Lari, Pengubah Evolusi Manusia
Manusia mulai berlari sejak dua juta tahun lalu. Proses adaptasi membuat manusia menjadi pelari jarak jauh yang lebih baik dibandingkan binatang.
Soal kecepatan berlari, manusia memang kalah jauh dibandingkan kucing, anjing, kuda, apalagi cheetah. Namun, soal ketahanan berlari jarak jauh, kemampuan manusia boleh diadu. Meski fungsi berlari saat ini jauh berubah dibandingkan dengan awalnya, lari telah mengubah evolusi manusia hingga memiliki bentuk tubuh seperti sekarang yang berbeda dengan hominid pendahulunya.
Setiap tahun, lebih dari satu juta orang ikut maraton. Di antara berbagai spesies, manusia adalah satu-satunya spesies yang mampu berlari jauh, seperti maraton yang menempuh jarak 42,195 kilometer (km). Namun, dalam dunia yang mengagungkan kecepatan, ketahanan manusia berlari jarak jauh secara sukarela itu kurang dihargai.
Cheetah sebagai hewan darat tercepat di bumi, yang mampu berlari hingga kecepatan 103 km per jam, diciptakan hanya untuk berlari dengan kecepatan tinggi, bukan untuk ketahanan berlari. Adapun hewan yang mampu berlari jarak jauh, seperti kuda dan anjing, hanya akan berlari jauh jika dipaksa.
Manusia diperkirakan mulai berlari sekitar 2 juta tahun yang lalu. Kemampuan itu diperoleh melalui proses adaptasi yang panjang.
Dalam kerajaan binatang, manusia modern masuk dalam genus Homo. Sekitar 7 juta tahun lalu, moyang manusia yang mirip kera mulai meninggalkan pepohonan dan mengais-ngais di atas tanah di sekitar pepohonan dengan gerak yang sangat terbatas.
Manusia purba yang tidak berbulu, tidak bercakar, dan sebagian besar tidak memiliki senjata itu menggunakan kombinasi tenaga dan kegigihan untuk mendapatkan keunggulan atas hewan incaran mereka yang lebih cepat, lebih kuat, dan umumnya lebih berbahaya.
Seiring menghangatnya bumi dan lanskap yang didominasi sabana, sekitar 4,5 juta tahun lalu, hominid purba mulai berevolusi menjadi makhluk bipedal yang berjalan dengan dua kaki. Kondisi itu membuat mereka mampu memandang di atas rerumputan tinggi dan dapat bergerak dua kali lebih jauh dengan energi yang sama.
Meski demikian, mereka tetap mempertahankan kemampuannya untuk bepergian dengan bergelayut di antara pepohonan. Karena itu, jari kaki mereka masih panjang dan jempol kakinya mencengkeram untuk mempermudah memanjat dan bergerak di antara pepohonan. Struktur kaki ini tidak mendukung mereka untuk berjalan lama, apalagi berlari.
Sekitar 2,5 juta tahun kemudian, manusia bisa berlari. Di masa ini, tubuh Homo erectus menunjukkan perubahan signifikan dibandingkan dengan tubuh Australopithecus afarensis yang mirip kera besar. Tubuh hominid mulai beradaptasi dan mengembangkan struktur yang mendukung mereka untuk berlari jauh. Kaki mereka memanjang, jari kaki memendek, pinggang mengecil, bokong membesar, hingga dada dan leher yang bisa bergerak fleksibel terhadap kepala.
”Seluruh bagian tubuh, dari ujung kaki ke ujung kepala, tidak ada bagian yang tidak terpengaruh oleh lari,” kata Daniel Lieberman, Profesor Biologi di Departemen Biologi Evolusi Manusia Universitas Harvard, Amerika Serikat, seperti dikutip Livescience, 1 September 2023.
Kaki yang lebih panjang membuat moyang manusia memiliki tendon achilles, gabungan tiga otot besar di betis untuk mengangkat tumit, yang juga panjang. Tendon achilles ini, menurut Jay Schulkin di Frontiers in Systems Neuroscience, 11 Juli 2016, membantu Homo erectus dan Homo habilis untuk berlari jauh guna menjelajah dan berburu.
Tendon Achilles dan lengkungan telapak kaki bekerja mirip pegas. Tendon ini berfungsi untuk menyimpan energi dan mengurangi metabolisme tubuh saat berlari serta mengembalikan sebagian energi tersebut saat manusia mulai berlari. Selain itu, jari kaki manusia juga memendek sehingga tidak mudah patah saat mereka berlari.
