Membicarakan Politik dengan Santai
Relasi semu membuat kita marah saat capres-cawapres idola kita dikritik. Ingat, pemilu itu sementara, tapi persaudaraan selamanya.
Sejak nama bakal calon presiden dan wakil presiden bergulir, perbincangan masyarakat dan warganet tentang calon pemimpin bangsa lima tahun ke depan mulai memanas. Dukung-mendukung calon pilihan sering kali berkembang menjadi forum hujatan dan perdebatan. Tak jarang, obrolan yang semula santai dan penuh canda tawa, berakhir dengan pertengkaran dan saling mendiamkan.
Meski tidak mengenal langsung capres, cawapres, atau tokoh politik lain yang didukungnya, para penggemar ini merasa paling tahu segala seluk-beluk hidup, bahkan pikiran idolanya. Mereka merasa memiliki hubungan spesial dengan figur pujaannya meski bertatap muka atau mengobrol secara langsung pun belum pernah.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Para penggemar pun sangat membenci pesaing politik figur pujaannya. Bahkan, mereka siap menjadi tameng dan pembela terdepan jika sosok yang mereka sukai itu diusik. Padahal, seringkali sang idola tidak tahu-menahu dengan celaan atau kritikan yang dialaminya. Bahkan, terkadang juga tidak peduli. Tak jarang, mereka pun merasa sakit hati, emosi, menangis, hingga tekanan darah naik gara-gara tidak rela idola mereka dikritik, dihujat, atau dirundung orang lain.
Kondisi itu membuat sebagian orang malas membicarakan politik. Selain sering berakhir sebagai forum hujatan atau pertikaian yang tidak ada ujungnya, model diskusi yang banyak ditemui di media sosial, kolom komentar media daring, hingga percakapan di grup keluarga ini juga tidak memberikan wawasan politik yang bermakna.
Baca Juga: Presiden Jokowi: Perbedaan Pilihan di Pemilu Jangan Mengoyak Persatuan
”Tidak masalah mengidolakan figur tertentu yang dipopulerkan oleh media, baik artis, tokoh politik, karakter kartun atau anime, maupun selebgram sekalipun. Yang penting, tahu batasnya,” kata peneliti psikologi perilaku yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Pelita Harapan Tangerang, Erni Julianti Simanjuntak, terkait internet dan media sosial, Senin (30/10/2023).
Kaus bergambar bakal calon presiden dipajang di sebuah usaha konfeksi Sinergi Adv Nusantara di Srengseng Sawah, Jakarta, Jumat (27/10/2023).
Hubungan antara penggemar atau pendukung dengan idola mereka sebenarnya semu dan bersifat satu arah, parasocial relationship. Pola relasi ini dapat berdampak positif karena bisa memotivasi penggemar untuk melakukan hal-hal positif yang dilakukan sang idola serta membangun kelompok seminat dengan orang-orang yang belum dikenal sebelumnya.
Kesukaan pada capres-cawapres tertentu akan menjadi masalah jika menimbulkan fanatisme berlebih. Mereka akan sulit obyektif karena mengalami bias kognitif yang membuatnya menyaring informasi terkait capres pilihannya. Informasi positif akan mereka telan mentah-mentah dan informasi negatif pasti ditolak. Sebaliknya, mereka akan mengambil informasi negatif capres yang tidak disukai, rival capres idolanya, dan mengabaikan fakta positifnya.
Banyak di antara penggemar itu juga berani mengorbankan materi, waktu, dan tenaga hingga mempertaruhkan pekerjaan, reputasi, dan kehidupan sosial mereka di dunia nyata. Beberapa penggemar garis berat sampai harus dipecat dari pekerjaan atau dipenjara gara-gara merundung, mempersekusi, hingga mengancam orang lain yang memiliki pilihan idola berbeda. Semua itu dilakukan demi membela sosok yang tidak mengenal mereka.
