Perempuan-Laki-laki Sama-sama Pemburu Andal di Era Paleolitikum
Sama seperti laki-laki, perempuan di era paleolitikum juga berburu hewan untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Pembedaan kerja antara laki-laki dan perempuan baru terjadi di era pertanian dan berlangsung hingga sekarang.
Sejak era paleolitikum, perempuan dan laki-laki sama-sama berburu untuk mencukupi kebutuhan pangan mereka. Perempuan tidak meramu seperti anggapan selama ini. Namun, ketika era pertanian dimulai, pembedaan pekerjaan berdasar jenis kelamin dimulai. Sejak itu hingga kini, perempuan dianggap tidak cocok untuk pekerjaan yang butuh tenaga besar.
Berburu adalah pendorong utama evolusi manusia, pembeda hominin dengan kera besar pendahulunya. Pencarian sumber pangan hewani yang menambah volume otak manusia purba itu identik dengan kekuatan dan tenaga yang besar. Mereka tidak hanya bersaing dengan kelompok lain, tetapi juga dengan hewan karnivora lainnya.
Karena itu, teori-teori antropologi yang berkembang menempatkan lelaki dengan keunggulan fisiknya sebagai pemburu di era tersebut. Sebaliknya, perempuan dengan segala kodratnya, mulai dari menstruasi, hamil, bersalin, hingga menyusui, dianggap tidak mampu melakukannya. Perempuan di awal evolusi itu dinilai hanya sebagai peramu alias pengumpul makanan saja.
Saat berolahraga dengan intensitas yang sama, perempuan akan membakar lemak lebih banyak 70 persen dibandingkan dengan laki-laki.
Gagasan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, laki-laki berburu dan perempuan meramu, itu berasal dari teori Man the Hunter yang merupakan kumpulan makalah ilmiah yang disunting antropolog Richard B Lee dan Irven DeVore pada 1968.
”Karena, laki-laki dianggap sebagai pemburu, pendukung teori ini menganggap evolusi kerja hanya terjadi pada laki-laki. Perempuan hanya dianggap sebagai penerima manfaat pasif dari pasokan daging dan kemajuan evolusi,” tulis antropolog biologi manusia dari Universitas Delaware, Amerika Serikat, Sarah Lacy dan Cara Ocobock, dari Universitas Notre Dame, AS, di majalah Scientific American, November 2023.
Pandangan akademik yang memandang superioritas laki-laki itu tidak lepas dari kondisi zaman. Di masa itu, partisipasi perempuan dalam lomba lari maraton, seperti yang dilakukan Kathrine Switzer di Boston Marathon 1967, adalah hal janggal meski tidak dilarang. Pelari maraton perempuan pertama itu akhirnya dipaksa keluar dari lintasan.
Di masa itu, perempuan dianggap tidak akan mampu menyelesaikan tugas yang menuntut fisik kuat dalam waktu panjang. Pekerjaan dengan kapasitas fisik berat itu dianggap bisa membahayakan kemampuan reproduksi perempuan yang berharga. Alih-alih melakukan tugas yang memberatkan, perempuan lebih dituntut untuk bisa hamil, melahirkan, dan menyusui. Hingga kini, pandangan ini masih mengakar kuat di masyarakat.
Nyatanya, berburu menghasilkan sejumlah karakter unik yang tertinggal pada tubuh manusia purba. Catatan fosil, bukti arkeologis dan studi etnografi terhadap kelompok pemburu-pengumpul modern menunjukkan, perempuan memiliki sejarah panjang dalam perburuan binatang. Di era paleolitikum alias zaman batu tua, antara 3,3 juta hingga 12.000 tahun yang lalu, peran kerja berdasarkan jender itu tidak terjadi.
Baca juga: Hilangkan Bias Jender, Perempuan Prasejarah Juga Mampu Berburu
”Perempuan tidak hanya berburu di masa lalu, tetapi tubuh mereka juga lebih cocok untuk aktivitas yang membutuhkan daya tahan tubuh,” kata Lacy dan Ocobock di The Conversation, 17 November 2023.
Fisiologi
Setiap manusia pasti memiliki dan membutuhkan hormon estrogen dan testosteron meski kadarnya berbeda. Perempuan umumnya memiliki lebih banyak estrogen, sedangkan laki-laki mempunyai testosteron lebih besar.
Meski testosteron dianggap penting untuk menunjang kekuatan otot dan fisik, reseptor testosteron sejatinya hanyalah duplikat dari reseptor estrogen. Reseptor estrogen berasal dari 1,2 miliar sampai 600 juta tahun lalu, sedangkan reseptor testosteron hanya berumur setengahnya. Walau sering disepelekan, estrogen nyatanya justru lebih menunjang kinerja otot dan paling baik untuk daya tahan otot.
Estrogen juga memberi sinyal kepada tubuh untuk membakar lemak lebih banyak. Lemak memiliki dua kali lipat kalori per gramnya dibandingkan dengan karbohidrat. Pembakaran atau metabolisme lemak juga lebih lama dibandingkan dengan karbohidrat sehingga bisa memberikan energi yang berkelanjutan dalam waktu lama.
Karena konsentrasi estrogen lebih besar ada pada tubuh perempuan, maka perempuan memiliki ketahanan otot dan fisik yang lebih baik dari laki-laki. Keuntungan ini membuat perempuan mampu berolahraga atau bekerja dalam waktu lebih lama tanpa cepat mengalami kelelahan. Estrogen juga membuat perempuan memiliki ketahanan lebih panjang saat berburu dan menjangkau wilayah luas.
