Maestro Avip Priatna memimpin Jakarta Concert Orchestra mengangkat lima karya komposer Perancis.
Oleh
NINOK LEKSONO
·3 menit baca
Tenor Farman Purnama bersama Orkes Jakarta Concert Orchestra
Salah satu peribahasa Latin yang termasyhur adalah de gustibus non est disputandum, yang artinya, ”Soal selera jangan diperbantahkan.” Karena itu, pilihan maestro Avip Priatna dengan Jakarta Concert Orchestra (JCO) untuk mengisi program ”Soiree Francaise” (Petang/Malam Perancis) dengan Concerto dan Sinfonietta tak bisa diperbantahkan.
Sabtu (21/10/2023) malam di Balai Resital Kertanegara, Jakarta, Avip memimpin JCO mengangkat lima karya komposer Perancis, dibuka dengan karya Maurice Ravel (1875-1937), yakni ”Le Tombeau de Couperin” (Makam Couperin), disusul dengan Konserto untuk selo No 1 dalam A minor opus 33 karya C Saint-Saens (1835-1921), denga cellis Dani Ramadani.
Selepas jeda, hadir ”Petite Suite” (Suita Kecil) karya Claude Debussy (1862-1918) ditutup dengan ”Sinfonietta” FP 141 ciptaan Francis Poulenc (1899-1963). Sebelum itu tampil tenor ternama Farman Purnama membawakan karya Ernest Chausson (1855-1899). ”Poeme de L’Amour et de La Mer” (Syair tentang Cinta dan Laut) Opus 19, siklus lagu untuk vokal dan orkestra yang digubah dalam jangka panjang (dari tahun 1882 hingga 1892).
Vokal Farman berdialog selaras dengan orchestra. Dalam kisah asmara dan air ini yang ditampilkan adalah ”La Fleur des eaux” (bagian pertama dari tiga bagian karya Chausson yang mewarnai konser malam itu.
Alternatif
Kepada penulis, Maestro Avip mengatakan, dirinya menyukai musik Perancis, baik yang untuk orkestra maupun paduan suara. Musik Perancis terdengar menyanyi, dan ia ingin menantang para pemusik JCO untuk membawakan karya-karya tersebut.
Ketika muncul ide menarik di atas, pilihan terbuka lebar. Namun, selera mungkin berbeda. Jika perlu ditata ulang, pilihan bisa jatuh pada karya-karya yang relatif lebih populer.
Sebagai alternatif, ada Gabriel Faure (1845-1924), dengan karya populer antara lain ”Pavane pour une infant defunte” (Tarian untuk Mendiang Putri) dan lagu ”Apres un Reve” (Pasca Sebuah Mimpi). Musik Faure menautkan berakhirnya era Romantik dan modernisme di perempat kedua abad ke-20. Dari gurunya Saint-Saens, alangkah indahnya jika selo memainkan ”Le Cygne” (Sang Angsa) yang aslinya memang digubah untuk selo.
Jika perlu ditata ulang, pilihan bisa jatuh pada karya-karya yang relatif lebih populer.
Lalu ada Jacques Offenbach (1819-1880), komposer Perancis kelahiran Jerman, yang masyhur dengan opera (yang tak terselesaikan), ”Hikayat Hoffmann” (Les Contes d’Hoffmann), yang arianya ”Barcarolle”/”Belle Nuit” (Malam Indah) amat populer. Tak bisa dilupakan operetanya yang juga masyhur ”Orpheus di Neraka” (Orphee aux enfers). Ya, Offenbach boleh jadi lebih kuat menghadirkan ”Kehidupan Gaya Paris” (La Vie Parisienne).
Satu lagi, masih ada Jules Massenet yang menciptakan opera ”Thais” (1894) yang di dalamnya ada ”Meditation” yang sangat akrab di telinga pencinta musik klasik.
Adapun Debussy (1862-1918), penulis lebih berharap mendengar ”Suite Bergamasque”. Kalaupun tanpa piano, mungkin ”Prelude a l’apres-midi d’un faune” (1894) lebih populer.
Hal itu sekadar alternatif. Akan tetapi, yang sudah disajikan, terima kasih Maestro Avip. Apalagi masih ditambah encore ”Improvisasi No 1 dalam C Minor” karya Poulenc dengan orkestrasi karya Joko Lemazh Suprayitno.