Komnas Perempuan, 25 Tahun Bersuara Bersama Perempuan Korban Kekerasan
Lahir dari Tragedi Mei 1998, Komnas Perempuan bersuara dan mendokumentasikan kekerasan terhadap perempuan di Tanah Air.
Seperempat abad hadir di Tanah Air, berjalan bersama komunitas korban atau penyintas dan perempuan pembela hak asasi manusia bukan hal mudah bagi Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan. Meski demikian, Komnas Perempuan menjadi ”rumah” bagi perempuan korban.
Hadir dengan membawa nama lembaga ”Antikekerasan terhadap Perempuan” menjadi tantangan tersendiri selama 25 tahun. Bahkan, di usianya mendekati tiga dekade, masih banyak orang menganggap lembaga ini sebagai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Di satu sisi, Komnas Perempuan menjadi rujukan data kekerasan perempuan secara nasional. Di sisi lain, Komnas Perempuan menghadapi kecaman, kritik, bahkan penolakan dari sejumlah warga ketika ada pernyataan atau sikap Komnas Perempuan yang dianggap tak sejalan dengan keinginan mereka.
Dari sisi sejarah berdirinya, banyak pihak belum tahu jika kelahiran Komnas Perempuan berakar pada tragedi kekerasan seksual, terutama dialami perempuan etnis Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998 di berbagai kota besar di Indonesia. Tragedi ini tersimpan dalam memori para korban dan keluarga.
”Dua puluh lima tahun merupakan perjalanan tak singkat dan tidak gampang bagi Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan,” ujar Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani pada Puncak Peringatan Hari Ulang Tahun Ke-25, Rabu (15/11/2023), di Jakarta.
Selain Saparinah Sadli dan sejumlah komisioner sejak dari generasi pertama, seperti Sjamsiah Achmad, acara ini dihadiri Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati dan sejumlah pimpinan lembaga.
Dua puluh lima tahun adalah sebuah perjalanan yang tak singkat dan tidak gampang bagi Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan.
Kisah perjalanan 25 tahun Komnas Perempuan, menurut Andy, bukan sekadar soal Komnas Perempuan, tapi tentang semua yang berjuang demi kehidupan bebas dari kekerasan. Itu terutama bagi perempuan yang menghadapi kerentanan akibat pemosisiannya dalam keluarga, masyarakat, dan negara.
Menyikapi keterbatasan
”Dalam 25 tahun Komnas Perempuan melatih diri menyikapi keterbatasan dan tantangan sebagai batu uji daya tangkas dan kapasitas kepemimpinannya untuk menciptakan, dan merebut peluang, seberapa pun kecil, dalam mewujudkan cita-cita penghapusan kekerasan terhadap perempuan,” ucap Andy.
Salah satu kerja Komnas Perempuan yang diakui publik menjadi referensi dan rujukan berbagai lembaga adalah Catatan Tahunan atau Catahu. Selama bertahun-tahun, dengan dana terbatas, Komnas Perempuan mendokumentasikan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.
Awalnya hanya dengan 25 lembaga pengada layanan pada tahun 2001. Dua dekade setelah itu, lembaga yang turun dalam pendokumentasian Catahu naik 73 kali lipat. Pada Catahu 2022 tercatat 1.821 lembaga layanan dan institusi penegak hukum.
Dari sekian lembaga, ada 25 mitra yang paling kerap berpartisipasi dalam Catahu sejak dilansir antara lain LRC KJHAM, WCC Palembang, SPEK HAM Solo, LBH APIK Jakarta, LBH APIK Aceh, Sahabat Perempuan, dan SAPA Institute.
Baca juga: Komnas Perempuan Masih Terus Berjuang Menghapus Kekerasan terhadap Perempuan
Data tersebut digunakan untuk memperjuangkan sejumlah aturan perundangan, mulai dari UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) di tahun 2004 hingga UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang disahkan tahun 2022 lalu.