Berlari juga membuat tubuh manusia mengalami tekanan lebih tinggi dibandingkan dengan berjalan. Konsekuensinya, permukaan sendi yang menghubungkan antartulang menjadi lebih besar untuk meredam tekanan tersebut. Selain sendi dan tendon, otot di tubuh bagian bawah juga lebih besar dibandingkan dengan tubuh bagian atas sehingga mendukung manusia berlari jauh.
Agar bisa berlari dengan efisien, manusia membutuhkan pinggul lebih ramping. Inilah yang membuat tulang panggul Homo erectus lebih kecil dibandingkan Australopithecus. Pinggang yang kecil dan fleksibel memungkinkan manusia memutar tubuh bagian atasnya saat berlari untuk mengimbangi gaya saat kaki berlari.
Pinggang ramping, lengan lebih pendek, dan bahu lebih lebar akan membantu tubuh bagian atas mengimbangi tubuh bagian bawah selama berlari. Selain itu, bokong manusia juga lebih besar yang berperan penting untuk menjaga keseimbangan saat berlari. Otot bokong yang besar akan menahan tubuh bagian atas agar tetap tegak kala berlari.
Namun, pinggul yang sempit akan membuat persalinan pada manusia modern menjadi lebih sulit dilakukan. Akibatnya, sebagian besar manusia butuh didampingi orang lain saat melahirkan. Mereka masih bisa melahirkan tanpa bantuan orang lain, tetapi risikonya sangat besar.
Tak hanya itu, tubuh bagian belakang manusia juga memiliki otot yang lebih kekar untuk menjaga tubuh agar tidak jatuh ke depan saat berlari. Tidak seperti kera, manusia memiliki tulang belakang yang fleksibel yang memungkinkan mereka memutar pinggul dan bahu tanpa membuat kepala ikut berputar. Kondisi ini memungkinkan manusia menjaga pandangannya tetap ke depan selama berlari.
Baca Juga: Rute Sarat Tanjakan Menanti Pelari Borobudur Marathon
Wajah manusia modern juga terbentuk dari aktivitas berlari moyang mereka. Manusia modern memiliki ukuran kepala yang lebih berimbang terhadap tubuh, wajah yang lebih rata, serta gigi dan hidung yang lebih kecil juga agak mundur. Kondisi ini menggeser sedikit pusat massa tubuh ke belakang sehingga lebih mudah menyeimbangkan kepala mereka sewaktu berlari.
Meski demikian, Lieberman menilai adaptasi terbesar yang membedakan manusia dengan hominid pendahulunya adalah kemampuannya dalam membuang panas. Manusia adalah satu-satunya spesies yang memiliki kemampuan untuk berkeringat. Tanpa adanya bulu tebal, keringat dapat dengan mudah menguap sehingga suhu tubuh bisa diatur normal kembali.
Tubuh manusia yang tegak dan tinggi menciptakan area permukaan yang luas untuk pendinginan tubuh. Kemampuan mengambil dan membuang napas melalui mulut, bukan hanya via hidung saja, juga membantu manusia membuang panas yang terkumpul dalam tubuh karena berlari.
Kemampuan membuang panas tubuh dengan beragam cara itu memungkinkan manusia berlari saat siang hari. Ketika cuaca terik, hewan biasanya memilih istirahat. Pembuangan panas berlebih pada tubuh hewan umumnya dilakukan dengan terengah-engah. Namun, mereka tidak bisa terengah-engah sambil berlari cepat. Sebagian hewan biasanya akan mengalami hipertermia, mirip heat stroke pada manusia, setelah berlari 10-15 km.
Perubahan struktur tubuh yang membantu manusia berlari itu juga membuat manusia membutuhkan energi lebih sedikit saat akan berlari cepat. Kondisi ini berkebalikan dengan hewan yang harus mengeluarkan energi lebih besar saat harus mengubah mode berlarinya, dari pelan menjadi cepat. Kebutuhan energi yang besar inilah yang membuat binatang lebih sulit berlari jarak jauh dibandingkan dengan manusia.
”Manusia dapat berlari dalam kondisi yang tidak dapat dilakukan oleh hewan,” kata Liberman.
Berbagai adaptasi tubuh manusia modern untuk berlari itu menjadikan manusia sebagai pelari jarak jauh yang baik. Meski proses adaptasi ini harus mengorbankan kemampuan historis hominid untuk hidup di pepohonan, profesor emeritus dari Sekolah Ilmu Hayati, Universitas Utah, AS, Dennis Bramble, menilai, justru adaptasi itulah yang menjadikan tubuh manusia seperti saat ini.
