Teladan Integritas Perguruan Tinggi Masih Rendah
Kasus-kasus korupsi dan plagiarisme terus terjadi di perguruan tinggi yang seharusnya menjadi wadah pendidikan karakter dan integritas.
JAKARTA, KOMPAS — Perguruan tinggi menjadi garda terdepan dalam menjaga integritas. Akan tetapi, perilaku koruptif hingga plagiarisme masih sering dilakukan oleh para pimpinan ataupun dosen di perguruan tinggi.
Pekan lalu, Senin (9/10/2023), Kejaksaan Tinggi Bali menahan empat tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait dana sumbangan pengembangan institusi (SPI) di Universitas Udayana, Bali. Rektor Universitas Udayana berinisial INGA termasuk satu dari empat tersangka yang ditahan penyidik Kejaksaan Tinggi Bali.
Kerugian negara terkait kasus dugaan korupsi dana SPI di Universitas Udayana sementara ini diperkirakan mencapai Rp 335 miliar berdasarkan hasil audit internal dan eksternal. Nilai itu lebih kecil ketimbang nilai awal kerugian negara yang disampaikan pihak Kejati Bali, yakni Rp 443,9 miliar
Sementara itu, penyidik Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah menahan mantan Rektor Universitas Tadulako (Untad) MB dan pejabat Untad TB. Kedua tersangka ditahan di rumah tahanan kelas II A Palu mulai Kamis (12/10/2023). Dalam kasus dugaan korupsi International Publication and Collaborative Center (IPCC) Untad, mereka diduga merugikan keuangan negara Rp 1,7 miliar.
Pelaksana Tugas Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulteng Abdul Haris Kiay menjelaskan, tim penyidik pidana khusus menahan dua tersangka dugaan korupsi IPCC Untad, yakni TB sebagai koordinator IPCC Untad dan MB selaku penanggung jawab teknis IPCC Untad. Indikasi kerugian negara mencapai Rp 1,7 miliar, tetapi berdasarkan hasil pemeriksaan auditor independen, dugaan sementara ditaksir Rp 4 miliar lebih dari adanya perjalanan fiktif dari kegiatan-kegiatan IPCC.
Aktivis dan relawan Kelompok Peduli Kampus (KPK) Untad, Muhammad Nasrum, yang dihubungi dari Jakarta, Sabtu (14/10/2023), mengatakan, kasus dugaan korupsi IPCC tersebut bermula dari laporan KPK Untad. ”Sebagai gerakan sosial moral yang independen, sukarela, dan imparsial, KPK Untad mendukung aparat penegak hukum agar mengusut tuntas seluruh dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi di Untad, baik yang dilaporkan sendiri oleh KPK Untad maupun oleh masyarakat yang mengetahui terjadinya dugaan korupsi sepanjang memenuhi ketentuan berdasarkan aturan perundangan,” kata Nasrum.
Nasrum memaparkan, sejak 10 Agustus 2021, KPK Untad telah melaporkan adanya dugaan korupsi dalam jumlah yang cukup besar di Untad dengan perkiraan kerugian negara Rp 56 miliar. Laporan KPK Untad tersebut mencakup sejumlah kasus dugaan korupsi, yaitu pembayaran atau pengeluaran pada sejumlah lembaga non-organisasi dan tata kerja (OTK) termasuk IPCC, perjalanan dinas luar negeri yang menyalahi ketentuan, pembangunan sarana pendukung auditorium, degradasi sistem IT termasuk SIAKAD, dan melanjutkan pengusutan terhadap kasus dana hibah orangtua mahasiswa Fakultas Kedokteran Untad.
Baca juga: Integritas Pendidikan Nasional Rendah
Ketua KPK Untad Djayani Nurdin mengajak masyarakat, seperti lembaga swadaya masyarakat, untuk turut serta mengawasi lembaga pendidikan tinggi. Dana yang dikorupsi tersebut merugikan kepentingan masyarakat, utamanya warga kampus.
”Padahal, masih banyak mahasiswa kelompok rentan atau terpinggirkan yang belum tersentuh oleh berbagai skema bantuan biaya pendidikan apa pun dan mengalami kesulitan membiayai studi mereka setiap semester,” kata Djayani.
