Pemulihan Perempuan Korban yang Terabaikan dalam Keadilan Restoratif
Penerapan keadilan restoratif sering menjadi kedok untuk menyelesaikan perkara kekerasan terhadap perempuan.
Kejahatan terhadap perempuan di Tanah Air menempatkannya pada posisi rentan. Sejumlah regulasi dan upaya hukum dihadirkan untuk melindungi dan memulihkan perempuan korban. Namun, penerapannya sering kali tidak sesuai dengan harapan, bahkan melenceng dari semangat pembentukannya.
Misalnya, sistem penegakan hukum yang menerapkan pendekatan keadilan restoratif, yang gencar dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. Selain mengusung konsep pemulihan bagi perempuan korban, keadilan restoratif juga memberi perhatian pada rehabilitasi pelaku dan pemulihan komunitas.
Dalam praktik di lapangan, penerapan keadilan restoratif justru mengabaikan pemulihan perempuan korban, membuat korban mengalami ketidakadilan dan terus mengalami trauma atas kekerasan yang dialami. Pemulihan perempuan korban sama sekali tidak tersentuh.
Sebaliknya, penerapan keadilan restoratif menempatkan posisi pelaku kekerasan dan komunitas lebih tinggi daripada perempuan korban. Bahkan, pendekatan hukum tersebut membuat semakin terbuka celah impunitas pelaku dan keberulangan tindakan kekerasan pada perempuan korban.
Mekanisme yang seharusnya memastikan perempuan korban mendapatkan hak-haknya untuk pulih dari kekerasan yang dialami, dalam praktik justru bergeser menjadi cara untuk menghentikan perkara.
Dalam tiga tahun terakhir, upaya untuk menerapkan mekanisme keadilan restoratif di kalangan lembaga penegak hukum terus digalakkan. Mahkamah Agung (MA) memulai dengan Peraturan MA Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, dilanjutkan dengan Keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum MA No 1691/DJU/SK/PS.00/ 12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif.
Di kepolisian, ada Surat Edaran Kapolri Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana dan Peraturan Kepala Polri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Sementara itu, kejaksaan menerbitkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Di lapangan, implementasi peraturan-peraturan tersebut menghadapi tantangan menyusul minimnya kapasitas aparat penegak hukum dan penyelenggara layanan terkait pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan dalam penerapan mekanisme keadilan restoratif.
Di tingkat masyarakat, lembaga layanan pemerintah, lembaga berbasis keagamaan, dan lembaga berbasis masyarakat, pemahaman tentang keadilan restoratif yang berpihak kepada perempuan korban juga masih kurang. Belum lagi ada budaya patriarki yang kuat.
Laporan Hasil Pemantauan tentang Pelaksanaan Mekanisme Keadilan Restoratif dalam Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan Berbasis Jender di 23 Kabupaten/Kota di 9 Provinsi, yang dilakukan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada Agustus-November 2022, menemukan jalan penyelesaian keadilan restoratif belum berpihak kepada perempuan korban.
”Mekanisme yang seharusnya memastikan perempuan korban mendapatkan hak-haknya untuk pulih dari kekerasan yang dialami, dalam praktik justru bergeser menjadi cara untuk menghentikan perkara,” ujar Theresia Iswarini, komisioner Komnas Perempuan, Senin (25/9/2023).
Pada Selasa (19/9/2023), Komnas Perempuan meluncurkan laporan hasil pemantauan tersebut. Pemantauan dilakukan dengan wawancara terhadap 449 responden yang terdiri dari institusi penegak hukum, korban, lembaga layanan berbasis masyarakat, lembaga layanan pemerintah, dan lembaga adat/sosial/agama.
Dari kajian kritis berperspektif jender, Komnas Perempuan mendapati sejumlah persoalan dalam penerapan mekanisme keadilan restoratif. Setidaknya ada lima ciri utama yang terlihat dalam praktik keadilan restoratif, yaitu adanya pelibatan prosedural, peluang membuka celah impunitas dan keberulangan, pengabaian pemulihan korban, penyelesaian yang mengutamakan citra semu harmoni, serta minimnya akuntabilitas.
Berbasis kerelaan korban
Dalam konteks pelibatan prosedural, seharusnya berbasis kerelaan atau kesediaan perempuan korban untuk menggunakan penyelesaian perkara melalui mekanisme keadilan restoratif atau tidak. Namun, dalam beberapa kasus yang terpantau Komnas Perempuan, pilihan penyelesaian keadilan restoratif tidak sukarela atau murni dari perempuan korban, tetapi ada campur tangan keluarga, bahkan aparat kepolisian.
Selanjutnya, ketika penyelesaian perkara melalui mekanisme keadilan restoratif oleh lembaga layanan ataupun lembaga adat tidak mendapat pengawasan publik, yang terjadi adalah pelaku kerap diberikan keleluasaan dalam memberikan keputusan sehingga membuka celah impunitas. Kemungkinan keberulangan kasus kekerasan pada perempuan korban bisa terjadi.
Pemulihan korban yang seharusnya diutamakan dalam keadilan restoratif dalam praktiknya justru diabaikan. Karena ketiadaan regulasi atau petunjuk teknis/petunjuk pelaksanaan dan konsep jelas seperti apa pemulihan korban, yang sering terjadi keadilan restoratif dimaknai selesai ketika sudah ada pembayaran denda uang, ternak, dan permintaan maaf.
Liputan Kompas pada Juli 2023 di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, menemukan sejumlah perempuan di wilayah adat yang menjadi korban kekerasan seksual terpaksa menerima kenyataan penyelesaian kasusnya secara adat. Ketika pelaku sudah membayar denda adat, kasusnya dianggap selesai.
