Gairah Siswa Lamalera Mewarisi Budaya
Anak-anak di Lamalera memanfaatkan waktu bermain untuk menyelami beragam ekspresi budaya, termasuk tarian berburu paus.
November tahun ini menjadi bulan yang sangat sibuk bagi warga Desa Lamalera A, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Di tengah aktivitas sehari-sehari mencari ikan di laut dan bertani di pegunungan, masyarakat di ujung selatan Pulau Lembata itu bergotong royong menyiapkan festival budaya Tani Tenane Fule Penete.
Anak-anak tak mau sekadar jadi penonton dalam festival yang digelar pada 20-25 November 2023 tersebut. Sebagai pewaris budaya Lamalera, bocah-bocah itu juga ingin kebagian panggung. Mereka berlatih menari, bernyanyi, membaca puisi, menenun, dan mengartikulasi tradisi lisan.
Saat mama-mama memasak pangan lokal untuk dipamerkan dalam festival budaya, siswa-siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) Aksi Putra Putri Ikan Sembur (APPIS) Lamalera giat berlatih lie yang dipadukan dengan seni tradisi lainnya. Lie merupakan nyanyian selama proses melaut yang dipercaya bisa mendatangkan pertolongan.
Sementara itu, para peserta didik Sekolah Dasar (SD) Katolik Lamalera sedang asyik memantapkan persiapan menampilkan tarian Olla Morip. Dalam tarian ini terdapat simulasi berburu paus yang menjadi budaya Lamalera lebih dari 500 tahun lalu.
Malam yang ditunggu pun tiba, Kamis (23/11/2023). Para siswa bersiap menampilkan hasil kerja kerasnya selama latihan. Ratusan warga duduk dan berdiri menyaksikannya di pelataran Gereja Lama Santo Petrus dan Paulus Lamalera.
Dengan berbusana tenun tradisional Lamalera, delapan siswa perempuan SMP APPIS memasuki panggung sambil membawa kara atau bakul dari anyaman daun lontar di atas kepala. Empat siswa membawa hasil melaut, seperti ikan dan garam, sedangkan empat siswa lainnya membawa hasil panen jagung, singkong, dan keladi.
Baca juga : Berburu Paus Bukan Cuma Urusan Perut
Tarian itu menggambarkan tradisi barter yang masih eksis di Lamalera hingga sekarang. Setiap Sabtu pagi, ibu-ibu dari desa itu menumpang bus menuju Pasar Barter Wulandoni. Di sana mereka bertemu orang-orang dari gunung untuk menukarkan hasil laut dengan komoditas pertanian.
Di sela-sela pertunjukan, seorang siswa membacakan sinopsis lie tentang proses menangkap pari manta, sementara sejumlah siswa laki-laki memperagakan aktivitas berlayar di laut menggunakan peledang atau perahu.
”Saya belum pernah mendengar lie secara langsung. Namun, malam ini kami dikasih kesempatan membawakannya. Rasanya senang dan seru sekali,” ujar Tomson Blajan (14), siswa kelas VIII SMP APPIS Lamalera.
Malam itu, penampilan mereka tidak sepenuhnya mulus. Beberapa kali siswa tersendat membacakan lie berbahasa Lamalera. Bukannya tertawa, penonton yang menyadari kendala itu justru bertepuk tangan untuk menyemangati para siswa.
Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMP APPIS Lamalera, San Bataona, mengatakan, semula pihaknya berencana menampilkan tarian tanpa dibarengi dengan lie. Namun, tiga hari menjelang malam pertunjukan, pihaknya memutuskan menyertakan lie dalam penampilan siswa-siswa itu sebagai upaya untuk melestarikannya.
”Yang menjadi pertimbangan utama adalah karena lie mulai dilupakan. Banyak generasi muda tidak lagi mengenalnya. Jadi, anak-anak memberanikan diri membawakannya,” katanya.
San menyadari penampilan anak didiknya jauh dari sempurna. Pelafalan beberapa kalimat masih keliru. Namun, keberanian siswa membacakan lie menjadi modal berharga untuk mewarisi tradisi lisan itu.
Beberapa kali siswa tersendat membacakan lie berbahasa Lamalera. Bukannya tertawa, penonton yang menyadari kendala itu justru bertepuk tangan untuk menyemangati para siswa.
”Kami berencana mempelajari lie tidak hanya untuk tampil dalam festival budaya, tetapi juga secara rutin dengan mengundang tokoh-tokoh adat,” jelasnya.
