Olahraga di Tengah Kualitas Udara Buruk Bisa Berbahaya
Olahraga seharusnya bisa memberikan manfaat yang baik bagi kesehatan tubuh. Namun, jika olahraga di tengah kualitas udara yang buruk, kerugian yang diakibatkan bisa sangat besar.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pagi hari di akhir pekan menjadi waktu yang tepat untuk bisa berolahraga bersama keluarga ataupun teman di luar ruangan. Namun, di tengah kondisi kualitas udara yang sedang tidak baik di sejumlah wilayah saat ini, keinginan untuk berolahraga di luar ruangan alangkah baiknya untuk dipertimbangkan.
Olahraga yang seharusnya bisa memberikan manfaat bagi tubuh justru bisa berdampak buruk bagi kesehatan apabila dilakukan di tengah lingkungan dengan kualitas udara yang buruk. Jika terpaksa, waktu untuk berolahraga di luar ruangan sebaiknya dibatasi.
Merujuk pada laman pemantauan kualitas udara IQAir, kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya menunjukkan kondisi yang tidak sehat, yakni lebih dari 150. Setidaknya pada pukul 08.00, indeks kualitas udara di Jakarta mencapai 168 dengan konsentrasi partikel sangat halus PM 2,5 sebesar 89 mikrogram per meter kubik. Adapun ambang batas aman dari konsentrasi PM 2,5 yang disarankan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) maksimal 15 mikrogram per meter kubik.
Dokter spesialis paru yang juga pengurus pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Erlang Samoedro, di Jakarta, Jumat (19/8/2023), mengatakan, berolahraga di tengah kondisi udara yang tidak baik sebenarnya masih bisa dilakukan. Namun, ada batasan waktu serta tingkat kualitas udara yang harus diperhatikan.
Mengutip penelitian Tainio dkk di jurnal Pubmed/NCBI pada 2016, Erlang menyampaikan, aktivitas fisik seperti berjalan kaki atau bersepeda akan jauh lebih besar manfaatnya daripada risiko kesehatan akibat polusi udara jika dilakukan pada batas waktu serta batas konsentrasi polutan tertentu. Setidaknya ada dual hal yang harus diperhatikan, yakni tipping point atau titik saat aktivitas fisik tidak akan menambah manfaat terhadap kesehatan, serta break-even point, yakni saat olahraga di tengah kondisi udara yang buruk bisa menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi kesehatan.
”Untuk bersepeda, tipping point-nya selama 30 menit dengan konsentrasi PM 2,5 sebesar 95 mikrogram per meter kubik. Sementara break-even point dari bersepeda selama 30 menit dengan tingkat PM 2,5 sebesar 160 mikrogram per meter kubik,” kata Erlang.
Ia menambahkan, batasan yang berbeda berlaku jika seseorang berjalan kaki di luar ruangan. Sekalipun kualitas udara di luar ruangan sangat buruk dengan tingkat PM 2,5 lebih dari 200 mikrogram per meter kubik, manfaat berjalan kaki masih lebih besar jika dilakukan kurang dari 30 menit.
Berolahraga di tengah kondisi udara yang tidak baik sebenarnya masih bisa dilakukan. Namun, ada batasan waktu serta tingkat kualitas udara yang harus diperhatikan.
Untuk itu, sebelum melakukan aktivitas fisik seperti berolahraga di luar ruangan, masyarakat sebaiknya memantau kondisi kualitas udara di lingkungan sekitar. Jangan sampai manfaat kesehatan yang seharusnya bisa didapatkan dari berolahraga justru bisa berdampak buruk karena paparan polusi udara.
”Apabila waktu untuk berolahraga ditambah lebih dari batasan aman, kerugian akibat polusi akan lebih tinggi dibandingkan manfaat yang didapatkan dari olahraga. Melakukan aktivitas fisik selama 30 menit di tengah polusi udara yang tinggi akan meningkatkan proses pengikatan COHb,” tutur Erlang. COHb atau karboksihemoglobin dapat menghambat penyaluran oksigen dalam darah ke seluruh tubuh.
Erlang menambahkan, penggunaan masker saat berolahraga di luar ruangan bisa dilakukan untuk mengurangi pajanan polusi udara. Masker medis bisa dipilih karena memiliki tingkat filtrasi yang cukup baik. Namun, ketika kualitas udara sedang buruk, masyarakat lebih baik berolahraga di dalam ruangan.
Polusi udara
Polusi udara sebenarnya bukan merupakan hal baru. Masalah polusi pun tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. WHO menyampaikan, 9 dari 10 orang di dunia tinggal di daerah dengan standar polusi udara yang melebihi ambang batas aman. Setiap tahun setidaknya ada 7 juta kematian akibat polusi udara, baik polusi di luar ruangan maupun polusi di dalam ruangan. Lebih dari 2 juta kematian di antaranya terjadi di Asia Tenggara.
Anggota PDPI, Nuryunita Nainggolan, menyebutkan, masalah polusi udara harus menjadi perhatian bersama. Upaya pencegahan dan penanganan perlu dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Masyarakat bisa turut mengurangi sumber polusi dengan menggunakan moda transportasi massal, tidak membakar sampah sembarangan, serta menghemat listrik.
Sementara pemerintah dan pemangku kebijakan diharapkan bisa segera mengatur regulasi untuk pengendalian polusi udara yang lebih kuat. Itu, antara lain, terkait peraturan tentang uji emisi kendaraan bermotor, aturan untuk mengurangi emosi polusi udara industri, serta menetapkan aturan standar baku mutu udara yang sesuai standar WHO.
Nuryunita menambahkan, pemerintah juga perlu mendukung upaya untuk menurunkan polusi udara di masyarakat dengan menyediakan sarana transportasi massal yang aman, nyaman, dan murah. Lapangan parkir yang berdekatan dengan sarana transportasi umum juga perlu dibuat dengan layak dan aman. Titik-titik pemonitoran atau alat ukur kualitas udara diharapkan juga diperbanyak, yang dilengkapi dengan informasi tentang kondisi kualitas udara serta langkah antisipasi bagi masyarakat.
Selain mengatasi dampak yang dialami masyarakat, upaya pencegahan dari hulu dengan menangani penyebab dari polusi udara juga perlu lebih gencar dilakukan. Polusi udara sangat mengancam masyarakat. Pajanan polusi jangka panjang bisa menurunkan fungsi paru, meningkatkan risiko asma, meningkatkan risiko penyakit stroke dan jantung, serta menurunkan produktivitas kerja masyarakat.