Peserta Antusias Ikuti Kelas Umum Cerpen dan Puisi
Setidaknya ada dua macam gaya penulis, mereka yang terstruktur dan intuitif. Penulis terstruktur biasanya sudah siap mulai dari ide, kerangka tulisan, rencana alur cerita, dan penokohan.
Oleh
WISNU DEWABRATA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Puluhan peserta antusias dan menikmati jalannya dua kelas berbeda, yakni Kelas Umum Cerita Pendek dan Kelas Umum Puisi, pada Festival Kata: Merawat Literasi, Merawat Kebudayaan, Jumat (27/10/2023), di Bentara Budaya Jakarta. Tampil sebagai pembicara di Kelas Umum Cerita Pendek adalah Novka Kuaranita dan Hilmi Faiq. Sementara di Kelas Umum Puisi, pembicara yang tampil adalah Ni Made Purnama Sari dan Hilmi Faiq.
Acara berlangsung santai saat para pembicara berbagi pengalaman dan pengetahuan mereka. Dalam sesi Kelas Umum Cerpen bertema ”Berani (Gagal) Nulis Cerpen”, pembicara, antara lain, menuturkan bagaimana penulis mengatasi kebuntuan dalam menulis (writer’s block) dan bagaimana harus bersikap saat karya ditolak penerbit atau surat kabar.
Novka dan Hilmi Faiq juga membahas tentang bagaimana menempatkan dan memberikan konteks pada tulisan atau karya cerpen yang dihasilkan, termasuk seperti apa seharusnya kepekaan penulis terhadap kondisi lingkungan serta permasalahan yang terjadi di masyarakat sekitarnya untuk kemudian bisa dimasukkan dalam karya-karya mereka.
Dalam presentasinya, Faiq menyampaikan awal sejarah keberadaan cerita pendek dan bersambung di Tanah Air, termasuk di harian Kompas. Pemuatan cerita fiksi di Kompas sudah dilakukan sejak 4 Februari 1967, yang sekaligus dianggap sebagai embrio keberadaan cerpen di Kompas.
”Lalu pada tahun 1973 penulis Arswendo Atmowiloto menulis cerita pendek berjudul ’Bukan Cerita Pendek’. Sejak saat itu, cerpen-cerpen lainnya muncul di Kompas,” ujar Faiq.
Cerita pendek di harian Kompas punya empat ciri khas tema, yang juga menjadi patokan karya seperti apa bisa dimuat, yakni mengangkat tema yang sesuai dengan slogan Kompas, Amanat Hati Nurani Rakyat, berupaya memberi ruang untuk memunculkan dan menampilkan sisi-sisi keindonesiaan secara utuh, termasuk mengangkat tema-tema kemanusiaan transendental, dengan menyapa yang papa sambil sekaligus mengingatkan yang kaya.
”Semua tulisan di Kompas, baik berita maupun cerpen, mengandung empat tema besar ini,” tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Novka mengajak peserta untuk tidak ragu mulai menulis berangkat dari ide yang ada. Menurut dia, akan jauh lebih baik jika ide segera diwujudkan dalam bentuk tulisan atau paragraf awal, yang akan bisa diperbaiki kembali ketimbang hanya sebatas ide.
”Yang namanya ide baru sebatas titik berangkat dan belum pasti bisa jadi cerita lantaran masih acak dan belum berwujud. Lantas bagaimana ketika kita muncul ide? Saya sarankan segera dicatat. Memang belum tentu semua terpakai, tetapi setidaknya ketika kita akan memulai sudah ada titik berangkat,” tambah Novka.
Novka menyebut setidaknya ada dua macam gaya penulis, mereka yang terstruktur dan intuitif. Penulis terstruktur biasanya sudah siap mulai dari ide, kerangka tulisan, rencana alur cerita, dan penokohan. Kebalikannya, penulis intuitif lebih suka memulai pekerjaan sambil jalan setelah mendapat ide.
Seusai presentasi, kedua pembicara mengajak peserta menulis kerangka cerita dimulai dari satu kalimat, yang diikuti para peserta dengan antusias.
Salah seorang peserta, Athiyyah Nur Hanifah, mahasiswa semester tujuh Sastra Inggris Universitas Negeri Jakarta (UNJ), tertarik ikut acara setelah mendapat informasinya dari media sosial. Dia mengikuti dua kelas umum, Cerpen dan Puisi, untuk mendapat masukan dan pengalaman dari para pembicara.
Hani, begitu dia biasa dipanggil, gemar menulis karya-karya sastra, terutama puisi. Tak hanya itu, dia juga rajin mengikuti lomba acara-acara pembacaan puisi di sejumlah tempat dan komunitas. Tak jarang karya-karya yang dihasilkannya juga berasal dari hasil pengamatan. Hani menjadikan kegiatan menulis sebagai salah satu bentuk terapi bagi dirinya.
”Aku senang ikut acara open mic membacakan puisi-puisi karya sendiri di depan umum. Salah satunya di Komunitas Binokular. Saya senang ikut acara seperti sekarang ini untuk menambah ilmu sekaligus kenalan,” tambahnya.
Dalam Kelas Puisi bertema ”Ide Sama Itu Biasa: Eksplorasi Tema, Kekhasan Personal”, Ni Made Purnama Sari menyebut tak ada yang baru, termasuk ide, di kolong langit ini sehingga tak masalah jika terjadi ide sama kembali muncul. Dia mengutip penggalan puisi dari penyair besar WS Rendra, ”Suka duka kita tak istimewa karena semua orang mengalaminya.”
Menjawab pertanyaan salah seorang peserta, Purnama menyebut semua orang punya ide yang genuine sekaligus cara dan perspektif berbeda-beda dalam berkarya. Untuk itu dia menyarankan, saat berkarya, seseorang jangan pernah melihat hasilnya seolah bukan berasal atau tidak menggambarkan dirinya sendiri.
Purnama mencontohkan penyair besar Sapardi Djoko Damono, yang bahkan mampu membuat puisi berisi ungkapan original dan spontan hanya dalam hitungan 15 menit. Apa yang dilakukan Sapardi, menurut Purnama, berasal dari proses panjang dan melibatkan banyak latihan.
Sementara dalam kesempatan yang sama, pembicara kedua, Hilmi Faiq, menyarankan dalam menulis akan lebih baik setiap orang berupaya menunjukkan kekhasan masing-masing. Dengan begitu, dalam proses berkarya, seseorang tak perlu terlalu mengkhawatirkan perkara orisinalitas. Setiap penulis akan selalu dipengaruhi oleh penulis lainnya.
”Karya Sapardi memang berbeda dengan Joko (Pinurbo) atau Chairil Anwar. Semua itu sebetulnya perkara kekhasan masing-masing. Namun, soal orisinalitas, mereka sama-sama saling dipengaruhi. Akan tetapi, orang akan tahu, oh ini puisi misalnya Mbak Purnama, oh ini puisi saya,” tambah Faiq.