Data ini juga digunakan dalam menyusun konsep penanganan yang komprehensif bagi perempuan korban kekerasan, dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan.
Dalam 25 tahun, Komnas Perempuan pun meluncurkan 470 publikasi, 47 hasil pemantauan dan pelaporan kondisi HAM perempuan, 34 dokumen hasil pemetaan dan pendokumentasian,
Lembaga tersebut juga menerbitkan 73 kajian dan pengembangan konsep; 62 naskah masukan kebijakan, 74 instrumen pengembangan pengetahuan, 64 materi kampanye publik, serta 69 laporan kelembagaan Komnas Perempuan.
Pada publikasi tersebut, lebih dari 12 topik jadi fokus pengembangan pengetahuan Komnas Perempuan terkait konflik, bencana, dan pengungsi, termasuk konflik sumber daya alam, tata ruang, agraria, pelanggaran HAM, dan pelanggaran HAM berat, pelanggaran HAM masa lalu.
Sejumlah topik lainnya meliputi intoleransi, kebebasan beragama atau berkeyakinan, bencana alam, dan bencana pandemi Covid-19. Komnas Perempuan terus memutakhirkan data tentang kekerasan berbasis jender.
Karlina Supeli, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, yang mengajar feminisme dalam filsafat, melalui Refleksi ”Satu Suara, Wujudkan Cita-cita: 25 Tahun Perjalanan dan Arah ke Depan Perjuangan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan” mengingatkan latar belakang Komnas Perempuan hadir.
Komnas Perempuan dibentuk di atas sejarah perempuan korban kekerasan berbasis jender sesudah ada desakan masyarakat, khususnya gerakan perempuan, agar pemerintah bertindak aktif dalam menghentikan dan mencegah segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
”Kelahirannya menandai harapan bahwa pemulihan itu bukan impian kosong. Terlebih lagi, harapan untuk pencegahan,” ujar Karlina,
Baca juga: Meneguhkan Perjuangan Membebaskan Perempuan dari Kekerasan
Perjalanan 25 tahun tidak mudah. Ada masa Komnas Perempuan harus berjuang keras menghadapi krisis keuangan karena alokasi anggaran dari pemerintah tidak sebanding dengan kebutuhan Komnas Perempuan untuk menjalankan mandatnya.
Kelahirannya menandai harapan bahwa pemulihan itu bukan impian kosong. Terlebih lagi, harapan untuk pencegahan.
Bahkan, krisis sumber daya manusia pernah dialami lembaga ini. Tantangan berat muncul ketika suatu lembaga negara mengusulkan agar Komnas Perempuan dilebur, atau malah ditutup, demi kepentingan efisiensi birokrasi. ”Tantangan yang berhasil dihadapi memperlihatkan daya belajar Komnas Perempuan mengagumkan,” kata Karlina.
Refleksi dan evaluasi kelembagaan secara berkala, internal dan eksternal justru menumbuhkan kecekatan untuk menjaga keseimbangan antara stabilitas lembaga dan kemampuan adaptasi sehingga Komnas Perempuan dapat bereaksi relatif cepat terhadap permasalahan baru.
Putri sulung reformasi
Lahir dari Tragedi Mei 1998, kehadiran Komnas Perempuan sebagai putri sulung reformasi punya makna tersendiri. Capaian Komnas Perempuan tak lepas dari semangat para pendiri menanamkan fondasi independen pada Komnas Perempuan, termasuk pemilihan nama lembaga tersebut.
Sejarah Komnas Perempuan berawal pasca-Kerusuhan Mei 1998 setelah audiensi Presiden BJ Habibie dengan Masyarakat Antikekerasan terhadap Perempuan, yang diwakili Hartarto, Ita F Nadia, Shinta Nuriyah, Saparinah Sadli, Kuraisin Sumhadi, Mayling Oey, Mely G Tan, Kamala Chandrakirana, dan Smita Notosusanto, pada 15 Juli 1998.
