Layanan Gangguan Jiwa Dijalankan Berbasis Masyarakat
Pelayanan kesehatan jiwa akan didorong tidak lagi berfokus pada layanan di instutisi rumah sakit jiwa, tetapi lebih pada layanan berbasis masyarakat. Dukungan dari masyarakat dapat mempercepat pemulihan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem pelayanan kesehatan jiwa akan lebih difokuskan pada pelayanan berbasis masyarakat. Dengan begitu, masalah kesehatan jiwa tidak hanya diatasi dengan tujuan pengobatan, tetapi lebih untuk menjaga kualitas hidup pasien.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, perubahan konsep dalam layanan kesehatan jiwa akan dilakukan secara masif di masyarakat. Pelayanan yang sebelumnya berfokus pada layanan kuratif di rumah sakit akan diubah dengan lebih berfokus pada layanan promotif, preventif, dan rehabilitatif di masyarakat.
”Layanan di rumah sakit sifatnya hanya sementara sehingga setelah pengobatan di rumah sakit selesai akan didorong untuk kembali ke masyarakat. Harapannya, orang dengan gangguan jiwa bisa kembali hidup normal di keluarga dan masyarakat,” tuturnya, dalam peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang diikuti secara daring dari Jakarta, Jumat (27/10/2023).
Acara puncak peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia pada 2023 berlangsung di Manado, Sulawesi Utara. Dalam acara tersebut sekaligus diluncurkan Pengembangan Model Layanan Kesehatan Jiwa Berbasis Masyarakat. Kota Manado akan menjadi wilayah percontohan dari penerapan layanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat.
Budi menuturkan, mekanisme layanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat akan dijalankan mulai dari masyarakat menuju fasilitas pelayanan kesehatan primer. Kemudian, layanan baru akan dirujuk ke rumah sakit apabila diperlukan. Setelah pengobatan diberikan, pasien pun akan kembali ke masyarakat. Untuk itu, kesiapan masyarakat untuk memberikan layanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat amat diperlukan.
”Layanan berbasis masyarakat ini sudah berkembang sejak 10 tahun. Indonesia termasuk tertinggal. Dengan layanan ini, kami akan dorong semua rumah sakit umum memiliki layanan jiwa. Pengobatan hanya sebentar karena akhirnya akan didorong untuk kembali ke masyarakat,” ujarnya.
Dalam mewujudkan sistem pelayanan berbasis masyarakat, kerja sama dari seluruh pihak diperlukan. Pendekatan pelayanan bukan hanya terkait aspek kesehatan, melainkan juga sosial, budaya, hukum, dan ekonomi. Partisipasi masyarakat pun amat menentukan keberhasilan dari sistem pelayanan tersebut.
Secara teknis, layanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat akan diselenggarakan dan didampingi oleh anggota masyarakat, seperti kader kesehatan, kader pemberdayaan kesejahteraan keluarga (PKK ), ataupun pemberi kerja di lingkup lokal. Layanan ini menjadi satu kesatuan dari program kesehatan lain yang sudah ada.
Dekatkan akses
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Maria Endang Sumiwi menyampaikan, layanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat bertujuan untuk mendekatkan akses dan menjangkau masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan jiwa. Sebelumnya, layanan kesehatan jiwa bergantung pada institusi rumah sakit jiwa. Sementara ketersediaan layanan dan infrastruktur masih terbatas.
Data Kementerian Kesehatan berdasarkan Riset Kesehatan Dasar pada 2018 menunjukkan, prevalensi orang dengan gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 0,18 persen atau sekitar 2 dari 1.000 orang. Prevalensi depresi pada kelompok usia di atas 15 tahun sebesar 6,1 persen atau 1 dari 16 orang di Indonesia.
Kesenjangan layanan kesehatan jiwa masih besar. Itu terlihat dari jumlah pasien yang mendapatkan pengobatan. Dari sekitar 84,9 persen orang dengan gangguan jiwa berat, hanya 48,9 persen yang rutin berobat. Bahkan, pada kasus depresi hanya sembilan persen yang menerima pengobatan.
Layanan di rumah sakit sifatnya hanya sementara sehingga setelah pengobatan di rumah sakit selesai akan didorong untuk kembali ke masyarakat.
Jumlah tenaga medis yang menangani masalah kesehatan jiwa juga terbatas. Saat ini jumlah psikiater di Indonesia hanya sekitar 1.220 orang. Dengan jumlah itu, perbandingan antara psikiater dan masyarakat sekitar 1 berbanding 300.000, sementara target yang harus dicapai sekitar 1 berbanding 30.000 orang.
”Kita harus dorong pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat. Kita akan melebarkan akses dengan menggunakan pelayanan kesehatan umum, pelayanan sosial, serta infrastruktur yang sudah tersedia di masyarakat,” kata Endang.
Anggota Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI), Agus Sugianto, menuturkan, masyarakat dan komunitas memiliki peran yang besar untuk mendukung pelayanan bagi orang dengan gangguan jiwa. Komunitas sangat berperan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran mengenai gangguan jiwa. Dengan begitu, stigma dan diskriminasi bisa semakin dihilangkan.
Selain itu, komunitas bisa mendukung perbaikan fungsi pribadi dan fungsi sosial dari orang dengan gangguan jiwa. Perbaikan kondisi kesehatan mental dari orang dengan gangguan jiwa pun bisa lebih cepat dan lebih baik dengan adanya dukungan dari komunitas dan masyarakat.
”Komunitas sangat diperlukan dalam pemulihan orang dengan gangguan jiwa. Orang dengan gangguan jiwa bisa berdaya dan bisa beraktivitas dengan baik di masyarakat,” kata Agus.