Bersama Brasil dan Kongo, Indonesia Tegaskan Lagi Penurunan Emisi di Sektor Kehutanan
Indonesia bersama Brasil dan Republik Demokratik Kongo menegaskan kembali kerja sama dalam pengelolaan hutan untuk penurunan emisi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
DUBAI, KOMPAS – Di sela-sela perundingan utama Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim Ke-28 atau COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab, Indonesia menegaskan kembali upaya penurunan emisi di sektor kehutanan dan tata guna lahan. Upaya pengelolaan hutan untuk pengendalian perubahan iklim ini juga melibatkan dua negara dengan hutan tropis terbesar, yakni Brasil dan Republik Demokratik Kongo.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong menyatakan, Indonesia memiliki pengalaman dalam menurunkan emisi di sektor kehutanan dan tata guna lahan (FOLU), terutama dalam mengurangi deforestasi. Bahkan, kinerja Indonesia dalam penurunan deforestasi sudah sampai pada angka terendah.
”Atas capaian ini, kita seharusnya berhak menerima result based payment (pembayaran berbasis hasil). Faktanya, saat ini Indonesia memang sudah menerima dari Global Climate Fund, kemudian dari Kerajaan Norwegia, dan kerja sama dengan Bank Dunia,” ujarnya di Dubai, Uni Emirat Arab, Sabtu (2/12/2023).
Tercatat, pada 2019, emisi Indonesia di sektor FOLU mencapai 922 juta ton emisi setara karbon dioksida (CO2e) akibat adanya kebakaran hutan dan lahan. Emisi ini turun menjadi 183 juta ton CO2e pada 2020. Kemudian, tahun 2021 kembali naik menjadi 224 juta ton CO2e dan tahun 2022 turun menjadi 222 juta ton CO2e.
Guna meningkatkan upaya pengelolaan hutan dalam penurunan emisi, Indonesia juga menjalin kerja sama dengan Brasil dan Republik Demokratik Kongo. Ketiga negara ini dikenal memiliki hutan hujan tropis terbesar di dunia dan kerap menghadapi permasalahan deforestasi.
Kerja sama trilateral tiga negara ini sebelumnya telah terjalin saat COP26 Perubahan Iklim di Glasgow, Skotlandia, pada 2021. Kerja sama bertujuan memperkuat pengaruh tiga negara pemilik hutan tropis terbesar di dunia ini dalam negosiasi iklim, termasuk mendorong peningkatan pendanaan yang berbasis hasil untuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan plus (REDD+).
Menurut Alue, ketiga negara perlu membangun kekuatan bersama karena hutan tropis salah satu solusi berbasis alam untuk mengatasi perubahan iklim. Hutan tropis dapat mengatur iklim Bumi dengan cara menyerap dan menyimpan karbon dari atmosfer. Sebaliknya, hutan tropis yang terbakar akan melepas karbon dalam jumlah yang besar.
Alue menekankan bahwa negara-negara maju jangan hanya meminta Indonesia dan negara lain untuk menjaga hutan tropisnya. Namun, negara-negara maju juga perlu berkomitmen untuk memberikan dukungan sumber daya melalui pendanaan iklim global sebesar 100 miliar dollar AS per tahun.
Bila dilihat, lima tahun ke depan hutan kita yang paling banyak hilang ada di Kalimantan Timur dan Utara, Sulawesi, serta Maluku Utara. Sebanyak 90 persen deforestasi ini terjadi akibat penambangan nikel yang ada di kawasan hutan.
Dalam diskusi di Paviliun Indonesia pada hari pertama COP28, Kamis (30/12/2023), Menteri Lingkungan dan Perubahan Iklim Brasil Marina Silva menyatakan, Brasil memiliki komitmen yang besar dalam melindungi dan menjaga hutan tropis Amazon dengan target nol deforestasi.
Komitmen inilah yang mendorong Brasil menyambut baik kerja sama penguatan pengelolaan hutan bersama Indonesia dan Republik Demokratik Kongo. Sebab, Indonesia dan Republik Demokratik Kongo juga memiliki komitmen yang sama besar dalam menjaga hutan yang masih tersisa.
”Komitmen menghentikan deforestasi di negara berkembang bukanlah hal yang mudah. Itulah mengapa Presiden Brasil Lula da Silva berkomitmen mengembangkan mekanisme pendanaan bagi semua negara yang memiliki hutan untuk nantinya dapat membantu komunitas dalam melindungi kawasan hutannya masing-masing,” ucapnya.
Catatan kritis
Sementara menurut Ketua Auriga Nusantara Timer Manurung, yang turut menghadiri COP28 di Dubai, penurunan emisi di sektor kehutanan bukan sepenuhnya dampak dari kinerja Indonesia. Ia menyatakan, penurunan emisi tersebut karena tidak ada lagi hutan yang memang bisa ditebang atau digunduli.
”Bila dilihat, lima tahun ke depan hutan kita yang paling banyak hilang ada di Kalimantan Timur dan Utara, Sulawesi, serta Maluku Utara. Sebanyak 90 persen deforestasi ini terjadi akibat penambangan nikel yang ada di kawasan hutan,” ucapnya.
Analisis Auriga menunjukkan, ekstraksi pertambangan nikel telah menyebabkan deforestasi hingga 25.000 hektar dalam 20 tahun terakhir. Deforestasi ini berpotensi terus meningkat mengingat pemberian luas konsesi pertambangan nikel di dalam kawasan hutan mencapai 765.237 hektar yang diperkirakan akan menambah 83 juta ton emisi karbon dioksida.
Timer menegaskan bahwa upaya penurunan emisi Indonesia bukan hanya perlu fokus dilakukan di kehutanan, melainkan juga semua sektor, termasuk energi. Sebab, selama ini penurunan emisi di sektor kehutanan juga masih memiliki sejumlah catatan kritis.