Menyiapkan Kampus Merdeka yang Berkelanjutan
Kampus Merdeka terus dikembangkan di perguruan tinggi, bahkan kini harus mulai dapat dilakukan secara mandiri.
Animo mahasiswa untuk merasakan pembelajaran di luar kampus dengan pengakuan satuan kredit semester atau SKS hingga 20 SKS tinggi. Data hingga Oktober 2023, sekitar 920.000 mahasiswa Indonesia menjalani pembelajaran di luar kampus dengan berpartisipasi dalam berbagai program Merdeka Belajar Kampus Merdeka atau MBKM dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sesuai minat masing-masing.
Bagi para mahasiswa, pengalaman tersebut tak hanya memperkuat hardskills, tetapi yang utama adalah softskills. Salah satu program yang tersedia adalah Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM).
PMM telah berjalan tiga angkatan yang diikuti lebih dari 39.000 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Mereka difasilitasi mengikuti perkuliahan selama satu semester di perguruan tinggi kluster pulau yang berbeda dengan perguruan tinggi asalnya. Melalui mobilisasi ini, mahasiswa berkesempatan untuk merasakan suasana akademis yang berbeda sehingga dapat memperkaya khazanah keilmuan sekaligus meningkatkan pemahaman dan apresiasinya terhadap keragaman budaya Nusantara.
Baca juga : Mengajak Mahasiswa Mengalami Kebinekaan
”Banyak yang mengatakan bahwa Papua masih tertinggal, banyak kerusuhan, dan orang-orangnya menyeramkan. Tetapi, saya membuktikan sendiri bahwa omongan tersebut tidak benar. Orang Papua sangat ramah dan baik hati, kami selalu disapa ketika bertemu di jalan meskipun kita tidak saling mengenal,” cerita Kahfi, mahasiswa Universitas Malikul Saleh, Aceh, yang tengah mengikuti PMM di Universitas Pendidikan Muhammadiyah (Unimuda) Sorong, Papua Barat Daya, Rabu (8/11/2023).
Ketika menginjakkan kaki di Tanah Papua, Kahfi disambut hangat oleh kampus penerima, keramahan warga setempat, dan keindahan Kota Sorong. Rasa kagum pun mencuat di hatinya. Baginya, Papua jauh lebih menakjubkan dari apa yang ada di benaknya selama ini.
Sementara Arfan, mahasiswa Universitas Pamulang, Banten, merasa beruntung bisa lolos PMM ke Sorong. Kesempatan ini dimanfaatkannya untuk mempelajari sejarah, budaya, dan nilai-nilai masyarakat Papua. Berada langsung di Tanah Papua menghadirkan pengalaman dan pengetahuan bermakna yang tidak bisa didapatkannya dari buku atau media-media lainnya.
”Selama ini, saya tahu tentang kebudayaan Papua hanya dari buku. Tetapi, sekarang saya bisa melihat langsung. Saya ingin bilang ke teman-teman saya bahwa Papua sangat menyenangkan dan mengajak mereka untuk merasakan langsung seperti apa Papua itu,” kata Arfan.
Bagian dari pembelajaran
Melalui PMM, mahasiswa tidak hanya belajar tentang kebudayaan dan keberagaman. Mereka juga belajar untuk beradaptasi dengan cuaca, makanan, dialek, atau tuntutan untuk mengatur waktu dan kebutuhan pribadi mereka, terutama mereka yang tidak terbiasa hidup jauh dari keluarga. Namun, semua pengalaman ini nyatanya menjadi bagian dari pembelajaran yang penuh makna, membawa mereka untuk akhirnya menemukan sahabat dan keluarga baru yang jauh dari kampung halaman mereka.
Kesempatan untuk mengenal Indonesia secara langsung lewat PMM juga dimanfaatkan Roro, mahasiswa Universitas Padjadjaran, yang kini belajar di Sorong. Di sana ia turut berpartisipasi dalam sebuah komunitas lokal yang bergerak di bidang pendidikan di Papua. Di sela waktunya kuliah dan mengikuti kegiatan PMM, Roro ikut mengajar anak-anak Papua yang sebagian di antaranya tidak menikmati pendidikan formal.
”Saya merasa sedih melihat anak-anak yang berkeliaran saat jam sekolah, ketika teman-teman mereka yang lain duduk belajar di dalam kelas. Saya tahu persoalan pendidikan memang ada di mana-mana, tapi selama ini saya tidak terlalu menyadarinya. Di sini, saya sungguh-sungguh belajar untuk menjadi pribadi yang lebih peka dan peduli dengan masalah yang ada di sekitar saya,” kata Roro.
Ada kesan yang dibangun bahwa praktik adalah tujuan utama pendidikan nasional. Keilmuan dan pengetahuan lainnya cukup selintas lalu.
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Papua Sorong Marthen Sagrim mengatakan, kampusnya tidak hanya menjadi perguruan tinggi pengirim, tetapi juga sebagai perguruan tinggi penerima. Mahasiswa yang telah mengikuti program PMM membawa banyak cerita dan hal-hal positif yang mereka bagikan kepada rekan-rekan di kampus asalnya sekembalinya mereka dari kampus penerima PMM.
”Kami melihat ada hal yang berbeda ketika mereka kembali ke kampus. Ada semangat dan motivasi yang ditularkan ke teman-teman mereka. Saya rasa program ini sangat baik dan kami merasa sangat terhormat dipercaya menjadi salah satu perguruan tinggi penerima,” ujar Marthen.
