Transformasi Pendidikan Perlu Konsisten dan Berkelanjutan
Anak-anak Indonesia perlu memiliki kemampuan dasar untuk jadi pembelajar sepanjang hayat. Hal ini mensyaratkan transformasi pendidikan secara berkelanjutan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemulihan pembelajaran dari dampak pandemi Covid-19 dan krisis pembelajaran selama 20 tahun yang terjadi di Indonesia membutuhkan implementasi kebijakan yang konsisten dan berkelanjutan. Upaya untuk mentransformasi sistem pendidikan Indonesia ini juga membutuhkan waktu, komitmen, serta kontribusi semua pihak agar terlihat hasilnya.
Meski ada penurunan hasil belajar (learning loss) dipicu penutupan sekolah saat pandemi Covid-19 yang memperburuk krisis belajar selama ini, berbagai upaya transformasi pendidikan dalam dua tahun terakhir mulai terlihat. Arah transformasi pendidikan dengan kebijakan Merdeka Belajar yang mendorong otonomi dan fleksibilitas pemerintah daerah, guru, dan sekolah untuk pemulihan dan perbaikan jangka panjang dinilai sudah tepat.
”Meski hasil pembelajaran belum bisa pulih seperti sebelum pandemi, ada indikasi pemulihan pembelajaran, terutama di kelas awal sekolah dasar. Ketertinggalan belajar bisa dipulihkan rata-rata dua bulan,” kata Direktur Program Inovasi Mark Heyward dalam acara Forum Media Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), di Jakarta, Rabu (25/10/2023).
Inovasi, lembaga kemitraan Pemerintah Australia dan Indonesia di bidang pendidikan, mengkaji hasil belajar pada masa pandemi di sekolah-sekolah mitra Inovasi. Studi dilakukan tahun 2020 sebelum pandemi, tahun 2021, dan tahun 2022 setelah pandemi dengan melibatkan 18.370 siswa kelas I-III SD di 20 kabupaten/kota. Hasilnya, ada indikasi learning loss dan kesenjangan belajar (learning gap) serta kelompok siswa yang paling rentan.
Ada indikasi penurunan hasil belajar siswa satu tahun setelah pandemi, yakni enam bulan untuk literasi dan enam bulan untuk numerasi. Learning loss yang terjadi cenderung berkontribusi terhadap melebarnya kesenjangan belajar.
Meski hasil pembelajaran belum bisa pulih seperti sebelum pandemi, ada indikasi pemulihan pembelajaran, terutama di kelas awal sekolah dasar. Ketertinggalan belajar bisa dipulihkan rata-rata dua bulan.
Efek pandemi Covid-19 terhadap pembelajaran bervariasi pada siswa, guru, hingga keluarga. Di kalangan siswa, yang paling terdampak adalah siswa penyandang disabilitas fisik dan nonfisik, siswa yang tak menguasai bahasa Indonesia, dan siswa yang tidak mengikuti pendidikan anak usia dini (PAUD) atau belum punya kemampuan dasar untuk bersekolah di jenjang sekolah dasar, seperti kemampuan mengingat, mengikuti instruksi, dan mengendalikan diri.
Adapun sekolah yang paling terdampak antara lain sekolah dengan guru yang memiliki tingkat pendidikan dan kualifikasi rendah, guru yang tidak punya fasilitas pembelajaran jarak jauh, dan sekolah yang tak memiliki program untuk meningkatkan partisipasi atau interaksi siswa untuk belajar saat pandemi.
Di kalangan orangtua, pandemi berdampak pada orangtua siswa yang tidak aktif mendampingi siswa belajar ataupun siswa dengan kondisi sosial ekonomi terbatas lantaran tinggal di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), keluarga miskin, serta tidak memiliki fasilitas pembelajaran jarak jauh.
Menurut Mark, siswa di kelas awal yang mencapai standar minimum kompetensi global untuk literasi baru 37 persen. ”Jika memiliki multikerentanan, siswa berpotensi memiliki hasil belajar rendah. Siswa yang tak lancar berbahasa Indonesia, tinggal di perdesaan dengan disabilitas, baru 8 persen yang memenuhi kompetensi minimum literasi global,” kata Mark.
Seiring dengan pembelajaran di sekolah yang kembali normal serta ada terobosan untuk pulih dari dampak pandemi dan krisis belajar, mulai ada indikasi pemulihan. Selain itu, ada indikasi penurunan kesenjangan antara hasil belajar siswa dan capaian yang ditetapkan kurikulum atau standar internasional.