Teladan integritas rendah dari perguruan tinggi tidak hanya masalah korupsi. Baru-baru ini, salah satu guru besar perguruan tinggi negeri juga disorot karena diduga plagiat. Guru besar tersebut mengaku lalai mencantumkan sumber dan penulisnya saat mengutip dalam buku yang ditulisnya.
Integritas rendah
Perilaku koruptif dan plagiarisme yang masih terus terjadi di perguruan tinggi menyebabkan indeks integritas pendidikan nasional hingga saat ini masih berada di level rendah. Dari hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan Nasional 2022 yang diluncurkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terpantau, semakin tinggi jenjang pendidikan, maka integritas yang tecermin dari karakter, ekosistem, dan kepatuhan justru makin rendah. Padahal, generasi muda yang berintegritas diharapkan mampu melawan korupsi
Perilaku koruptif antara lain pungutan liar (pungli) saat penerimaan siswa atau mahasiswa baru hingga merekayasa dokumen agar diterima sekolah atau kampus yang diinginkan. Ada juga dosen yang mewajibkan mahasiswa membeli diktat atau buku atau produknya sendiri. Ada juga pelaporan keuangan yang tidak transparan serta kampus atau sekolah tidak merinci komponen biaya sekolah atau perkuliahan
Baca juga: Integritas Pendidikan Nasional Rendah
Dari riset mengenai konflik kepentingan di dua perguruan tinggi negeri dan swasta yang dilakukan Transparency International Indonesia (TII) tahun 2016, diketahui bahwa konflik kepentingan di perguruan tinggi berpeluang terjadi di antaranya pada proses penerimaan mahasiswa baru, pengelolaan anggaran perguruan tinggi, dan perekrutan pegawai. Selain itu, pengadaan barang dan jasa; pengelolaan/penatausahaan aset BMN (barang milik negara), perjalanan dinas, penggunaan jabatan/keahlian di luar kampus, misalnya menjadi saksi ahli atau konsultan, penelitian dan pelayanan masyarakat, pemilihan/pengangkatan pejabat perguruan tinggi, serta proses pengawasan kinerja internal.
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek, Nizam mengatakan, pihaknya menerapkan zona integritas yang merupakan program nasional dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk mewujudkan pemerintah yang bersih dan bebas dari korupsi dan melayani. Ada beberapa hal yang dilakukan untuk meningkatkan zona integritas di lingkungan Ditjen Diktiristek. Pertama, memberikan layanan terbaik tanpa ada pikiran untuk melakukan perilaku yang koruptif. Kedua, meningkatkan penggunaan teknologi untuk mengembangkan layanan berbasis daring dan mengembangkan sistem nir uang tunai (cashless)sehingga ada transparansi informasi tanpa ada lagi penyelewengan dan penggelapan uang.
Penetapan Zona Integritas Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) diharapkan dapat semakin memperkuat integritas dan kualitas layanan pendidikan tinggi. Pencanangan zona integritas ini juga sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan, transparansi, akuntabilitas, dan menciptakan tata kelola birokrasi yang bersih.
”Institusi pendidikan tinggi harus mampu berperan aktif menjadi garda terdepan dalam mengeliminasi bentuk-bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain itu, dalam mewujudkan reformasi birokrasi dan pembangunan zona integritas menuju WBK/WBBM tidak hanya diperlukan kebulatan tekad dan niat, tetapi juga harus dilakukan perbaikan tata kelola dan tata kerja yang transparan dan akuntabel,” ujar Nizam.
Inspektur Jenderal Kemendikbudristek Chatarina Muliana Girsang mengatakan, Kemendikbudristek terus meningkatkan pengawasan dengan mekanisme sistem peringatan dini untuk pencegahan karena memiliki manfaat jauh lebih besar dibandingkan dengan penindakan. Selain itu, penting juga pendidikan pada masyarakat untuk berpihak pada integritas.
”Terutama dalam kasus suap/gratifikasi terkait penerimaan siswa/mahasiswa baru yang masih terjadi. Hal ini dinilai karena adanya permintaan dan persediaan,” kata Chatarina.