Repotnya, relasi searah dari penggemar ke idola ini sering dimanfaatkan tokoh politik untuk memperkuat posisi mereka dan meraup lebih banyak suara. Tak jarang tokoh politik justru menggunakan isu-isu primordial untuk makin memperkuat ikatan di antara emosional penggemarnya, meski tindakan itu justru bisa memecah belah masyarakat.
Pemilu itu sementara, tetapi kita berkawan sudah lama, dan bersaudara untuk selamanya.
Erni menilai, anak muda rentan menjadi korban propaganda seperti ini. Sebagian anak muda memang sudah mampu bersikap kritis menghadapi perang opini yang terjadi. Namun, mereka yang belum matang emosinya sehingga melakukan hal-hal di luar kewajaran yang mengganggu aktivitas personalnya, merusak relasi sosialnya di dunia nyata, bahkan berurusan dengan aparat hukum.
Agar diskusi politik berjalan santai, tidak berakhir dengan gontok-gontokan, tidak memicu ketersinggungan pihak lain, atau tidak membuat dongkol diri sendiri karena relasi semu dengan capres-cawapres tertentu, Erni mengingatkan untuk mengambil jarak sejenak dengan capres-cawapres idola kita.
”Saat mulai tersinggung karena merasa capres-cawapres idola kita diserang, ingat bahwa yang sedang dibicarakan itu tokoh tertentu, bukan diri kita. Pandangan orang lain tentang capres idola kita itu bukan berarti menyerang kita, tetapi mengevaluasi preferensi kita,” katanya.
Kita boleh menyampaikan apa yang kita suka dan tidak suka terhadap calon tertentu. Namun, jangan lupa mendengar pandangan orang lain yang berbeda. Setiap orang memiliki pertimbangan tersendiri saat memilih atau mengidolakan tokoh tertentu dan itu tidak bisa dicampuri orang lain. Kita tidak bisa memaksakan pandangan politik kita terhadap orang lain.
Baca Juga : Partai Politik Gencar Dekati Pemilih Muda
Sementara itu, peneliti psikologi sosial yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Jakarta Ahmad Naufalul Umam menambahkan, saat mulai tersinggung karena preferensi politik kita dievaluasi orang lain, perlu diingat bahwa hal itu bukan hanya terjadi dalam pemilihan capres-cawapres. Sikap suka dan tidak suka akan selalu ada dalam hal apa pun, termasuk tentang idola K-pop, pemain sepak bola, hingga tokoh agama sekalipun.
Selain itu, saat muncul ketegangan ketika sedang berdiskusi politik, terutama di grup pertemanan atau keluarga, gunakanlah identitas sosial yang berbeda. Saat diskusi capres-cawapres memanas, alihkan identitas sosial kita dari pendukung capres-cawapres tertentu menjadi identitas penggemar klub sepak bola, grup memancing, penggemar bakso mercon atau seblak pedas, keturunan dari kakek buyut tertentu, atau identitas lain yang menyatukan.
Bagaimanapun, seiring bertambahnya usia, seseorang akan semakin sulit mencari kawan baru dan teman lama pun akan pergi satu per satu, baik akibat kesibukan atau tuntutan kehidupan yang lain. Karena itu, jangan korbankan relasi nyata yang sudah kita bangun sejak lama hanya gara-gara perbedaan pandangan politik dengan teman atau keluarga.
”Pemilu itu sementara, tetapi kita berkawan sudah lama, dan bersaudara untuk selamanya,” kata Umam.
Iklim politik
Jika diskusi politik berakhir dengan pertikaian dan menganggap kritikan terhadap tokoh politik sebagai serangan terhadap pribadi kita, maka itu merupakan cara yang salah dalam mengarahkan politik. Politik hanya dianggap sebagai perbedaan pendapat semata. Sejatinya, perbedaan pendapat itu sah dan justru diperlukan untuk membangun secara konstruktif. Namun, hal yang seharusnya diperdebatkan adalah ide atau gagasan politiknya, bukan hal-hal yang tidak substansial.
