Bapeten Kaji Dampak Pembuangan Limbah Nuklir Jepang
Badan Pengawas Tenaga Nuklir menilai pelepasan air olahan dari pembuangan limbah nuklir di Jepang tidak akan menimbulkan dampak negatif bagi manusia dan lingkungan selama kandungan di bawah batas yang ditetapkan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Tenaga Nuklir atau Bapeten RI menilai pelepasan air olahan dari pembuangan limbah nuklir di Jepang tidak akan menimbulkan dampak negatif bagi manusia dan lingkungan. Namun, hal ini dengan catatan selama kandungan tritium sebagai senyawa radioaktif tetap berada di bawah batas yang ditetapkan.
Pernyataan tersebut disampaikan Bapeten melalui siaran pers yang diterima Rabu (30/8/2023). Dalam rilis tersebut, Bapeten menyatakan turut mengikuti perkembangan yang terjadi mengenai keputusan Pemerintah Jepang untuk melepaskan air olahan (treated water) yang disimpan di pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi ke laut mulai 24 Agustus 2023.
”Bapeten berkomitmen untuk memonitor perkembangan yang terjadi dan terus bekerja sama dengan IAEA (Badan Tenaga Atom Internasional) serta badan pengawas nuklir dunia lainnya dalam mengawasi pelepasan treated water sehingga tetap memenuhi standar keselamatan,” kata Kepala Biro Hukum Kerja Sama dan Komunikasi Publik Bapeten Indra Gunawan.
Rencana pelepasan air olahan ke laut yang dilakukan oleh Jepang dapat dipandang sebagai upaya pembebasan dari pengawasan badan pengawas terhadap limbah radioaktif.Sebab, air olahan yang mengandung tritium dan sebelumnya memerlukan pengawasanakan dibuang ke laut sehingga pada akhirnya tidak perlu lagi untuk diawasi.
Berdasarkan penjelasan Bapeten yang merujuk lama resmi Badan Tenaga Atom International (IAEA), pelepasan air olahan tidak memiliki dampak radiologis bagi manusia dan lingkungan.
Laporan tersebut merupakan hasil kerja selama hampir dua tahun oleh Satuan Tugas IAEA yang terdiri atas para pakar nuklir IAEA dari sebelas negara. Mereka secara khusus meninjau rencana Jepang terhadap Standar Keselamatan IAEA yang merupakan referensi global.
Air olahanyang dilepaskan Jepang pada prinsipnya merupakan air terkontaminasi yang telah menjalani proses pengolahan untuk menghilangkan berbagai kontaminankecuali tritium. Keberadaan tritium di alam berasal dari produk dari reaksi nuklir antara molekul udara (nitrogen dan oksigen) dan sinar kosmik berenergi tinggi di dalam atmosfer.
Bapeten berkomitmen untuk memonitor perkembangan yang terjadi dan terus bekerja sama dengan IAEA (Badan Tenaga Atom Internasional) serta badan pengawas nuklir dunia lainnya dalam mengawasi pelepasan treated water.
Tritium merupakan zat radioaktif yang secara alami terkandung di air ledeng, air hujan, dan tubuh manusia. Kemudian secara buatan, tritium merupakan salah satu jenis zat radioaktif yang dilepaskan ke lingkungan dalam pengoperasian normal suatu PLTN.
Pihak Jepang telah menetapkan batas konsentrasi tritium dalam air olahan yang dilepaskan sebesar 1.500 becquerel per liter (Bq/L) atau 1 per 7 dari standar yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk air minum (10.000 Bq/L). Dari hasil sampling yang dilakukan secara rutin oleh pengelola PLTN Fukushima Daiichi, diperoleh nilai konsentrasi tritium dalam air olahan tersebut di bawah nilai batas yang telah ditetapkan tersebut.
Bapeten menekankan, pelepasan tritium ke lingkungan merupakan suatu hal yang jamak terjadi dalam pengoperasian PLTN. Pihak Jepang juga telah menetapkan batas jumlah pelepasan tritium tahunan sebesar 22 triliun Bq per tahun. Angka ini masih lebih rendah dari rata-rata jumlah pelepasan tritium tahunan dalam pengoperasian PLTN di dunia.
Duta Besar Jepang untuk RI Kanasugi Kenji sebelumnya juga menyebut bahwa pelepasan air olahan tersebut tidak akan berdampak buruk, baik bagi manusia maupun hewan. Keputusan ini dilakukan setelah berkonsultasi dengan para ahli dan IAEA, termasuk juga Bapeten.
Menurut catatan Kompas, kasus pembuangan limbah radioaktif itu merupakan proses panjang pascabencana alam 12 tahun silam. Pada 11 Maret 2011, Jepang dilanda gempa besar berkekuatan Magnitudo 9 yang memicu tsunami di sebagian wilayah pantai Jepang. Bahkan, di kawasan pantai timur laut Jepang terjadi tsunami setinggi lebih dari 10 meter sehingga menghancurkan infrastruktur, menewaskan 20.000 jiwa, dan menyebabkan 6.000 korban luka.
Sejak kecelakaan tersebut, perlu banyak air untuk mendinginkan bahan bakar nuklir yang meleleh dan puing-puing bahan bakar di fasilitas Fukushima Daiichi. Dengan status terkontaminasi radioaktif, segala sesuatu yang ada di fasilitas tersebut menjadi rentan mengontaminasi. Karena itu, air yang dipakai untuk pendinginan dan air yang terkontaminasi di FDNPS diproses melalui penyaringan dengan sistem Advanced Liquid Processing System (ALPS).
Saat ini air terkontaminasi di Fukushima Daiizhi yang sudah diolah dengan sistem ALPS disimpan di lokasi khusus. Per Juni 2022, operator Tepco menginstal 1.000 tangki di PLTN Fukushima untuk menampung sekitar 1,3 juta meter kubik air yang telah diolah. Sejak tahun 2011, volume air yang disimpan meningkat dan kapasitas tangki mendekati maksimal. Karena itu Pemerintah Jepang berencana membuang air yang telah diolah melalui pembuangan terkendali ke laut.
Rencana itu disikapi IAEA dengan membentuk gugus tugas melibatkan sejumlah pakar internasional dari 11 negara. Hasil kajian, terutama pada kelompok flora dan fauna sekitar FDNPS, menunjukkan dampaknya kategori aman. Dampak paparan radiasi pada ikan pilih, kepiting, dan rumput laut, misalnya, sekitar 0,0000007 miligray (mGy) per hari, jauh di bawah ukuran standar keamanan internasional yang berkisar 1-10 mGy per hari (Kompas.id, 29 Agustus 2023).