Mayoritas Perpustakaan Perguruan Tinggi Belum Terakreditasi
Peningkatan budaya literasi masyarakat Indonesia juga butuh dukungan perpustakaan berkualitas. Sayangnya, layanan perpustakaan belum banyak yang memenuhi standar nasional.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Paradigma baru perpustakaan sebagai ruang publik bagi masyarakat untuk meningkatkan keterampilan hidup, berbagi pengalaman, serta berdiskusi untuk memecahkan permasalahan, perlu terus diperkuat. Perpustakaan membutuhan tenaga terlatih dan memiliki kompetensi memadai untuk mendampingi masyarakat yang membutuhkan informasi serta mampu mewujudkan transformasi perpustakaan.
”Dengan perubahan paradigma tersebut, perpustakaan perlu melakukan terobosan-terobosan baru. Untuk itu, seluruh perpustakaan perlu didorong untuk mencapai standar nasional perpustakaan,” kata Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan, Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Adin Bondar, Minggu (10/9/2023).
Salah satu peningkatan standar nasional perpustakaan lewat akreditasi, termasuk pada perpustakaan di tingkat perguruan tinggi yang berada di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudrikstek). Ada dua jenis perpustakaan, yakni perpustakaan perguruan tinggi negeri (akademik dan vokasi) serta perpustakaan khusus di unit kerja/unit pelaksana teknis.
Saat ini terdapat 164.610 perpustakaan di Indonesia. Dari jumlah tersebut, terdapat 2.057 perpustakaan perguruan tinggi yang 558 perpustakaan di antaranya sudah terakreditasi. Adapun dari total 6.552 perpustakaan khusus, baru sebanyak 179 perpustakaan yang sudah terakreditasi.
Dalam Sosialisasi Akreditasi dan Aplikasi Sistem Penilaian Akreditasi Perpustakaan Indonesia (SiPAPI), yang digelar Kemendikbudristek guna memperkuat tata kelola perpustakaan khusus dan perpustakaan perguruan tinggi di lingkungan Kemendikbudristek, beberapa waktu lalu, Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Suharti mengatakan, perpustakaan berperan penting dalam peningkatan literasi di masyarakat. ”Perpustakaan tidak seharusnya hanya menjadi tempat menyimpan buku, tetapi juga harus merangkul masyarakat untuk menggiatkan berbagai program literasi,” ujar Suharti.
Menurut Suharti, kegiatan sosialisasi akreditasi perpustakaan merupakan kesempatan emas bagi pimpinan unit kerja, pimpinan perguruan tinggi, pustakawan, serta seluruh pemangku kepentingan perpustakaan untuk dapat belajar dan mempersiapkan diri dalam memenuhi proses akreditasi perpustakaan. Apalagi Kemendikbudristek telah menerbitkan Surat Edaran Sekretaris Jenderal Nomor 20 Tahun 2023 tentang Sumber Informasi Pendukung Program Pembelajaran bagi Satuan Pendidikan.
”Melalui edaran ini, diharapkan masyarakat dapat mengakses beragam bahan bacaan bermutu melalui laman dan aplikasi yang menyajikan konten berkualitas secara gratis dengan mengakses sumber daya yang disediakan oleh Kemendikbudristek dan Perpusnas,” jelas Suharti.
Membaca merupakan proses untuk membentuk struktur berpikir rasional, logis, dan terstruktur.
Suharti menambahkan, dalam rangka memastikan kualitas mutu perpustakaan unutk melayani masyarakat, diperlukan langkah penilaian kesesuaian, dalam hal ini adalah akreditasi perpustakaan. Akreditasi perpustakaan merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan yang menyebutkan penyelenggaraan perpustakaan dilakukan sesuai dengan standar nasional perpustakaan.
Tidak sekadar baca-tulis
Secara terpisah di acara Rapat Koordinasi Asosiasi dan Komunitas Literasi Jakarta, pekan ini, Kepala Perpusnas Muhammad Syarif Bando mengatakan pemahaman literasi yang dimengerti oleh sebagian besar masyarakat masih sebatas pintar baca-tulis, belum sampai pada tahap mengimplementasikan ilmu yang dimiliki. Padahal, membaca merupakan proses untuk membentuk struktur berpikir rasional, logis, dan terstruktur.
Duta Besar atau Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO Ismunandar mengatakan, literasi harus diarahkan ke arah yang produktif. Tidak melulu hanya tentang bisa baca-tulis. ”Tantangan zaman mengakibatkan pergeseran definisi literasi yang berubah,” kata Ismunandar.
Literasi saat ini menjadi fondasi untuk membangun masyarakat yang berkelanjutan. Hal ini terlebih ketika kondisi dunia yang kini berada pada fase transisi pasca-Covid-19.