"Prank" Merusak Kepercayaan Anak Balita pada Orangtua
"Prank" sering dianggap hanya guyonan semata dan mendekatkan secara sosial. Nyatanya, anak belum paham manfaat itu. "Prank" pada anak bisa melukai kepercayaan mereka pada orangtua dan membuatnya senantiasa waspada.
Banyak orang dewasa suka menjahili, menggoda, atau mengganggu anak-anak. Apapun respon anak-anak, bahkan saat marah sekalipun, tetap terlihat menggemaskan dan lucu bagi orang dewasa. Namun, banyak orang dewasa tidak sadar bahwa selera humor anak belum berkembang. Lucu bagi orang dewasa justru bisa jadi hal yang menjengkelkan bagi anak-anak.
Di media sosial, sering muncul video yang menunjukkan orangtua, kakak, atau orang dewasa sekitarnya yang menjahili anak, adik, atau saudara mereka, khususnya anak berusia kurang dari 5 tahun (balita). Orang dewasa umumnya hanya ingin membuat kelucuan dan hubungan yang hangat. Sayangnya, kelucuan itu seringkali dibangun dengan "mengorbankan" anak yang belum tahu apa yang lucu dari tindakan orang dewasa.
Lelucon atau prank terhadap anak yang sempat viral di Indonesia, antara lain, meninggalkan dan mengunci anak dalam kamar sambil memutar suara hantu tertawa dengan sangat keras-keras. Sudah bisa ditebak, respon anak umumnya menangis hebat sambil menggedor-gedor pintu agar bisa ikut keluar kamar.
Lelucon lain yang biasanya dilakukan pada anak yang berusia lebih muda, kurang lebih umur 2 tahun-3 tahun dengan memvideokan wajah mereka dan menghidupkan filter pengubah wajah. Wajah polos anak-anak pun berubah menjadi binatang atau badut "dakocan". Respon anak pun beragam, ada yang bingung, tersenyum, tetapi banyak pula yang menangis ketakutan.
Baca juga : Candaan Melecehkan Berujung pada Melayangnya Nyawa Suherlan
Sementara prank pada anak yang sempat menjadi tren di sejumlah negara tetapi kurang direspon warganet Indonesia adalah memecahkan telur pada dahi anak. Meski orang dewasa yang melakukan kejahilan ini tertawa, banyak anak bingung, kecewa dan marah. Tak jarang anak-anak itu mempertanyakan apa yang membuat orang dewasa tertawa, membalas tindakan itu, bahkan memukul orangtua mereka.
Berbagai respon anak terhadap aksi-aksi jahil orang dewasa itu tidaklah mengherankan mengingat anak kecil belum dapat memahami jenis humor yang mengandalkan tindakan jahil atau mengerjai korbannya yang tidak menaruh curiga kepada mereka. Bagaimanapun, menjadi korban lelucon atau aksi jahil orang lain pada remaja atau orang dewasa, tidaklah selalu lucu, apalagi pada anak-anak.
Jika dianggap lucu, maka saat seseorang bertindak jahil dan korbannya ikut tertawa, maka itu berarti korban bisa langsung memahami situasi yang dibuat. Korban juga tidak merasa dirugikan dan dengan cepat bisa bergabung untuk tertawa bersama-sama.
"Aksi menjahili orang lain itu dilakukan agar bisa tertawa bareng-bareng dan menciptakan kohesi dalam kelompok sosial," kata juru bicara Asosiasi Psikoterapis Anak (ACP) Inggris Rachel Melville-Thomas seperti dikutip BBC, 30 Agustus 2023.
Baca juga : Merendahkan Orang Lain "Demi Konten" Video Prank
Anak-anak memang dapat memahami humor sejak dini. Humor dalam bentuk paling canggih, seperti sarkasme dan ironi, sudah bisa dipahami anak usia 5 tahun-6 tahun, tetapi sebagian anak usia 3 tahun-4 tahun juga sudah bisa memahami lelucon model ini. Mental anak yang masih dalam tahap perkembangan membuat menangkap humor yang dimaksudkan orang lain dengan cepat menjadi lebih sulit.
