Tiap Dua Jam, Lima Istri Jadi Korban KDRT
KDRT merusak dan menghancurkan masa depan keluarga. Menghentikan KDRT, yang membuat banyak perempuan dan anak jadi korban, haruslah jadi gerakan bersama.
Kekerasan dalam rumah tangga sejak dini harus dicegah oleh semua pihak. Jika dibiarkan, kekerasan dalam rumah tangga dapat merusak dan mengganggu harmoni keluarga, bahkan menghancurkan keluarga. Dalam situasi tertentu, kekerasan rumah tangga bisa mengancam nyawa para korban.
Catatan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sejak 2001, jumlah kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan setiap tahun oleh lembaga pengada layanan, paling banyak berupa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kasus ini 60-70 persen dari total laporan.
Dari data tersebut menunjukkan setiap jam, setidaknya ada tiga perempuan menjadi korban kekerasan di rumahnya sendiri. Selain itu, dalam setiap dua jam, terdapat lima perempuan sebagai istri yang menjadi korban dari pasangannya.
”Ini angka, jauh melebihi kekerasan di wilayah mana pun,” ujar Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, saat tampil berbicara pada Kampanye Penghapusan KDRT di Ruang Publik di lokasi bebas kendaraan bermotor sekitar Stadion Gelora Bung Karno Jakarta, Minggu (15/10/2023).
Hampir dua dekade kita memiliki Undang-Undang Penghapusan KDRT, tetapi KDRT masih marak terjadi.
Andy mengatakan, semua orang selalu berpikir, rumah adalah tempat yang seharusnya paling aman. Bahkan kalau terjadi kekerasan di tempat kerja, terjadi pemerkosaan di jalan, semua orang akan mengatakan, perempuan sebaiknya di rumah saja.
”Seolah-olah di rumah akan selalu aman, baik-baik saja. Tapi tidak seperti itu. Sebab, angka menunjukkan semakin banyak kekerasan terhadap anak dan perempuan yang dilakukan oleh orang yang di dalam di rumahnya sendiri,” tegas Andy.
Penting untuk membangun kesadaran semua pihak untuk bersama-sama mencegah dan menghentikan praktik KDRT. Masyarakat (keluarga) harus terus diedukasi bahwa KDRT bukanlah urusan personal atau keluarga. Ketika ada yang menjadi korban, siapa pun wajib melaporkan kepada lembaga pengada layanan dan lembaga penegak hukum.
Harus berani bersuara
Sosialisasi untuk mencegah dan mengakhiri KDRT agar terus dilakukan setiap saat di semua ruang kehidupan masyarakat. Kampanye stop KDRT perlu semakin sering disuarakan dan semakin lantang diteriakkan. Hal ini akan menjadi alarm atau pengingat bagi semua orang tanpa kecuali.
”Kita harus berani bersuara. Sepanjang kita tidak berani bersuara, kasus yang sama akan terus berulang, kita tidak memberikan keadilan pada korban dan efek jera pada pelaku,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, yang hadir dalam kegiatan kampanye tersebut.
Baca juga: KDRT Masih Menjadi Ancaman bagi Perempuan
Semenjak awal 2021, Kementerian PPPA melalui kampanye ”Dare to Speak Up” gencar menyosialisasikan agar masyarakat berani bersuara mengakhiri KDRT. Dampaknya sosialisasi semakin terasa, masyarakat mulai berani bersuara, dan tidak menganggap lagi KDRT sebagai aib keluarga.
Kesadaran masyarakat pun semakin meningkat akan pentingnya mengakhiri KDRT dan menghapus stigma yang sering melingkupi korban. Seiring hal itu, perlahan-lahan mulai terlihat perubahan yang signifikan dalam cara masyarakat memandang dan menangani masalah KDRT.
Di sisi lain, aktivitas dan gerakan layanan pendukung dan perlindungan terhadap korban KDRT juga berkembang pesat. Kendati masih menjadi fenomena gunung es, akhir-akhir ini sejumlah korban mulai berani bersuara ke publik, bahkan membawa pelaku ke ranah hukum.
