Masyarakat Mulai Sadari Perubahan Iklim, tetapi Minim Tindakan
Masyarakat Indonesia sudah mulai menyadari terjadinya perubahan iklim walaupun dengan tingkat pengetahuan terbatas dan awam harus mengambil langkah apa.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Studi terbaru yang melibatkan ribuan orang dari 34 provinsi di Indonesia menunjukkan, masyarakat sudah mulai menyadari terjadinya perubahan iklim walaupun dengan tingkat pengetahuan masih terbatas dan awam harus mengambil langkah apa. Mayoritas responden lebih menggantungkan harapan pada pemerintah agar melakukan aksi nyata mengurangi kerusakan lingkungan akibat ulah manusia.
Studi yang dilakukan Pusat Komunikasi Perubahan Iklim Universitas Yale di Amerika Serikat bekerja sama dengan Development Dialogue Asia, Communication for Change, dan Kantar Indonesia ini membandingkan pengetahuan dan sikap warga di sejumlah negara mengenai kerusakan lingkungan dan perubahan iklim, termasuk Indonesia. Laporan studi dirilis pada Senin (2/10/2023).
Wawancara terhadap 3.490 orang dewasa Indonesia di 34 provinsi dilakukan pada periode Juni-Juli 2021. Hasil studi kuantitatif ini dilanjutkan dengan 14 kegiatan diskusi terbatas selama Juli-Agustus 2022 di Jakarta, Jayapura (Papua), Tarai Bangun (Riau), Kisaran (Sumatera Utara), serta Tegal, Demak, dan Semarang (Jawa Tengah).
Masyarakat Indonesia sudah mulai sadar akan adanya perubahan iklim, tetapi masih awam harus mengambil langkah apa kemudian.
Sebelum mendapat gambaran mengenai pemanasan global, responden ditanya seberapa banyak mereka mengetahui tentang pemanasan global. Dalam konteks ini, sebagian besar masyarakat Indonesia (76 persen) mengatakan, mereka tahu ”sedikit” tentang pemanasan global (55 persen) atau ”belum pernah mendengarnya” (20 persen). Sebaliknya, 22 persen masyarakat Indonesia mengatakan bahwa mereka ”cukup tahu” tentang pemanasan global dan hanya 2 persen yang mengatakan mereka ”tahu banyak”.
Setelah diminta menilai tingkat pengetahuan mereka tentang pemanasan global dan diberikan definisi singkat tentang pemanasan global, mayoritas masyarakat di Indonesia (63 persen) berpendapat bahwa pemanasan global sedang terjadi. Sebaliknya, hanya 7 persen yang menganggap pemanasan global tidak terjadi, sementara 30 persen tidak mengetahuinya.
Penelitian menemukan, responden paling cemas terhadap isu lingkungan dengan urutan pertama kekurangan air (91 persen), badai atau puting beliung (88 persen), kekeringan (87 persen), kebakaran hutan (86 persen), polusi air (85 persen), polusi udara (83 persen), banjir (83 persen), naiknya permukaan air laut (77 persen), dan panas ekstrem (69 persen).
Studi juga menunjukkan, masyarakat Indonesia paling menggantungkan harapan pada pemerintah. Sebanyak 75 persen responden berharap pemerintah dapat mengurangi kerusakan lingkungan akibat manusia, disusul harapan kepada masyarakat luas (73 persen) dan warga Indonesia sendiri (71 persen).
”Temuannya mengindikasikan bahwa pemerintah, sektor bisnis, para edukator, dan masyarakat sipil perlu bekerja bersama untuk membangun pemahaman bersama dan mendukung aksi-aksi iklim,” kata Anthony Leiserowitz, peneliti dari Yale Program on Climate Change Communication.
Merasa bersalah
Menurut Enggar Paramita dari Development Dialogue Asia, sebanyak 91 persen orang Indonesia merasa bahwa melindungi lingkungan dari kerusakan akibat ulah manusia merupakan kewajiban moral bagi kepentingan bersama. ”Sebanyak 90 persen merasa bertanggung jawab untuk mengurangi kerusakan demi kepentingan generasi mendatang. Sebanyak 82 persen bahkan merasa bersalah terhadap hal-hal negatif yang manusia lakukan terhadap lingkungan,” katanya.
Meski demikian, perasaan bersalah tersebut belum diikuti oleh aksi peduli lingkungan yang nyata. Dari studi itu terungkap hanya 18 persen orang Indonesia yang pernah berdonasi kepada kelompok pemerhati lingkungan, kemudian 4 persen responden pernah ikut boikot. Sisanya lebih memilih aksi lewat kanal media sosial. Mengekspresikan pandangan pribadi, mendorong orang untuk beraksi, menandatangani petisi online, atau mengontak para pejabat via media sosial adalah hal-hal yang responden biasa lakukan.
Secara umum, tergambar dari studi Yale dan tim tersebut bahwa masyarakat Indonesia sudah mulai sadar akan adanya perubahan iklim, tetapi masih awam untuk memutuskan harus mengambil langkah apa kemudian.
Sebagai perbandingan, di Brasil dan India sebagai dua negara yang juga padat penduduk dan rentan akan akibat perubahan iklim, kesadaran terhadap perubahan iklim sudah lebih meningkat, dengan cara mengedepankan kondisi lokal. Misalnya warga Brasil mementingkan perlindungan lingkungan dan hutan tropis Amazon serta tak keberatan jika pertumbuhan ekonomi melambat demi hal itu.
Sementara di India, cuaca lokal menjadi pusat perhatian, dengan 76 persen responden menyebut adanya perubahan curah hujan sepanjang 10 tahun terakhir dan 41 persen mengatakan musim angin muson terjadi lebih sering, bertambah sampai 17 kali lebih banyak sejak tahun 2011.
Para peneliti berharap temuan studi ini dapat memberikan informasi bagi para pelaku bidang perubahan iklim dalam upaya mendorong perubahan. Selain itu, diharapkan pemerintah untuk lebih menjawab aspirasi masyarakat akan lingkungan yang aman dan terjaga dari efek perubahan iklim.