Saat itu, Saparinah—yang kemudian jadi Ketua Komnas Perempuan pertama,—mengusulkan kepada Presiden BJ Habibie untuk membentuk komisi nasional yang bergerak dalam isu perempuan di Indonesia.
Hal ini dengan pertimbangan bahwa kepentingan perempuan harus disuarakan dan dibunyikan, tidak hanya sekadar dititipkan kepada lembaga yang bisa jadi berbeda ideologi dengan gerakan perempuan.
Usulan tersebut diterima, dan awalnya presiden menawarkan komisi yang diberi nama ”Komisi Nasional Perlindungan Wanita” dan ditempatkan di bawah naungan Kementerian Negara Urusan Wanita.
Namun, tawaran tersebut ditolak dengan tegas oleh para aktivis perempuan, termasuk tawaran agar ibu negara duduk dalam jajaran kepengurusan komisi baru tersebut.
Akhirnya disepakati nama ”Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan” atau Komnas Perempuan, yang secara eksplisit menunjukkan penolakan terhadap kekerasan terhadap perempuan, sekaligus sebagai lembaga yang cara kerjanya bersifat mandiri dan independen.
Baca juga: Perempuan Hadir Menjadi Pelopor dan Pejuang Lingkungan
Pada tanggal 9 Oktober 1999, Presiden BJ Habibie menandatangani Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 tentang Komnas Perempuan. Kelembagaan Komnas Perempuan kemudian diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005.
Berdasarkan Perpres tersebut, Komnas Perempuan mendapat mandat utama, antara lain pengkajian dan penelitian, pemantauan dan pencarian fakta serta pendokumentasian tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, serta pemberian rekomendasi dan kerja sama lintas batas sektor dan geografis.
Gerakan perempuan
Sepuluh tahun lalu, pada Oktober 2013, bertepatan HUT Ke-15, Ita Nadia, Komisioner Komnas Perempuan Purna, menyatakan memori atau jati diri perempuan harus dituliskan. Sebab, Komnas Perempuan merupakan puncak semangat dan perjuangan perempuan di era reformasi.
Saparinah Sadli (96) yang akrab disapa Bu Sap, saat hadir pada acara tersebut, menyatakan bangga melihat perkembangan Komnas Perempuan. ”Saya sangat kagum pada Komnas Perempuan sekarang, hebat banget. Kita mulai dengan satu ruangan,” ujarnya mengenang saat berdirinya Komnas Perempuan.
Di awal berdiri Komnas Perempuan belum memiliki tempat kerja, lalu mendapatkan satu ruang kecil di samping Gedung Komnas HAM, berpindah ke lantai 3, hingga diberikan kewenangan untuk menggunakan seluruh gedung yang sebelumnya digunakan oleh Badan Sandi Negara.
Saparinah menegaskan kembali bahwa dulu Komnas Perempuan dibentuk agar hak perempuan diperhatikan. Karena itu, dia berharap di tangan aktivis perempuan di masa kini, lembaga Komnas Perempuan semakin berkembang.
Saya itu sangat kagum pada Komnas Perempuan sekarang, saya tadi mengikuti, hebat banget, jadi saya itu senang banget. Kita mulai dengan satu ruangan.
Eksistensi Komnas Perempuan diakui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Komnas Perempuan membuka mata warga dan pengambil kebijakan tentang adanya kekerasan pada perempuan dari usia belia hingga lanjut usia di rumah maupun di ruang publik.
”Komnas Perempuan konsisten menyuarakan penderitaan korban serta mendorong kesadaran publik akan pentingnya kebijakan dan tindakan berperspektif korban, serta mengadvokasi hak-hak perempuan memperoleh perlindungan negara, di tengah berbagai tantangan,” kata Bintang.
Perjalanan 25 Tahun Komnas Perempuan menunjukkan betapa memperjuangkan keadilan bagi perempuan membutuhkan energi, dedikasi, konsentrasi, dan pengorbanan yang besar.