”Berlari membuat kita menjadi manusia seperti sekarang, setidaknya secara anatomi,” katanya di U, majalah Universitas Utah, 17 November 2004. Jika tidak berlari, tubuh manusia sekarang justru akan tetap sama seperti leluhurnya, sang kera besar.
Mulai berburu
Hominid mulai berlari untuk mencari sumber protein yang berperan besar dalam pembesaran volume otak. Sumber protein itu bisa dipenuhi dari daging, sumsum, dan otak binatang. Moyang manusia itu, menurut Lieberman, mulai menambahkan daging dalam menu makanan mereka sejak 2,6 juta tahun lalu.
Jika masih bergelantungan di pohon atau berjalan di sekitar pepohonan saja, kebutuhan akan bahan pangan hewani itu tentu akan sulit diperoleh. Selain itu, untuk mendapatkan sumber protein itu, persaingannya semakin tidak mudah karena harus bersaing dengan sejumlah hewan karnivora lain di padang luas.
Baca Juga: Berevolusi Bersama Bumi
Karena itu, moyang manusia itu harus berlari untuk bisa memulung bangkai mamalia mati sebelum dipulung oleh binatang karnivora lainnya. Lokasi bangkai ini bisa dikenali dari keberadaan burung-burung nasar yang akan selalu terbang di atas bangkai binatang. Pada masa awal berlari, memulung bangkai menjadi cara yang dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan pangan daripada berburu.
Seiring waktu, kemampuan berlari mereka berkembang dan tidak lagi hanya mengais bekas buruan binatang lain. Hominin yang merupakan manusia purba mulai memburu hewan hidup yang memiliki kecepatan lari lebih baik dibandingkan manusia. Mereka juga harus bersaing langsung dengan hewan-hewan pemakan daging yang memiliki kekuatan lebih dahsyat.
Berlari menjadi satu-satunya cara untuk mendapat daging karena senjata berburu, seperti busur dan panah, baru ditemukan 50.000 tahun lalu. Selain jarak yang makin jauh, untuk mengejar hewan buruan itu juga dibutuhkan lari dengan ketahanan baik.
Ketahanan ini diperlukan karena mereka harus mengejar dan menangkap target buruan. Teknik itu hingga kini masih digunakan oleh suku San atau disebut juga Bushmen di Afrika bagian selatan untuk berburu kawanan hewan, terutama kijang.
Kegigihan berlari itu juga dikembangkan dari perburuan saat tengah hari. Mereka berusaha memburu mangsa di hari yang terik untuk membuat binatang tersebut lari lebih cepat dari kecepatan yang bisa dipertahankannya. Saat hewan itu kelelahan atau mencoba beristirahat, manusia akan lebih mudah menangkapnya.
”Manusia purba yang tidak berbulu, tidak bercakar, dan sebagian besar tidak memiliki senjata itu menggunakan kombinasi tenaga dan kegigihan untuk mendapatkan keunggulan atas hewan incaran mereka yang lebih cepat, lebih kuat, dan umumnya lebih berbahaya,” tutur Liebermen seperti dikutup dari The Harvard Gazette, 19 April 2007.
Kemampuan manusia berlari jarak jauh, tambah Schulkin, terus berkembang seiring munculnya kebutuhan berburu secara berkelompok dan memperluas jangkauan guna mendapat makanan. Perluasan wilayah buruan itu juga mendorong pembesaran otak hominin hingga meningkatkan kapasitas kognitif (berpikir) dan afektif (merasa) mereka. Pembesaran otak itu pada akhirnya akan menghasilkan eksplorasi budaya dan teknologi manusia.
Pengembangan fungsi otak itu juga akan meningkatkan ketahanan manusia berlari. Ukuran otak yang membesar akan meningkatkan metabolisme pada hominin karena otak mengonsumsi sekitar 70 persen energi manusia. Peningkatan penggunaan energi itu akan membuka peluang bagi hominin untuk berlari semakin jauh lagi.
Baca Juga: Terus Berlari biar Bahagia
Berlari jarak jauh juga memicu keluarnya hormon dopamin dan endorfin di otak. Kedua neurotransmitter itu menimbulkan rasa senang dan nyaman sehingga membuat orang yang berlari merasa lebih bahagia dan tidak mudah stres.