Selain memiliki keunggulan estrogen, perempuan juga memiliki proporsi serat otot tipe I yang lebih besar dibandingkan dengan laki-laki. Otot tipe ini memiliki serat oksidatif lambat yang suka memetabolisme lemak. Serat jenis ini tidak terlalu kuat, tetapi membutuhkan waktu lebih lama untuk kelelahan.
Baca juga: Menelisik Penyebab Perempuan Lebih Panjang Umur
Sebaliknya, laki-laki memiliki serat otot tipe II yang seratnya kuat, tetapi cepat lelah. ”Saat berolahraga dengan intensitas yang sama, perempuan akan membakar lemak lebih banyak 70 persen dibandingkan dengan laki-laki. Karena itu, perempuan lebih tidak gampang merasa lelah,” tulis Lacy dan Ocobock.
Hormon estrogen juga penting untuk pemulihan pascaolahraga. Paparan panas dan olahraga yang intensif akan menimbulkan stres pada tubuh hingga memicu peradangan yang akan melepaskan protein secara tiba-tiba. Pelepasan protein ini bisa menghambat pemulihan kondisi seseorang.
Karena itu, estrogen akan membatasi respons peradangan tersebut dan menstabilkan membran sel yang rusak akibat stres yang ditimbulkan selama berolahraga. Kondisi itu membuat perempuan akan mengalami lebih sedikit kerusakan sel selama olahraga dan lebih cepat pulih.
Laki-laki dan perempuan setara
Selain kondisi fisik yang menunjukkan tidak adanya pembedaan kerja pada laki-laki dan perempuan di era paleolitikum, Lacy dan Ocobock juga menegaskan tidak adanya bukti tentang struktur sosial atau peran masyarakat berdasarkan jender saat genus Homo mulai berevolusi sejak 2 juta tahun lalu.
Sekitar 400.000-250.000 tahun yang lalu, homonin Neanderthal hidup di Eurasia barat dan tengah. Sepupu terdekat manusia modern alias Homo sapiens itu hidup nomaden dalam kelompok-kelompok kecil.
Namun, bukti fosil menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki trauma tulang yang sama di sekujur tubuh mereka. Trauma tulang itu buah dari perburuan mereka mengejar rusa, sapi besar (auroch), dan mamut atau gajah besar yang berbulu tebal. Gigi laki-laki dan perempuan juga mengalami keausan yang sama karena digunakan sebagai tangan ketiga selama penyamakan kulit berlangsung.
Lihat juga: Kelebihan Hormon Testosteron dapat Memicu Perang
Laki-laki dan perempuan Neanderthal melakukan pekerjaan yang sama tidak hanya terkait proses pencarian makan atau membangun tempat tinggal. Mereka juga membesarkan anak bersama-sama. ”Dalam masyarakat peramu, setiap ibu tidak hanya bertanggung jawab kepada anaknya, tetapi seluruh anggota kelompok punya peran pengasuhan yang sama,” ujarnya.
Pekerjaan yang sama setiap laki-laki dan perempuan Neanderthal itu dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup kelompok kecil mereka. Setiap gangguan kecil yang muncul dan ketidakmampuan anggota komunitas mempertahankan diri bisa merusak dan menghancurkan komunitas subsisten tersebut.
Tidak adanya perbedaan antara tubuh laki-laki dan perempuan Neanderthal itu juga terjadi pada manusia modern. Saat Homo sapiens meninggalkan Afrika dan memasuki Asia dan Eropa pada masa paleolitikum atas atau sekitar 50.000-40.000 tahun lalu, trauma pada tubuh mereka juga tidak banyak menunjukkan perbedaan antarjenis kelamin.
Namun, saat itu mulai ditemukan lebih banyak cedera siku (thrower’s elbow) pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Cedera ini mirip dengan yang biasa dialami pada atlet lempar lembing. Cedera itu diyakini terkait dengan ditemukan dan digunakannya sejumlah alat bantu berburu, seperti tombak, kail, jaring, serta busur dan anak panah.
Pembagian kerja dan struktur sosial yang membedakan laki-laki dan perempuan itu baru terjadi saat manusia mulai mengenal pertanian, sekitar 12.000 tahun lalu. Di masa ini, manusia mulai berubah dari masyarakat nomaden yang mencari makan dengan berburu-meramu menjadi masyarakat agrikultur yang tinggal menetap di satu wilayah dan bercocok tanam.
Baca juga: Kisah Para Perempuan Tangguh Penakluk Ombak dari Kepulauan Maluku
Sejak mengenal pertanian pula, manusia baru mengenal sistem ekonomi bertingkat dan bisa memonopoli sumber daya tertentu. Tugas laki-laki dan perempuan pun mulai dibedakan karena perempuan dengan kemampuan reproduksinya dianggap tidak mampu dan tidak cocok dengan jenis-jenis pekerjaan yang membutuhkan banyak tenaga dan kekuatan otot.
Pandangan masyarakat pertanian yang membeda-bedakan laki-laki dan perempuan itu masih mengakar kuat sampai sekarang. Meski menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui membuat perempuan harus rehat sejenak atau mengurangi intensitasnya bekerja, tetapi hal itu tidak melemahkan perempuan. Dengan segala kodratnya, perempuan tetap bisa melakukan apa saja dan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan laki-laki.