Pengelolaan Sampah Makanan Antardaerah Belum Satu Visi
Timbulan sampah makanan di Indonesia setara dengan Rp 213 triliun sampai Rp 551 triliun. Namun, belum semua pemerintah daerah memiliki aturan tegas tentang pengelolaan sampah makanan.
Oleh
Stephanus Aranditio
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengelolaan sampah makanan di Indonesia masih belum satu visi. Hal ini disebabkan belum semua pemerintah daerah secara masif mendorong warganya untuk memilah sampah, terutama sampah makanan dari rumah tangga yang menjadi masalah lingkungan terbesar di dunia.
Direktur Pengurangan Sampah Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Vinda Damayanti Ansjar mengutarakan hal itu dalam Forum Diskusi Denpasar 12 secara daring pada Rabu (2/8/2023).
Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2021, timbulan sampah makanan di Indonesia mencapai 115-184 kilogram per orang per tahun. Angka itu setara dengan Rp 213 triliun sampai 551 triliun atau bisa memberi makan kepada 61 juta sampai 125 juta orang di Indonesia. Adapun total emisi karbon dari timbulan itu mencapai 1.702,9 ekuivalen karbon dioksida. Ini seharusnya menjadi sorotan bagi setiap pemerintah daerah agar pangan tidak mubazir.
”Yang berwenang pengelolaan sampah ini ada di pemerintah kabupaten atau kota, KLHK akan membuat kebijakan terkait pengurangan sampah. Sebenarnya kami sudah mengeluarkan surat edaran kepada pemda untuk pemilahan sampah, tetapi belum secara keseluruhan pemda melakukan upaya pengurangan sampah,” kata Vinda.
Selain itu, belum semua pemerintah daerah memasukkan data sampah Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN). Hal ini mengakibatkan data pengelolaan sampah secara nasional tidak bisa diukur secara akurat. Sejauh ini, tingkat pengurangan sampah secara nasional masih di angka 14,9 persen atau jauh dari target pemerintah, yakni mengurangi sampah hingga 30 persen pada 2025.
Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Yessy Melania, menambahkan, pemerintah daerah belum memprioritaskan pengelolaan sampah untuk kelestarian lingkungan dalam kebijakan anggaran mereka. Padahal, lingkungan yang baik menjadikan warga lebih sehat dan produktif.
”APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) mereka mengalokasikan untuk lingkungan hidup tidak lebih dari 0,5 persen dari anggaran pendapatan mereka. Belum menjadi prioritas,” kata Yessy.
Selain itu, kesadaran masyarakat untuk mengelola sampah perlu ditingkatkan. Gerakan habiskan makananmu, memilah sampah sesuai jenisnya, dan mengompos sampah di rumah menjadi solusi yang mudah dilakukan masyarakat.
APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) mereka mengalokasikan untuk lingkungan hidup tidak lebih dari 0,5 persen dari anggaran pendapatan mereka. Belum menjadi prioritas.
Metode lain
Metode lain menekan jumlah sampah makanan ialah penyaluran makanan ke individu atau daerah yang kekurangan pangan dijadikan pakan ternak, komposting, eko enzim, bio-konversi atau maggot, atau dijadikan biogas. ”Misalnya, sampah makanan dari perkantoran, pertokoan, pabrik, restoran, atau ritel dapat disumbangkan ke food bank (bank makanan). Sampah makanan yang layak dikonsumsi bisa disalurkan kepada yang membutuhkan,” ucapnya.
Terkait dengan hal ini, Deputi Bidang II Kerawanan Pangan dan Gizi Badan Pangan Nasional (Bapanas) Nyoto Suwignyo mendorong DPR RI untuk segera menerbitkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Bank Pangan. Aturan ini nantinya bisa memperkuat mekanisme kolaborasi pengelolaan pangan yang melibatkan pelaku usaha, penyedia bank pangan, masyarakat, dan pemerintah.
”Regulasi ini sempat mandek dan berdampak sampai sekarang, kita tidak bisa menjalankan sesuatu yang seharusnya kita jalankan. Kalau ada RUU, harapannya bisa lebih baik, khususnya untuk mengatasi sampah makanan,” ucap Nyoto.
RUU Bank Pangan ini juga bisa menjamin legalitas kegiatan Bank Pangan, seperti mendorong pelaku usaha untuk mendonasikan pangan sebagai pengganti atau mengurangi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR sudah ada RUU Bank Makanan untuk Kesejahteraan Sosial yang mirip.