Menurut San, lie yang dilantunkan nelayan Lamalera merupakan nyanyian kehidupan. Syairnya menggambarkan pergumulan hidup orang Lamalera, baik pengalaman suka, duka, ratapan, permohonan, maupun rasa syukur.
”Lie bagian dari jati diri Lamalera. Jika budaya ini punah, generasi masa depan Lamalera akan kehilangan jawaban saat mereka bertanya, dari mana asalku?” ujarnya.
Budaya bahari
Orang Lamalera sangat kental dengan budaya bahari. Banyak budaya lahir dari tradisi berburu paus. Penangkapan paus dilakukan secara tradisional, bukan untuk kepentingan industri.
Baca juga : Harmoni Bahari dan Gunung Desa ”Piring Matahari”
Budaya-budaya itu diwariskan turun-temurun. Meski tidak langsung mempraktikkannya di laut, sejumlah siswa antusias mempelajari tradisi berburu paus menggunakan tempuling.
Lukas (12), siswa kelas IV SD Katolik Lamalera, misalnya, menghabiskan waktu selama sepekan untuk berlatih menjadi lamafa atau juru tikam paus. Bersama teman-teman sekolahnya, mereka memperagakan tradisi berburu paus melalui pertunjukan tarian Olla Morip.
”Saya sudah bilang pada kakek, kalau sudah besar, saya mau jadi lamafa,” ujarnya. Kakek Lukas, Kristoforus Plea Hariona (66), merupakan nelayan yang berpengalaman menjadi lamafa lebih dari 40 tahun.
Dalam pertunjukan itu, Lukas memegang tempuling sepanjang sekitar 3 meter, atau hampir tiga kali lipat dari tinggi badannya. Tangan kanannya gemetar mengangkat tempuling itu saat membidik batang pisang yang diibaratkan sebagai paus yang diburu di lautan.
Di belakang Lukas, tujuh rekannya meneriakkan ”baleo, baleo, baleo", pertanda melihat paus atau ikan besar lainnya. Mereka pun menyerukan kata ”hilibe” berulang-ulang untuk memompa semangat saat mendayung peledang.
Lukas memasang kuda-kuda. Kaki kanannya ditarik ke belakang. Lemparannya meleset. Ia menghela napas panjang. Di percobaan kedua, tempuling yang dilemparkan tepat menghunjam batang pisang. Penonton pun bertepuk tangan.
”Tadi sempat ragu karena lemparan pertama gagal. Namun, saya ingat kata kakek, kalau gagal cukup tarik napas. Setelah itu fokus dan lempar dengan kencang,” ucapnya.
Tiga siswa SD Katolik Lamalera lainnya, Paulus Mana (12), Markus Prason (12), dan Petrus Rugi (11), lebih tertarik untuk belajar tradisi hodi leo atau pintal tali, petu kafe atau tempa tempuling, dan nene laja atau anyam layar. Pembuatannya diiringi dengan acara adat, seperti nyanyian dalam bahasa Lamalera.
Saat proses hodi leo, ketiga siswa itu berkesempatan merangkai beberapa helai tali untuk disatukan dengan cara memutarnya. Tali ini yang nantinya akan diikatkan pada tempuling. Panjangnya bervariasi dari 20 meter hingga lebih dari 50 meter.
Baca juga : Tradisi Berburu Paus, Lumba-lumba, dan Pari Manta di Lamalera
”Putarnya (merangkai tali) harus keras supaya talinya kuat. Jadi, tidak putus kalau ditarik ikan sembur (paus),” katanya.
Alexander Feliks Muko Keraf (42), Daya Desa Lamalera A, mengatakan, keterlibatan anak-anak menjadi aspek penting dalam pelestarian kebudayaan. Oleh karenanya, para siswa diberi keleluasaan untuk berekspresi dalam festival budaya tersebut.
”Yang pertama adalah menumbuhkan minat mereka dulu. Bagaimana caranya agar budaya tidak kalah menarik dari gawai yang mereka pegang sehari-hari. Ternyata mereka sangat antusias untuk mempraktikkan budaya-budaya Lamalera. Kami berharap hal ini terus dipelihara,” jelasnya.
Aksi anak-anak Lamalera dalam festival budaya itu membawa angin segar di tengah gelombang generasi muda desa yang hijrah mencari pekerjaan ke luar daerah. Keterlibatan mereka memupuk harapan agar tradisi-tradisi leluhur tetap hidup melintasi zaman.