Pendanaan Kehilangan dan Kerusakan Disepakati di Hari Pertama COP28 Dubai
Hari pertama COP28 Dubai menyepakati pendanaan kehilangan dan kerusakan bagi negara-negara berkembang yang rentan terdampak perubahan iklim.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
DUBAI, KOMPAS — Presidensi Konferensi Perubahan Iklim ke-28 atau COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab, mendesak percepatan tindakan iklim kepada semua pemimpin dunia. Pada saat yang sama, negara-negara akhirnya menyepakati pendanaan loss and damage atau kehilangan dan kerusakan.
Suasana di sekitar ruang utama perundingan masih cukup ramai ketika COP28 mulai diselenggarakan pada Kamis (30/11/2023) pukul 02.00 siang waktu Dubai. Raut muka penuh harapan dari para peserta delegasi setiap negara terlihat jelas mengingat COP28 diselenggarakan ketika tahun ini Bumi tercatat mengalami tahun terpanas sepanjang sejarah.
Konferensi tahun ini resmi dibuka yang terlebih dahulu ditandai dengan penyerahan kepemimpinan dari Sameh Shoukry, Presiden COP27 Sharm El-Sheikh, Mesir, kepada Sultan al-Jaber sebagai Presiden COP28 Dubai, UEA.
Sultan al-Jaber membuka COP28 dengan menyerukan sekaligus mendesak setiap negara untuk menemukan titik temu dalam kebijakan untuk mencapai tujuan iklim global. Saat ini, tidak sekadar komitmen yang harus dibuat oleh negara, tetapi aksi nyata dalam mengatasi perubahan iklim.
Setelah membuka COP28, agenda langsung dilanjutkan dengan perundingan hingga akhirnya disepakati pendanaan untuk kehilangan dan kerusakan. Sebelumnya, pendanaan kehilangan dan kerusakan ini sudah dibahas dalam COP27, tetapi belum ada kesepakatan terkait siapa negara yang akan menyediakan pendanaannya.
Pendanaan kehilangan dan kerusakan untuk negara-negara berkembang yang rentan terdampak perubahan iklim ini dimulai dengan komitmen UEA yang akan memberikan dana sebesar 100 juta dollar AS. Komitmen ini disusul Jerman dengan nominal pendanaan yang sama.
”Kami telah mewujudkan sejarah hari ini dan mengirimkan sinyal momentum positif kepada dunia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, keputusan diambil pada hari pertama COP. Ini sekaligus membuktikan bahwa keputusan penting dalam COP28 dapat terwujud,” kata Al Jaber.
Pada sektor FOLU, Indonesia sebenarnya berhasil mengelola emisi dengan sistematis karena pengalaman selama sepuluh tahun.
Saat memberikan sambutan dalam acara pembukaan Paviliun Indonesia di Dubai, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyebut bahwa Indonesia secara konsisten menekankan pentingnya mewujudkan janji pendanaan sebesar 100 miliar dollar AS yang dibuat oleh negara-negara maju. Janji pendanaan ini sangat penting, terutama untuk mendukung agenda transisi energi dan aksi iklim besar lainnya.
Siti juga kembali menegaskan komitmen Indonesia dalam penurunan emisi dan mengendalikan perubahan iklim. ”Presiden Joko Widodo telah mengukir warisan iklim dan hal ini telah secara konsisten ditunjukkan melalui kepemimpinan yang memberi contoh. Kami telah melakukan upaya sebaik mungkin untuk mengatasi perubahan iklim secara inklusif dan kolaboratif,” ujarnya.
Sektor penyumbang emisi
Siti mengatakan, selama ini kehutanan kerap menjadi sektor penyumbang emisi terbesar di Indonesia. Bila dilihat data tahun 2019, sebanyak 922 juta ton emisi setara karbon dioksida (CO2e) berasal dari sektor kehutanan akibat adanya kebakaran hutan dan lahan.
Akan tetapi, emisi di sektor kehutanan ini turun menjadi 183 juta ton CO2e pada 2020. Kemudian tahun 2021 kembali naik menjadi 224 juta ton CO2e dan tahun 2022 turun menjadi 222 juta ton CO2e.
”Pada sektor FOLU, Indonesia sebenarnya berhasil mengelola emisi dengan sistematis karena pengalaman selama sepuluh tahun. Kemudian, kita juga menuangkan di dalam konsep operasi FOLU Net Sink 2030, yang artinya tidak ada lagi emisi di sektor ini tahun 2030,” ujar Siti.
Meski terdapat penurunan dari FOLU, emisi Indonesia dari sektor energi masih cukup tinggi, yakni sebesar 715 juta ton CO2e. Oleh karena itu, saat ini Indonesia terus berupaya mengatasi emisi dari sektor energi dan akan terus memantapkan sektor FOLU.