Mark menambahkan, dari hasil studi yang tertuang dalam buku Bangkit Lebih Kuat: Studi Kesenjangan Pembelajaran, percepatan pemulihan pembelajaran bisa berbeda dari satu sekolah dengan sekolah lain. Sejumlah faktor pembeda yang menentukan adalah kepemimpinan kepala sekolah, penyesuaian praktik mengajar oleh guru, motivasi intrinsik guru, dan dukungan pihak lain (pemerintah, guru lainnya, lembaga swadaya masyarakat, dan orangtua siswa).
”Penyesuaian praktik mengajar guru dapat mempercepat pemulihan pembelajaran. Sebab, para guru menggunakan kurikulum yang sudah disesuaikan serta melakukan asesmen diagnostik dan memberikan tugas sesuai kemampuan siswa,” katanya.
Lebih lanjut, Mark menuturkan, karakteristik kurikulum yang berpotensi meningkatkan hasil belajar siswa adalah yang fokus pada materi esensial di literasi dan numerasi, Jadi, siswa bisa mempelajari kompetensi lain yang lebih kompleks. Lalu, menyediakan atau memberikan ruang fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran sesuai kemampuan siswa dan menyesuaikan dengan konteks lokal.
Studi terbaru menemukan, kerugian akibat ketidakmampuan menguasai literasi di Indonesia sekitar Rp 200 triliun rupiah setiap tahun. ”Transformasi pendidikan yang sudah berjalan membutuhkan waktu dan sudah pada arah yang tepat sambil terus disesuaikan. Komitmen politik nanti justru harus bisa mempercepat dan memperbaiki yang masih belum tepat,” ujarnya.
Dibelenggu penyeragaman
Sementara itu, Kepala BSKAP Kemendikbudristek Anindito Aditomo mengutarakan, dalam 20 tahun terakhir transformasi pendidikan berkualitas dilakukan. Namun, pendekatan penyeragaman dan kontrol pemerintah pusat membuat otonomi dan fleksibilitas penyelenggara pendidikan tak terjadi. Mereka dianggap sebagai birokrat pendidikan sehingga pendidikan lebih administratif, tak berorientasi siswa. Akibatnya, mutu hasil belajar tidak sesuai harapan.
Menurut Anindito, transformasi pendidikan dengan semangat Merdeka Belajar dilakukan dengan paradigma baru yang berpusat pada siswa. Kebijakan Asesmen Nasional, Rapor Pendidikan, dan Kurikulum Merdeka merupakan rangkaian program yang terintegrasi dan tidak terpisahkan. Ketiga program tersebut diharapkan dapat mendorong proses transformasi sistem pendidikan untuk meningkatkan karakter dan kompetensi semua murid di Indonesia.
”Asesmen Nasional, Rapor Pendidikan, dan Kurikulum Merdeka merupakan motor penggerak bagi transformasi sistem pendidikan di Indonesia. Ketiganya merupakan program-program prioritas BSKAP Kemendikbudristek yang secara jangka panjang dapat melahirkan pembelajar sepanjang hayat,” kata Anindito.
Tiga program tersebut memiliki peran penting dan saling terkait. Asesmen Nasional berperan memotret mutu proses, hasil belajar, dan lingkungan belajar. Hasil Asesmen Nasional dapat menjadi alat ukur yang lebih komprehensif dalam menilai akses, mutu, relevansi, dan tata kelola penyelenggaraan pendidikan.
Terkait dengan Kurikulum Merdeka, ia menjelaskan, kurikulum ini memberi kebebasan bagi pendidik dan satuan pendidikan menyusun materi pembelajaran yang sesuai dengan kondisi murid dan lingkungannya. Hingga kini, lebih dari 80 persen satuan pendidikan di Indonesia sukarela menerapkan Kurikulum Merdeka. Targetnya, pada tahun 2024, Kurikulum Merdeka dapat diimplementasikan di semua satuan pendidikan.
”Kurikulum Merdeka memberikan fleksibilitas bagi satuan pendidikan untuk merancang kurikulum operasional yang sesuai dengan visi, misi, serta kebutuhan belajar para peserta didik. Fleksibilitas menjadi salah satu faktor penting dalam peningkatan pembelajaran di sekolah,” ujarnya.