Dalam COP28 Perubahan Iklim di Dubai, Presiden Joko Widodo menyerukan komitmen pendanaan untuk transisi energi.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA, ERIKA KURNIA
·4 menit baca
DUBAI, KOMPAS — Upaya mengatasi krisis iklim memerlukan kerja sama yang kolaboratif dan inklusif berupa aksi-aksi nyata dari semua pihak. Indonesia pun berkomitmen mengatasi krisis iklim dengan dukungan pendanaan dari pihak lain.
Posisi Indonesia untuk terus mendorong pendanaan iklim khususnya transisi energi disampaikan langsung Presiden Joko Widodo dalam pembukaan World Climate Action Summit (WCAS) di Dubai, Uni Emirat Arab, Jumat (1/12/2023). WCAS merupakan salah satu agenda dalam Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim Ke-28 atau COP28 di Dubai.
”Target Kesepakatan Paris dan net zero emission (nol emisi karbon) hanya bisa dicapai jika kita bisa menuntaskan masalah pendanaan transisi energi ini. Dari situlah masalah dunia bisa diselesaikan,” ujarnya.
Presiden mengatakan, semua upaya mengatasi perubahan iklim membutuhkan pembiayaan besar. Negara-negara sedang berkembang tidak mungkin mampu melakukannya sendiri. Indonesia mencatat membutuhkan investasi lebih dari 1 triliun dollar AS untuk net zero emission 2060.
”Indonesia mengundang kolaborasi dari mitra bilateral, investasi swasta, filantropi, dan dukungan negara-negara sahabat. Kami memiliki platform pembiayaan inovatif yang kredibel, bursa karbon, mekanisme transisi hijau, sukuk dan obligasi hijau, pengelolaan dana lingkungan hidup dari result based payment (pembayaran berdasarkan hasil),” ucap Presiden.
Presiden menegaskan bahwa posisi Indonesia sudah jelas, yakni membangun negara yang resilience (daya lenting), prosperous (sejahtera), sustainable (keberlanjutan), dan inclusive economy. Di satu sisi, Indonesia bekerja keras mencapai net zero emission di 2060 atau lebih awal.
Namun, di sisi lain, Indonesia harus menikmati perkembangan ekonomi yang tinggi, kemiskinan dan ketimpangan yang terus diturunkan secara signifikan, serta kerja keras yang terus tercipta.
Pendanaan iklim, termasuk untuk transisi energi maupun kehilangan dan kerusakan (loss and damage), memang menjadi isu yang jadi fokus perundingan dalam COP28. Hari pertama COP28 bahkan telah menyepakati komitmen pendanaan kehilangan dan kerusakan dari sejumlah negara.
Uni Emirat Arab (UEA) sebagai tuan rumah COP28 menjadi negara yang menyatakan komitmennya dengan menyediakan pendanaan sebesar 100 juta dollar AS. Kemudian, komitmen untuk menyediakan pendanaan ini disusul negara lain dengan nominal yang beragam.
Jerman berkomitmen menyediakan pendanaan sebesar 100 juta dollar AS dan Uni Eropa mencapai 225 juta euro. Selain itu, Inggris berkomitmen memberikan pendanaan 60 juta pound sterling, Amerika Serikat 17 juta dollar AS, dan Jepang 10 juta dollar AS.
Mendorong komitmen
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selaku National Focal Point UNFCCC untuk Indonesia Laksmi Dhewanthi menyampaikan, beberapa pihak telah menyatakan posisi dan harapan dalam pembukaan COP28, termasuk negara-negara yang tergabung dalam kelompok G77.
”Kuba sebagai ketua kelompok G77 tahun ini dan China berharap agar dalam COP28 ada pendanaan untuk kehilangan dan kerusakan. Kemudian, negara-negara maju juga diimbau untuk meningkatkan kontribusi pendanaanya secara signifikan dan pendanaan adaptasi,” ujarnya di Dubai, Jumat (1/12/2023).
Menurut Laksmi, Indonesia masih akan terus mendorong negara-negara penyedia dana kehilangan dan kerusakan untuk segera memenuhi komitmen. Kemudian, pendanaan ini juga harus bisa diprediksi dan diakses oleh semua pihak.
Apabila dilihat dari strategi pendanaan perubahan iklim, Indonesia masih terus meningkatkan sumber-sumber pendanaan. Oleh karena itu, Indonesia tetap mengupayakan untuk memobilisasi pendanaan perubahan iklim melalui sejumlah pendekatan dan kebijakan.
”Jadi, Indonesia terus menyuarakan agar ada keseimbangan antara mitigasi dan adaptasi untuk pendanaan. Kemudian, kita juga menyuarakan agar janji pendanaan tersebut dipenuhi dan aksesnya dimudahkan untuk semua negara. Namun, di sisi lain kita juga mengupayakan mobilisasi sumber-sumber pendanaan di dalam negeri,” ungkapnya.
Jauh dari target
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menegaskan bahwa upaya yang dilakukan global masih jauh dari Persetujuan Paris 2015. Padahal, saat ini Bumi tengah menghadapi titik kritis dan menuju kenaikan suhu di atas 1,5 derajat celsius.
Meski demikian, Guterres menyebut dunia masih belum terlambat untuk mencegah kerusakan Bumi yang lebih parah. Hal ini hanya dapat terjadi apabila negara-negara di dunia menjadikan COP28 sebagai titik balik untuk melakukan aksi iklim yang lebih ambisius.
Saat membuka konferensi pada hari pertama, Presiden COP28 Sultan Al Jaber pun meminta semua pihak, termasuk industri yang bergerak di sektor energi fosil, perlu bersama-sama terlibat dalam mengatasi perubahan iklim. Ia melihat saat ini sudah banyak industri energi fosil yang menyatakan komitmen dalam mempercepat penurunan emisi.
Namun, Guterres menegaskan bahwa upaya untuk menyelamatkan Bumi tidak bisa dilakukan apabila semua pihak tidak meninggalkan penggunaan energi fosil. Ia pun mendorong agar setiap negara bisa mengatur industri yang bergerak di sektor energi fosil.
”Saya mendesak pemerintah untuk membantu industri membuat pilihan yang tepat dengan mengatur, membuat kebijakan, memberikan harga karbon yang adil, mengakhiri subsidi bahan bakar fosil, dan menerapkan pajak bagi sektor tersebut,” katanya.