Menurut Umam, iklim dan budaya politik yang membangun dan sehat di Indonesia memang belum terbentuk. Perbedaan pendapat masih ditabukan. Bahkan edukator politik atau orang yang berusaha mendudukkan sebuah wacana politik secara kritis dan netral sering dituding memihak karena pendapatnya berbeda dengan pandangan kita.
Anak Indonesia memang tidak dididik untuk bisa berbeda pendapat. Pola pendidikan yang menjadikan guru sebagai sumber kebenaran mutlak dan orangtua yang menjadi pemegang otoritas atas kehidupan anak dan harus senantiasa dipatuhi membuat anak susah berpendapat, takut salah, dan takut dianggap bodoh. Mereka juga sulit menyampaikan pendapat dan argumentasinya dengan tepat dan efisien.
Baca juga : Demi Bakal Capres, Parpol Rebutan ”Hati” Anak Muda
Selain itu, perdebatan politik di ruang publik pun masih terfokus ke hal-hal terkait politainment (hiburan politik), bukan adu ide dan gagasan yang bisa memberi solusi atas masalah publik dan berdampak pada kehidupan masyarakat. Akibatnya, isu trah keluarga politik atau bagaimana tokoh politik tampil di media sosial masih menjadi bahasan utama diskusi.
Namun, Umam menilai, elit politik, elit masyarakat, bahkan pendidik pun masih banyak yang mengajarkan dukung mendukung capres-cawapres itu dengan pertimbangan personal. Konsekuensinya, informasi tentang gagasan politik pun lebih terbatas dan yang menguat adalah branding untuk memperkuat citra tokoh tertentu dan mengaburkan dosa-dosa politik mereka di masa lalu.
”Akibatnya, sebagian besar masyarakat justru terjebak dalam branding politik dan hanya sebagian kecil yang mau serta memiliki waktu dan wawasan untuk menganalisis atau mencerna isu-isu politik yang berkembang,” katanya.
Jebakan branding politik itu pula membuat sebagian orang malas bersuara karena yakin aspirasi mereka sulit untuk diterjemahkan langsung dalam kebijakan. Mereka menganggap aspirasi mereka akan dipedulikan hanya jika viral terlebih dahulu. Dampaknya, daripada membahas gagasan politik atau program, masyarakat lebih memilih untuk mencari siapa yang dianggap bisa menyuarakan gagasan tersebut.
Di sisi lain, saat ini berkembang budaya meme di kalangan generasi Z dan generasi Alfa. Budaya ini memandang politik sebagai hal yang humoris, seperti capres gemoy atau mama banteng. Memang tidak salah membicarakan politik dengan gaya komedi, tetapi ide atau gagasan politiknya seharusnya tetap menjadi bahasan utama.
”Anak muda butuh ruang yang aman dan nyaman untuk berdiskusi politik, tempat mereka tidak disalahkan atas pandangan mereka atau dianggap bodoh,” tambah Umam.
Baca Juga: Survei Litbang ”Kompas”: Sikap Politik Anak Muda, Cair nan Ambigu
Forum-forum terbuka yang dimoderatori bisa menjadi tempat anak muda mau mendiskusikan dan mempelajari politik. Forum ini perlu memiliki aturan tegas yang ditegakkan sehingga mendidik anak muda untuk bisa berdebat dengan santun dan membangun. Kemampuan berdebat ini akan membuat mereka tidak hanya terbiasa menyuarakan gagasannya, tetapi juga tidak mudah terprovokasi dan bisa menyikapi perbedaan dengan wajar.
Namun, upaya membangun diskusi politik yang santai dan menyenangkan itu tidak akar pernah terwujud jika elit politik terus menggunakan pendengung (buzzer) untuk memperkuat citra mereka, menyerang tokoh politik lain, serta terus mendengungkan politik identitas dan menggunakan isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) demi meraih simpati pemilih.
”Menang atau kalah, para elit politik itu tetap akan menjadi orang Indonesia dan tinggal di Indonesia. Jadi, jangan biarkan Indonesia hancur, tidak bermartabat, dan sulit maju demi persaingan yang bersifat sementara,” kata Umam.