Bagi anak, memahami humor membutuhkan keterampilan yang terkait dengan teori pikiran. Kemampuan ini menuntut mereka untuk bisa mengaitkan antara kondisi mental mereka dengan mental orang lain. Kemampuan itu memungkinkan mereka memahami bahwa seseorang juga bisa berpikir, merasakan dan mengharapkan sesuatu yang berbeda dari orang lain.
Kemampuan mengaitkan mental anak dengan orang lain itu muncul pada usia yang berbeda-beda pada setiap anak, tetapi seringkali sudah akan matang pada usia 3,5 tahun-4,5 tahun. Kemampuan ini akan terus berkembang selama masa kanak-kanak hingga mereka menginjak usia remaja.
Meski demikian, teori pikiran tetap memiliki batasan. Sama seperti keterampilan lain yang berkembang sesuai umur, kemampuan memahami humor juga tidak mirip dengan saklar yang hanya tinggal dinyalakan atau dimatikan. Memahami humor dalam situasi tertentu merupakan proses berpikir tingkat tinggi dan kompleks yang melibatkan komponen kognitif, perilaku, fisiologis, emosional, hingga sosial.
Baca juga : "Prank"
Sesuatu bisa menjadi lucu, menurut salah satu teori, karena hal itu tidak sesuai dengan ekspektasi. Kondisi ini membuat lelucon kasar atau slapstick dianggap lucu oleh sebagian orang. Sedangkan pada anak-anak kecil, usia prasekolah, sebagian besar humor yang mereka kenali berasal dari sesuatu yang dianggap absurd alias tidak masuk akal.
"Anak-anak kecil menganggap hal-hal yang tidak pada tempatnya itu lucu, misal gajah memakai topi. Anak-anak menganggap lelucon ini benar-benar tidak masuk akal," tambah Melville-Thomas.
Pengasuhan membingungkan
Psikolog perkembangan di Universitas York St John, Inggris mengatakan, dalam prank memecahkan telur di dahi anak, orang dewasa ingin berpura-pura menganggap anak mereka sebagai mangkuk dengan dahi anak adalah perumpamaan pinggiran mangkuk yang memang biasa digunakan untuk memecahkan telur.
Masalahnya, anak tidak mengetahui dan tidak paham maksud orangtua. Anak sebenarnya sudah memahami bahwa sebuah obyek bisa mewakili obyek lain yang berbeda. Namun, itu bukan berarti mereka sudah bisa memahami bahwa kepala mereka dianggap seolah-olah menjadi mangkuk oleh orang lain.
Dalam video prank yang beredar, anak-anak tampaknya tidak memahami unsur kepura-puraan tersebut. Anak lebih memahami tindakan itu sebagai aksi jahil atau prank. "Anak bukan hanya tidak dapat memahami humor secara kognitif, tetapi mereka juga merasa menjadi bahan kejahilan orang dewasa. Itu adalah bentuk pelanggaran atau pengkhianatan atas kepercayaan anak," katanya.
Hal itu pula yang dikhawatirkan oleh Melville-Thomas. "Dalam pikiran balita, orangtua atau orang dewasa di sekitarnya adalah tempat yang aman yang tidak akan menyakiti mereka," tambahnya. Prank itu telah melukai kepercayaan mereka dan memunculkan kekhawatiran anak bahwa tindakan itu akan berulang lagi.
Psikolog klinis di Pusat Psikologi Pertumbuhan New Jersey, Amerika Serikat Robyn Koslowitz, dalam tulisannya di The Psychology Today, 25 Agustus 2023, mengingatkan pentingnya orangtua menghindari pola pengasuhan yang membingungkan atau floors of parenting. Aksi jahil itu seolah tidak membahayakan anak, padahal dampak tindakan itu dapat bertahan lama.
Dari orangtua, anak belajar bagaimana dunia bekerja. Ayah dan ibu membantu anak mengetahui segala sesuatu, memahami sensasi tubuh, memberi kosakata dan pemahaman kognitif tentang segala sesuatu, hingga memilah reaksi emosional.