Zat ini juga mampu mengurangi rasa tidak nyaman dan perasaan tertekan yang muncul akibat berlari dan aktivitas fisik lainnya. Akhirnya, meski terlihat melelahkan, berlari jarak jauh sejatinya bisa menyenangkan dan menenangkan.
Era modern
Ratusan ribu generasi berlalu, hingga kini manusia tetap berlari. Namun, sekarang, manusia berlari dengan tujuan dan cara yang berbeda. Jika semula berlari untuk menjaga kelangsungan hidupnya, manusia sekarang berlari untuk tujuan rekreasi dan kesehatan. Meski lari sesungguhnya adalah sebuah keterampilan, hal itu sudah tidak banyak diajarkan lagi.
Penulis buku Footnotes: How Running Makes Us Human (2016) yang juga profesor di Universitas Kent, Inggris, Vybarr Cregan-Reid, menilai, berlari di masa ini bukan lagi menjadi upaya untuk menjaga keberlangsungan hidup, tetapi lebih sebagai bentuk olahraga.
Hingga abad ke-19, tidak ada orang berlari di jalanan untuk tujuan olahraga atau rekreasi. Kebutuhan itu baru muncul seiring berkembangnya budaya bekerja yang tidak banyak bergerak dan diikuti gaya hidup sedentari yang membuat manusia semakin malas untuk aktif.
Lari merupakan olahraga yang murah dan mudah karena hampir semua orang bisa melakukannya tanpa perlu belajar khusus. Meski demikian, sebagian orang tetap enggan lari karena berbagai pengalaman buruk terkait lari yang tertanam dalam memori otak mereka. Berlari mengejar kereta, dikejar anjing, gagal dalam ujian lari di sekolah, atau jatuh dan cedera gara-gara berlari, semua memberi kenangan tidak menyenangkan tentang lari.
”Lari adalah sesuatu hal yang melekat pada diri kita sebagai spesies. Berlari adalah sarana untuk senantiasa terhubung dengan lingkungan dan pikiran, sarana untuk melepaskan endorfin yang sejatinya baik bagi tubuh manusia,” kata Cregan-Reid seperti dikutip National Geographic, 30 Juli 2017.
Walau kini muncul gerakan berlari tanpa alas kaki, sebagian besar orang tetap berlari dengan sepatu yang memiliki sol tebal dan empuk. Mereka juga berlari dengan bekal jam tangan pintar yang tidak hanya menunjukkan durasi berlari, jarak yang ditempuh, jumlah langkah yang dilalui, atau jumlah kalori yang dibakar, tetapi juga mengukur sejumlah fungsi organ tubuh, seperti denyut jantung dan tekanan darah.
Namun, bagi Cregan-Reid, tujuan berlari bukanlah untuk mendapatkan tubuh yang bugar. Baginya, bugar hanyalah efek samping dari berlari. Ia suka berlari karena saat sedang berlari dirinya merasa memiliki waktu luang, waktu yang memungkinkan untuk benar-benar bersantai dan jauh dari ingar bingar.
”Saat kita sudah menghitung berapa jarak yang ditempuh, berapa banyak langkah sudah diambil, maka saat itulah tingkat kesantaian berlari berkurang. Bagi saya, lari itu mirip meditasi daripada sekadar menjaga kebugaran,” tuturnya.
Manusia kini juga berlari demi mengejar kecepatan waktu. Beberapa pelari maraton dibantu sejumlah ahli sedang berusaha memecahkan rekor lari maraton kurang dari dua jam. Rekor dunia lari maraton saat ini dipegang pelari asal Kenya, Kelvin Kiptim, yang mampu menyelesaikan lari maraton hanya dalam 2 jam 35 detik yang dicapai dalam Chicago Marathon, 8 Oktober 2023.
Fokus pada kecepatan, tambah Bramble, juga membuat manusia meremehkan keunggulan sejati manusia, yaitu ketahanan dalam berlari jarak jauh. Padahal, ketahanan itu hanya bisa dicapai dari gabungan kecepatan berlari yang masuk akal dan daya tahan tubuh yang luar biasa.
Apa pun tujuan berlari, lari terbukti memberikan efek yang baik bagi kesehatan fisik dan mental manusia. Lari tidak hanya membuat bugar dan meningkatkan derajat kesehatan fisik seseorang, tetapi lari juga membuat manusia bertambah cerdas, menghilangkan stres, mengistirahatkan otak, menjauhkan dari gawai, serta mendorong kreativitas.
Apa pun alasannya, teruslah berlari; karena dengan berlari, manusia modern saat ini eksis.