibatkan kerusakan.
Demi kepentingan perawatan, lanjut Suwita, pengelola museum juga akan menugaskan tenaga ahli guna mendampingi warga. Akan tetapi, bahan-bahan perawatan mesti disediakan pula oleh warga. Tantangan lainnya berupa kondisi perubahan cuaca atau iklim mikro yang meningkatkan risiko kerusakan fosil.
”Misalnya, suhu di museum atau gudang penyimpanan fosil itu bisa diatur suhu maupun kelembapannya. Tetapi, di ruang terbuka, agen-agen untuk mempercepat proses pelapukan atau kerusakan juga akan lebih cepat. Masalah-masalah seperti ini yang harus diketahui dan diatasi oleh masyarakat yang nanti memanfaatkan cagar budaya,” kata Suwita.