Ombudsman Temukan Malaadministrasi dalam Pelayanan Kesehatan Primer
Malaadminstrasi ditemukan pada layanan di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Perbaikan perlu segera dilakukan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tata laksana sistem kesehatan di layanan kesehatan dasar di Indonesia belum merata. Masih ada sejumlah fasilitas kesehatan tingkat pertama melakukan malaadministrasi dalam pelayanan, antara lain tidak memberikan layanan preventif.
”Puskesmas juga tidak memberikan layanan obat esensial. Ada pula yang tidak menyiapkan layanan pengaduan,” ungkap Asisten Ombudsman RI Bellinda W Dewanty dalam kegiatan laporan hasil Systemic Review Tata Laksana Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), di Jakarta, Rabu (27/9/2023).
Bentuk malaadministrasi lain adalah ada inkompetensi sumber daya manusia kesehatan pada FKTP serta penyimpangan prosedur penyaluran dana nonkapitasi. Selain itu, FKTP dinilai tak memahami tata laksana sistem rujukan serta tidak memiliki sarana dan prasarana rujukan yang menunjang.
Masih ditemukannya bentuk malaadministrasi dalam pelayanan di FKTP bisa dipengaruhi oleh kondisi belum meratanya mutu layanan kesehatan di masyarakat.
Disparitas layanan kesehatan di Indonesia masih cukup tinggi. Sebanyak 45,63 persen dari 10.454 puskesmas belum memiliki sumber daya manusia kesehatan yang lengkap. Sebanyak 4,17 persen di antaranya bahkan tidak memiliki dokter.
Bentuk malaadministrasi yang ditemukan antara lain adanya puskesmas dan fasilitas kesehatan tingkat pertama lainnya yang tidak memberikan layanan preventif. Puskesmas juga tidak memberikan layanan obat esensial.
Selain itu, rasio sumber daya manusia kesehatan dengan jumlah penduduk yang belum terpenuhi serta lemahnya fitur lain pada layanan kesehatan dasar di FKTP turut menyebabkan kesenjangan layanan kesehatan. Sistem surveilans dan masalah komunikasi risiko juga terfragmentasi.
Di lain sisi, ada FKTP yang sudah menjalankan pelayanan kesehatan secara optimal. Salah satu temuan Ombudsman RI di Puskesmas Kamarian di Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku. Puskesmas pembantu itu berada di daerah pelosok, tetapi tenaga kesehatan melayani secara optimal.
”Dokter dan SDMK (sumber daya manusia kesehatan) lainnya di puskesmas tersebut selalu siaga 7 x 24 jam untuk melayani masyarakat. SDMK di puskesmas itu bahkan ikut menyumbang kepemilikan pribadi demi mewujudkan pelayanan yang prima,” tutur Bellinda.
Perbaikan
Ombudsman RI mendorong pemangku kepentingan terkait untuk memperbaiki sistem pelayanan kesehatan, khususnya di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Perbaikan itu terutama bagi Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Kementerian Kesehatan diharapkan menyempurnakan regulasi tata laksana layanan preventif secara komprehensif, khususnya pemenuhan kebutuhan SDMK. Kementerian Kesehatan juga perlu mengevaluasi kuantitas SDMK serta hilirisasi bagi pemenuhan kompetensi SDMK di seluruh wilayah Indonesia.
Kementerian Kesehatan bersama dengan Kementerian Dalam Negeri didorong untuk menyusun surat keputusan bersama terkait penyaluran dana kapitasi dari kas daerah ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Bersama dengan BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan juga diharapkan dapat menyusun surat keputusan bersama terkait manifestasi sistem pengaduan layanan publik yang komprehensif pada fasilitas layanan kesehatan.
Ketua Ombudsman RI Muhammad Nadjih menuturkan, sektor kesehatan berada pada pilar pertama untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, yaitu pilar pembangunan manusia dan penguasaan iptek. Pada pilar ini target yang harus dicapai adalah peningkatan derajat kesehatan dan kualitas hidup masyarakat.
”Dalam kaitannya dengan pembangunan sistem kesehatan, Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, dan Kementerian Dalam Negeri harus bersinergi melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait tata kelola layanan primer dan menyempurnakan regulasi,” katanya.
Perbaikan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan layanan kesehatan di masyarakat agar bisa dirasakan secara merata. Layanan berkualitas harus bisa dirasakan sama, untuk masyarakat yang tinggal di perkotaan ataupun di pedalaman, termasuk wilayah 3T (tertinggal, terluar, dan terdepan).
Pemerintah daerah
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes Maria Endang Sumiwi memaparkan, upaya meningkatkan kapasitas sistem pelayanan kesehatan tingkat primer menjadi bagian upaya transformasi kesehatan dari Kemenkes. Pemenuhan standar alat kesehatan jadi prioritas.
Meski begitu, upaya penguatan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama tidak akan optimal jika hanya dilakukan Kemenkes. Pemerintah daerah berperan penting mendukung hal itu. Sayangnya, belum semua pemerintah daerah mempunyai prioritas dalam penguatan layanan kesehatan primer.
Hal itu disampaikan pula oleh Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti. Penyerapan dana kapitasi di daerah masih belum optimal. Hasil perhitungan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan adanya dana silpa (sisa) dari dana kapitasi mencapai Rp 2 triliun.
”Persoalan ini perlu diselesaikan bersama dengan pemerintah daerah, apakah ini karena tidak tahu cara memakainya atau tidak bisa memakai (dana)-nya. Dana ini perlu dimanfaatkan dengan baik oleh puskesmas,” tuturnya.
Persoalan pengaduan di masyarakat perlu disikapi dengan baik. Sesuai peraturan, puskesmas jadi tanggung jawab pemerintah daerah. Namun, perbedaan komitmen antardaerah membuat penanganan kesehatan tak merata. ”Ada bagusnya kesehatan bidang tertentu disentralisasi saja,” ucapnya.
Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Restuardy Daud mengatakan, pengawasan akan diperkuat untuk memastikan setiap pemda menerapkan kebijakan layanan kesehatan primer secara optimal.
Pemimpin daerah juga didorong agar memberikan perhatian yang lebih dalam pemenuhan sarana, prasarana, serta infrastruktur di FKTP.
”Aspek kesehatan menjadi urusan wajib pada penyelenggaraan urusan pemerintah daerah. Untuk itu, kita akan terus dorong pemda untuk memenuhi standar pelayanan minimal pelayanan kesehatan,” katanya.