Baca juga: Kampus Merdeka Perkuat Relevansi Lulusan Perguruan Tinggi
Selain PMM, program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) juga memicu animo mahasiswa dan para mitra. Pada tahun 2024, sekitar 45.000 mahasiswa ditargetkan dapat mengisi puluhan ribu lowongan untuk belajar di luar kampus yang disediakan kementerian/lembaga/perusahaan.
Kepala Program MSIB Wachyu Hari Haji menjelaskan, MSIB bertujuan untuk mempersempit disparitas antara ketersediaan sumber daya manusia berkualitas dengan permintaan industri. MSIB telah memfasilitasi lebih dari 120.000 peserta dari berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia dalam lima angkatan untuk memperoleh pengalaman kerja dan kompetensi yang penting untuk persiapan karier mereka.
”Hasil survei dan kajian dampak program menunjukkan bahwa alumni MSIB memiliki kapasitas berpikir dan kompetensi kepemimpinan di atas rata-rata, mencerminkan bahwa program ini telah memberikan dampak positif bagi mahasiswa Indonesia,” kata Wachyu.
Terus diperbaiki
Wachyu mengatakan, program MSIB terus diperbaiki. Salah satunya terkait digitalisasi dokumen Surat Rekomendasi (SR) dan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) yang menjadi salah satu syarat keikutsertaan mahasiswa dalam Program MSIB.
”Dulu, untuk mendapatkan SR dan SPTJM harus bertemu dengan kepala prodi dan meminta tanda tangan basah di lembar bermeterai. Cukup rumit dan akhirnya banyak waktu tersita. Karena itu, untuk angkatan enam kami lakukan perbaikan. Mahasiswa bisa langsung mengisi di platform tanpa harus meminta tanda tangan pimpinan prodi secara langsung,” ujar Wachyu.
Sementara itu, Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemendikbudristek Sri Suning Kusumawardani mengatakan, MBKM terus berkembang, bahkan sudah mulai dilakukan secara mandiri oleh perguruan tinggi. Salah satu yang harus disiapkan perguruan tinggi adalah mengembangkan kurikulum yang fleksibel sehingga dapat memberikan pengakuan hasil pembelajaran para mahasiswa yang mengikuti MBKM dalam bentuk pengakuan SKS.
”Penting bagi kita untuk memastikan bahwa pelaksanaan program MBKM berjalan dengan lancar dan optimal. Pengakuan SKS menjadi salah satu pijakan penting dalam mengukuhkan hasil pembelajaran mahasiswa dalam Program MBKM,” kata Suning.
Suning menambahkan, kesiapan perguruan tinggi menjalankan MBKM mandiri juga harus ditingkatkan. Sebab, MBKM harus terus berjalan dan menjangkau lebih banyak mahasiswa dan perguruan tinggi untuk mendukung penyiapan SDM berkualitas.
Berdasarkan data Diktiristek, jumlah perguruan tinggi yang menjalankan MBKM Mandiri tumbuh dari 576 perguruan tinggi pada 2022 menjadi 921 perguruan tinggi pada 2023, atau tumbuh 60 persen dalam setahun. Sementara pada kurun waktu yang sama, jumlah mahasiswa yang terlibat dalam MBKM Mandiri periode 2020-2022 tercatat sebanyak 241.000 orang, sedangkan pada 2023 tercatat 257.000 mahasiswa.
Kepala Bidang Kampus Merdeka Mandiri (KMM) Dessy Aliandrina menyampaikan, data tersebut diperoleh dari Survei MBKM Mandiri oleh KMM pada September lalu menyusul survei serupa pada 2022. ”Dari sisi jumlah mahasiswa yang terlibat, tahun 2023 saja melebihi akumulasi selama 2020–2022,” tutur Dessy.
Menurut Dessy, pihaknya terus menggencarkan sosialisasi pengenalan umum MBKM, khususnya MBKM Mandiri, agar perguruan tinggi memahami filosofi, dasar hukum, dan perlunya MBKM Mandiri sekaligus bimbingan teknis bagi perguruan tinggi yang sudah memahami seluk-beluk MBKM, tetapi masih perlu dibimbing pelaksanaannya.
”Fokusnya bagaimana perguruan tinggi bisa melakukan relaksasi kurikulum dan bagaimana mendesain kurikulum MBKM,” kata Dessy.
Baca juga : Membenahi Kampus Merdeka
Ada juga dialog multipihak sebagai ajang dialog antara perguruan tinggi dan para pihak dari luar perguruan tinggi, seperti lembaga pemerintahan, organisasi bisnis, organisasi sosial, dan kemasyarakatan yang sudah atau berpotensi menjadi mitra bagi perguruan tinggi untuk menyelenggarakan MBKM Mandiri. Perguruan tinggi membutuhkan para mitra untuk memberi kesempatan mahasiswa untuk belajar maksimal selama tiga semester di luar program studi masing-masing.
Herman RN, dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala Aceh, menuturkan, lahirnya program MBKM merupakan salah satu inovasi yang sangat mengguncang pendidikan di Indonesia. Manakala mekanisme MBKM ini tidak segera dibenahi, guncangan terdahsyat terhadap dunia pendidikan nasional akan semakin menggelegar lima hingga sepuluh tahun mendatang.
”Ada kesan yang dibangun bahwa praktik adalah tujuan utama pendidikan nasional. Keilmuan dan pengetahuan lainnya cukup selintas lalu,” kata Herman.