Semua hal itu merupakan proses "penyelarasan", ketika dua otak pada gelombang yang sama berbagi pengalaman baik dalam proses pembelajaran yang terbuka. Anak siap belajar pada orang lain yang lebih berpengetahuan dan berpengalaman, baik orangtua, guru, atau anak yang lebih besar lainnya.
Anak bukan hanya tidak dapat memahami humor secara kognitif, tetapi mereka juga merasa menjadi bahan kejahilan orang dewasa. Itu adalah bentuk pelanggaran atau pengkhianatan atas kepercayaan anak.
Pakar psikologi kognitif Jean Piaget menyebut, selama proses penyelarasan itu, otak anak terbuka, siap untuk belajar. Anak siap terlibat dalam tugas, fokus, serta memiliki rasa ingin tahu yang besar.
Namun ketika prank berlangsung, saat telur pecah di kepala atau bentuk prank lainnya, otak anak akan beralih dari mode belajar yang selaras ke mode stres dan waspada. Dalam sejumlah video prank terhadap anak-anak, terlihat sejumlah anak menunjukkan stresnya dengan menangis, berteriak, memukul, melempar sesuatu, lari dengan penuh ketakutan, atau justru diam terpaku.
Namun, dalam prank itu, stres justru diperkenalkan dalam situasi yang seharusnya aman. Prank dengan anak sebagai sasarannya telah menjadikan mereka masuk dalam proses pembelajaran yang tidak biasa, membuat mereka tetap waspada, dan mengubah kegembiraannya menjadi teror dalam sekejap. Situasi bercanda yang dibangun orangtua sebagai guyonan untuk mendekatkan mereka justru dikodekan oleh otak anak sebagai hal berbahaya.
Saat orangtua atau orang dewasa yang mengusili mereka tertawa ke arah kamera, anak mulai merasa naif, rentan, dan bodoh. Hal itu menciptakan pola pikir pada anak bahwa kerentanan itu berbahaya dan kenaifan harus dibuang jauh-jauh. Tanpa disadari orangtua, situasi itu justru menjadikan anaknya menjadi aktif sinis dan keras terhadap orangtuanya.
Orangtua yang menjadi sumber pertama pengetahuan bagi anak nyatanya juga bisa menjadi pihak pertama yang mengganggu mereka. Orangtua yang seharusnya menjadi tempat aman berlindung dari para pengganggu dan membantu memahami kekejaman hidup yang tidak bisa dihindari, nyatanya justru menjadi pelaku perundungan dan kekejaman pada mereka.
"Anda (orangtua) tidak bisa menjadi tempat berlindung yang aman (bagi anak) jika anda juga menjadi badai," kata Tina Payne Bryson, salah satu penulis buku The Power of Showing Up (2020).
Melville-Thomas menambahkan, orangtua yang terlibat dalam prank memang telah merusak hubungan mereka dengan anaknya. Akan tetapi, tidak ada orangtua yang sempurna dan memang seharusnya orangtua juga tidak sempurna. Karena itu, orangtua bisa memperbaiki kondisi itu dengan menjelaskan kepada anak apa yang sebenarnya sedang mereka lakukan.
Baca juga : Melalui Media Sosial, "Prank" Merambah ke Ranah Politik
"Daripada berpura-pura prank itu tidak pernah terjadi, lebih baik bicarakan dengan anak. Sampaikan penyesalan anda pada anak karena telah ikut-ikutan melakukan hal bodoh yang menyakiti anak. Ini akan memberi contoh kepada anak bagaimana memperbaiki hal-hal yang anda sesali. Penjelasan ini bisa dilakukan pada anak usia 4 tahun, bahkan yang lebih muda," katanya.
Sekecil apapun kekejaman orangtua pada anak akan memengaruhi perkembangan kepribadian mereka. Kemelekatan anak dengan orangtua itulah yang mengajarkan anak bagaimana menjalani dan menavigasi hidup. Karena itu, seiring bertambahnya usia anak, penting bagi orangtua untuk terus belajar ilmu pengasuhan anak yang akan membuat anak siap dan mampu menjalani kerasnya hidup.