Perlindungan Kurang Menjangkau PRT dan Perempuan Buruh
Pekerja rumah tangga, meski sebenarnya dilindungi dalam UU Nomor 23 Tahun 2004, hingga kini penerapannya masih jauh dari harapan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Implementasi 19 tahun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga masih jauh dari harapan. Penerapannya masih kurang menjangkau perlindungan terhadap pekerja rumah tangga. Padahal, pekerja rumah tangga masuk dalam ruang lingkup yang diatur dalam undang-undang tersebut.
Pasal 2 Undang-Undang (UU) No 23 Tahun 2004 mengatur tiga ruang lingkup rumah tangga. Pertama, suami, istri, dan anak. Kedua, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, istri, dan anak karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga.
Adapun ruang lingkup ketiga adalah orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Meskipun masuk sebagai obyek hukum, dalam praktiknya UU tersebut tidak banyak menyentuh para pekerja rumah (PRT). Padahal, mereka sangat rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Tidak heran jika banyak perempuan korban lebih memilih jalur perceraian untuk memutus mata rantai karena itulah jalan yang paling cepat.
”Namun, undang-undang tersebut tidak menjamin hak-hak PRT sebagai pekerja yang bekerja di wilayah rumah tangga atau domestik. Kondisi ini jelas memberi ruang bagi pelanggaran hak-hak pekerja rumah tangga dalam kondisi kerja yang tersembunyi,” ujar Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi PRT (JALA PRT) Lita Anggraini, di Jakarta, Jumat (22/9/2023), pada konferensi pers memperingati 19 tahun UU PKDRT.
Konferensi pers yang mengusung tema ”19 Tahun UU PKDRT Indonesia Darurat KDRT: Lemahnya Penanganan Hukum, Tanggung Jawab Pemerintah” digelar Perempuan Mahardhika, Forum Pengada Layanan (FPL) bagi korban kekerasan, JALA PRT, dan Konde.co.
Berdasarkan data JALA PRT, pada 2018-2023 terdapat 2.641 kasus kekerasan kepada PRT. Mayoritas kasus berupa kekerasan psikis, fisik, dan ekonomi dalam situasi kerja. Sejumlah PRT mengalami upah tidak dibayar (2-11 bulan gaji), dipecat, atau dipotong upah oleh majikan ketika sakit dan tidak dapat bekerja. Pada saat sakit, PRT tidak dapat mengklaim jaminan kesehatan, sering tidak ada kenaikan upah meskipun telah bekerja bertahun-tahun, serta tidak ada pesangon.
Selain itu, dalam penegakan hukum, kekerasan yang dialami PRT masih sering terjadi pengecualian. ”Dari proses hukum, hanya 15 persen yang mendapat hukuman sesuai dengan UU PKDRT, selebihnya pelaku mendapat hukuman ringan atau bebas,” papar Lita.
Perempuan pekerja
Tak hanya PRT, lemahnya UU Penghapusan KDRT juga dirasakan perempuan pekerja. Dari Studi Pengalaman KDRT pada Buruh yang dlakukan Perempuan Mahardhika pada 2020, dengan responden perempuan buruh di sektor garmen yang menjadi korban KDRT, ditemukan sejumlah situasi buruk yang dihadapi perempuan buruh.
Dari penelitian tersebut ditemukan, antara lain, sulitnya perempuan korban melepaskan diri dari KDRT dan bertahan dalam KDRT. ”Selain karena ketidaktahuan akan UU PKDRT, korban tidak berani melapor juga karena masih kuatnya perspektif suami adalah kepala keluarga, serta minimnya dukungan dari keluarga, masyarakat, tempat kerja, dan sosial,” ujar Vivi Widyawati dari Perempuan Mahardika.
Padahal, KDRT yang dialami perempuan pekerja sangat berdampak bagi pekerjaannya. Korban dapat kehilangan kosentrasi kerja, mengalami kecelakaan kerja, produktivitas menurun, kehilangan kemampuan kerja, bahkan sampai kehilangan pekerjaan.
Studi tersebut, lanjut Vivi, juga menunjukkan tidak ada dukungan dari perusahaan bagi perempuan buruh dalam menghadapi KDRT. Bahkan, sejumlah perusahaan mengambil keuntungan dari ketidakberdayaan buruh perempuan.
Refleksi bersama
Siti Mazuma dari FPL menegaskan, UU PKDRT sudah 19 tahun disahkan, tetapi tiap tahun angka kekerasan terhadap perempuan tetap meningkat dan tidak dibarengi dengan perbaikan upaya penghapusan KDRT.
”Bulan September adalah bulan pengaduan kasus KDRT, seharusnya menjadi refleksi bersama, apalagi baru-baru ini ada pembunuhan perempuan oleh suaminya yang sebelumnya menjadi korban KDRT,” kata Siti.
Dia mengingatkan, keempat bentuk kekerasan dalam KDRT, yakni fisik, psikis, seksual, dan penelantaran, sering dialami para perempuan secara berlapis. Bentuk KDRT yang dialami perempuan kerap kali tidak tunggal, tetapi ganda, bahkan keempatnya bisa dialami sekaligus.
”Sampai sekarang banyak korban KDRT dilupakan, dan banyak kasus KDRT dimediasi. Tidak heran jika banyak perempuan korban lebih memilih jalur perceraian untuk memutus mata rantai, karena itulah jalan yang paling cepat,” papar Siti.
Sepanjang 2022, FPL melakukan pendampingan kasus KDRT dengan kategori kasus kekerasan psikis (1.248 kasus), kekerasan fisik (559 kasus), penelantaran (526 kasus), dan kekerasan seksual (855 kasus).
Implementasi UU PKDRT dari tahun 2004 dinilai menghadapi hambatan yang sama. Misalnya, UU PKDRT sulit diterapkan pada perkawinan yang tidak dicatatkan di kantor urusan agama maupun di catatan sipil. Padahal, banyak perempuan menjadi korban KDRT berada dalam status perkawinan yang tidak tercatat.
Di sisi penegakan hukum, pembuktian KDRT kerap sulit karena adanya keharusan satu orang saksi ditambah dengan satu alat bukti. Kriminalisasi korban KDRT juga masih terjadi. Ketika seorang istri dilaporkan suami atau pihak lain, proses hukumnya selalu lebih cepat dibandingkan ketika dia melapor sebagai korban.
Lemahnya upaya penghapusan KDRT membutuhkan peran media dalam kampanye penghapusan KDRT dan mendorong perubahan kebijakan secara cepat. ”Literasi media menjadi kata kunci agar media dan publik secara konsisten menyuarakan suara korban, tidak melakukan sensasionalisme yang menjadikan korban takut dan berhenti untuk bersuara,” ujar Salsabilah Putri dari Konde.co.
Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Eni Widiyanti menegaskan, meskipun UU PKDRT memasuki 19 tahun, bukan berarti kampanye atas UU ini tidak lagi diperlukan.
”Sebaliknya, kebutuhan untuk membangun literasi masyarakat atas KDRT justru menjadi semakin nyata, terutama dengan adaptasi terhadap teknologi serta metode diseminasi informasinya,” ujar Eni saat berbicara pada Kick Off Kampanye Penghapusan KDRT, 4 September lalu.