UU PKDRT hampir dua dekade
Bintang Darmawati mengingatkan bahwa pekerjaan belum selesai karena angka KDRT di Tanah Air hingga kini masih tinggi. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) periode Januari-Desember 2022, KDRT merupakan kekerasan terhadap perempuan paling banyak terjadi di rumah tangga, mencapai 73,1 persen (8.432 kasus) dengan pelakunya paling banyak adalah suami (56,3 persen).
”Kampanye penting kita lakukan. Karena hampir dua dekade kita memiliki Undang-Undang Penghapusan KDRT, tetapi KDRT masih marak terjadi. Semoga melalui komitmen yang kita bangun bersama, sinergi dan gerakan bersama, kekerasan bisa kita minimalisir,” kata Bintang Darmawati.
Untuk itu, ia menyerukan para korban, keluarga, dan masyarakat yang melihat, mendengar atau mengetahui adanya KDRT agar melapor ke layanan pengaduan kekerasan Kementerian PPPA. Laporan bisa disampaikan melalui hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau Whatsapp di 08111 129 129.
Baca juga: KDRT, Tindak Pidana yang Harus Dilaporkan
Kampanye yang mengusung tema ”Gema Kolaboratif Multistakeholder Menghapuskan KDRT” di sekitar Stadion Gelora Bung Karno kemarin digelar Kementerian PPPA bersama Perkumpulan JalaStoria Indonesia, dengan melibatkan sejumlah organisasi perempuan dan anak.
Dalam kegiatan itu, perwakilan sejumlah pemimpin organisasi/lembaga perempuan, termasuk para perempuan tokoh agama, akademisi, aktivis hak asasi manusia, dunia usaha, penyandang disabilitas, perempuan pekerja, hingga perempuan penyintas kekerasan juga menyerukan stop KDRT.
Mereka menyuarakan perlunya perhatian pada KDRT yang terjadi tiap saat di setiap keluarga dalam bentuk paling ringan hingga paling berat. Kekerasan masih menjadi momok bagi perempuan dan anak-anak meskipun Indonesia hampir dua dekade memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.
Kendati menjadi korban, tidak semua perempuan dan anak sanggup bersuara dan melawan, bahkan membawa sampai ke proses hukum. Untuk memutus rantai kekerasan tersebut, membutuhkan keberanian yang besar dan tekad yang kuat.
Dalam banyak kasus, perempuan (istri) sering dipaksa atau terpaksa memilih jalan mengalah, berdamai dengan pelaku, bahkan mencabut laporan, menyusul besarnya tekanan yang diterimanya. Ketika proses hukum berlanjut, putusan pengadilan sering jauh dari rasa keadilan korban. Pemulihan korban dari trauma akibat kekerasan sering diabaikan.
Baca juga: Siklus Kekerasan
Anggota Komisi Nasional Disabilitas (KND), Fatimah Asri Mutmainnah, mengingatkan semua pihak, KDRT bisa berdampak jangka panjang dan mengakibatkan disabilitas pada korban. Sejumlah korban KDRT bahkan mengalami disabilitas permanen.
Karena itu, agar kampanye mengakhiri KDRT berdampak yang lebih masif, Ninik Rahayu, Direktur JalaStoria, berharap seluruh pihak, mulai dari pemerintah, penegak hukum, tokoh agama, hingga organisasi masyarakat, jurnalis, penyintas kekerasan harus ikut menyuarakan penghapusan KDRT.
Selain kampanye yang tak putus, Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Giwo Rubianto mendorong aparat penegak hukum untuk mengimplentasikan UU PKDRT dengan mengedepankan perspektif korban ketika menangani kasus-kasus KDRT. ”Kami masih melihat aparat penegak hukum belum benar-benar mengimplimentasikan UU PKDRT,” ujar Giwo.
Baca juga: 19 Tahun Punya UU, KDRT Tetap Saja Marak
Kampanye mengakhiri KDRT yang berlangsung di kawasan bebas kendaraan bermotor menarik perhatian masyarakat umum yang berolahraga di pagi hari. Tak hanya perempuan, sejumlah laki-laki juga mengikuti acara tersebut serta ikut berkampanye menyuarakan stop KDRT. ”Stop KDRT,” teriak seorang bapak, saat tampil bersuara bersama Menteri PPPA.
KDRT ada dan terjadi di sekitar kita, bahkan di dalam rumah sendiri. Karena itu semua pihak, tanpa kecuali, harus bersuara.