Pameran ”Lelampah” menjadi pameran tunggal ke sekian kali bagi perupa Putu Sutawijaya. Pameran berlangsung pada 14-29 September 2023 dan berisi puluhan karya yang terinspirasi dari garuda.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sedikitnya 50 karya berupa lukisan, patung, dan instalasi karya seniman Putu Sutawijaya meramaikan Bentara Budaya Jakarta dalam pameran bertajuk ”Lelampah”. Karya Putu kali ini merupakan hasil refleksi akan budaya, sejarah, dan kebangsaan yang kemudian diwujudkan dalam rupa garuda.
Dalam bahasa Indonesia, lelampah (bahasa Jawa) berarti perjalanan. Selama belasan tahun terakhir, Putu berkeliling Jawa untuk mengunjungi candi-candi ”pinggiran”. Penghayatan Putu terhadap garuda bermula dari perjalanannya ini.
Ada banyak candi yang reliefnya mengisahkan garuda, tetapi perhatian Putu tertuju ke Candi Kedaton yang terletak di Desa Andungbiru, Kecamatan Tiris, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Menurut Putu, kisah garuda di Candi Kedaton-lah yang paling menarik karena penggambaran garuda yang manusiawi.
”Di sana Garuda digambarkan sungkem ke ibunya, Winata. Itu, kan, manusiawi sekali,” kata Putu di Jakarta, Kamis (14/9/2023), sesaat sebelum pembukaan pameran yang berlangsung pada 14-29 September 2023 itu.
Kurator pameran Kris Budiman mengatakan, Putu sebetulnya sudah lama tertarik dengan candi di daerah selatan Probolinggo. Namun, entah apa yang berlintasan dalam pandang batinnya, preferensi dan referensi Putu pada akhirnya mendarat di Candi Kedaton.
Kris lantas setuju bahwa Candi Kedaton spesial. Relief di Candi Kedaton—yang berasal dari abad ke-14—spesial karena fokus ke perjalanan Garuda untuk mencari air amerta atau air kehidupan. Air itu adalah syarat untuk membebaskan ibunya dari perbudakan. Kisah Garuda diceritakan secara urut lewat sembilan panel relief.
Garuda punya komitmen, mau berjuang, dan hormat kepada orangtua. Kualitas-kualitas ini masih relevan dengan kehidupan masa kini, dan seharusnya tetap ada di diri manusia mutakhir. Dengan kata lain, Garuda selalu bisa dikisahkan ulang.
Kisah itu, menurut Putu, menggambarkan kualitas manusiawi yang lain dari Garuda. Garuda punya komitmen, mau berjuang, dan hormat kepada orangtua. Kualitas-kualitas ini masih relevan dengan kehidupan masa kini, dan seharusnya tetap ada di diri manusia mutakhir. Dengan kata lain, Garuda selalu bisa dikisahkan ulang.
Putu lantas mengadopsi kisah-kisah Garuda, lalu diolah menjadi lukisan, patung, dan instalasi dari plat aluminium. Walau berangkat dari kisah lama, karya Putu bukan berarti usang. Putu menjelaskan bahwa garuda juga memuat pesan kebangsaan.
Ia menerjemahkan burung Garuda tidak hanya sebagai lambang negara, tetapi juga lambang perlindungan dari gesekan karena perbedaan. Gesekan ini pun sebenarnya terjadi karena orang-orang kerap lupa bahwa mereka sejatinya hidup dalam keberagaman. Refleksi ini menjadi penting menjelang tahun politik 2024.
”Bukan berarti saya menjadi perupa masa lalu, melainkan perupa masa depan,” ujar perupa Bali yang kini berdomisili di Yogyakarta itu.
Menurut putri bungsu Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid, Inaya Wahid, ketika membuka pameran, lelampah bisa pula disandingkan dengan tradisi melampah yang dalam bahasa Jawa berarti melangkah. Tradisi ini mestinya bisa dijadikan refleksi, tidak hanya bagaimana langkah Putu sebagai seniman, tetapi juga ke mana bangsa ini mau melangkah ke depan.
”Lelampah menjadi laku spiritual. Jadi, melangkah itu bukan hanya soal berpindah dari satu tempat ke tempat lain, atau berjalan satu-dua langkah saja,” kata Inaya.
General Manager Bentara Budaya dan Communication Management, Corporate Communication Kompas Gramedia, Ilham Khoiri, mengatakan, karya Putu tak hanya magis dari sisi artistik. Karya itu juga kontekstual dengan kondisi sosial saat ini. Kaki burung Garuda yang mencengkram tulisan ”Bhinneka Tunggal Ika” masih sering terlupakan oleh masyarakat. Bagi Ilham, Putu mau mengingatkan audiensnya soal ini melalui karya.
”Lewat karya-karya seninya, kita diajak untuk menengok kembali sejarah masa lalu sekaligus menyegarkan ingatan akan pentingnya menjaga Indonesia sebagai rumah bersama bagi semua kelompok masyarakat yang berbeda-beda,” ucap Ilham.