Seperti yang dialami ES (25), perempuan disabilitas di Dusun Sibeotcun, Desa Malancan, Siberut Utara, yang menjadi korban pemerkosaan pada akhir 2014. Kasus yang terjadi saat ES berusia 16 tahun itu diselesaikan secara adat. Pelaku membayar denda adat yang dikenal dengan istilah tulou.
Pemimpin adat menghukum pelaku membayar perbuatannya dengan menyerahkan mesin pemotong kayu, dua babi jantan, dan 2 meter kubik kayu kepada orangtua ES. Setelah itu, perkara dianggap selesai dan pelaku bebas berkeliaran di kampung.
Baca juga: Keadilan Restoratif Bergeser Jadi Cara Hentikan Perkara
Sementara ES yang mengandung anaknya harus menanggung trauma berkepanjangan. Dia dikucilkan masyarakat di dusunnya dan harus berjuang sendiri membesarkan anaknya. Sekali lagi, hal ini karena pelaku dianggap sudah menyelesaikan kasusnya.
Sisi pemulihan korban tak pernah tersentuh. Hal ini membuat ES selalu ketakutan ketika harus bertemu dengan pelaku.
Menjaga harmoni
Bagi masyarakat adat Mentawai, tulou adalah sarana untuk membayar kesalahan dan memulihkan keadaan seperti semula atau lebih baik lagi setelah terjadinya pelanggaran yang membuat rusaknya hubungan harmonis dalam masyarakat ataupun alam dan lingkungan masyarakat Mentawai.
Mekanisme penyelesaian keadilan restoratif seperti ini juga ditemukan Komnas Perempuan di hampir semua wilayah pemantauan. Paling banyak pada kasus perempuan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kepolisian, lembaga layanan, dan lembaga adat memandang penyelesaian perkara demi menjaga citra komunitas masyarakat agar tidak tercoreng.
Pada akhirnya korban harus menanggung dampaknya. Pengutamaan citra harmoni sangat terlihat pada korban KDRT dan pemerkosaan, di mana kuatnya patriarki, relasi kuasa, adat, atau agama. Di sisi lain, polisi masih beranggapan KDRT merupakan urusan keluarga atau cukup diselesaikan secara adat.
Baca juga: Kekerasan Seksual Mendominasi Pengaduan Kasus
”Penyelesaian seperti itu paling kuat terjadi di wilayah Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Bali, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua. Pemulihan korban hanya dimaknai dengan adanya permintaan maaf,” ungkap Theresia yang juga Ketua Subkomisi Pengembangan Sistem Pemulihan.
Di lembaga kepolisian, menurut Komisaris Besar Ciceu CW Meilawati, Analis Kebijakan Madya, Badan Reserse Kriminal Polri, hingga kini dilakukan evaluasi di internal kepolisian tentang penanganan kekerasan terhadap perempuan berbasis jender dengan mekanisme keadilan restoratif.
Polri juga menerbitkan penunjuk arah tentang implementasi keadilan restoratif dalam penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan berbasis jender. Kepolisian pun meningkatkan kapasitas bagi anggotanya, terutama yang menempati jabatan terkait penanganan perempuan korban hingga tingkat kepolisian sektor tentang pelaksanaan mekanisme keadilan restoratif.
Robert Parlindungan Sitinjak, Jaksa Utama Muda pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung, mengatakan, keadilan restoratif untuk kepentingan terbaik korban, khususnya anak atau perempuan, bukan untuk pelaku. Keadilan restoratif juga bukan cara menghentikan perkara.
”Pelaku tetap dihukum sosial, denda, kerja sosial, membuat pernyataan, dan lain-lain, serta ada catatan kriminal di kejaksaan. Ada berita acara atau pernyataan dicatat bahwa dia sudah pernah satu kali melakukan dan tidak boleh lagi ada penyelesaian mekanisme keadilan restoratif untuk semua kasus pidana,” ujarnya.
Robert yang pernah menjadi Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada 2021-2023 mengingatkan mekanisme keadilan restoratif tidak bisa dipakai berulang kali untuk pelaku.
Pelaku tetap dihukum sosial, denda, kerja sosial, membuat pernyataan, dan lain-lain, serta ada catatan kriminal di kejaksaan.
Karena itu, jika di lapangan ada temuan penerapan keadilan restoratif korban diwajibkan memenuhi syarat tertentu, tujuan keadilan restoratif tidak tercapai dan harus dianggap batal. Pelakulah yang seharusnya diwajibkan memenuhi syarat tertentu yang menguntungkan korban.
Ketika penerapan keadilan restoratif hanya dijadikan kedok atau kendaraan untuk menyelesaikan perkara, korban mengalami re-viktimisasi (menjadi korban berulang kembali). Padahal, tujuan penerapan keadilan restoratif adalah kepentingan terbaik korban.
Baca juga : Kekerasan Seksual Terjadi Bertubi-tubi, Ketajaman Pisau UU TPKS Dinanti
Jika praktik seperti itu terus berlanjut, perempuan berhadapan dengan hukum, khususnya perempuan korban, yang paling dirugikan. Hal ini khususnya pada perempuan adat yang berhadapan dengan diskriminasi yang berlapis.
Upaya memperbaiki praktik keadilan restoratif untuk menguatkan kedaulatan perempuan sebagai subyek hukum dan pemenuhan kebutuhan pemulihan korban harus mendapat perhatian negara dan masyarakat. Tanpa perbaikan yang berarti, praktik keadilan restoratif hanya akan meneguhkan kondisi ketimpangan relasi kuasa yang telah mengakar, termasuk ketidaksetaraan jender.