Memahami Femisida sebagai Bentuk Kekerasan Berbasis Jender
Pembunuhan berbasis jender terhadap perempuan atau femisida terus terjadi. Namun, pemahaman publik pada bentuk kekerasan ekstrem ini masih rendah.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah perempuan menjadi korban femisida atau pembunuhan terhadap perempuan karena ia perempuan. Kendati demikian, kasus-kasus femisida belum banyak dikenali masyarakat dan belum ada pendokumentasian data terpilah jender terkait korban femisida.
”Pengaduan kasus femisida, terlebih femisida bunuh diri, hampir tak pernah dilaporkan ke lembaga hak asasi manusia, termasuk Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan), dan pengada layanan,” ucap komisioner Komnas Perempuan, Rainy M Hutabarat, Selasa (5/12/2023).
Dalam diskusi publik bertema ”Memahami Femisida sebagai Bentuk Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan”, Rainy menyatakan, sejauh ini kasus-kasus femisida hanya terpantau melalui publikasi media daring.
Pemberitaan kasus femisida belum berperspektif jender, serta sebatas pada pemberitaan kasus kriminal biasa pada perempuan. Femisida tak dikenal dalam aturan perundang-undangan nasional dan daerah, termasuk pendataan pembunuhan perempuan di Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pengaduan kasus femisida, terlebih femisida bunuh diri, hampir tak pernah dilaporkan ke lembaga hak asasi manusia.
Selama ini, kasus-kasus pembunuhan terhadap perempuan ditangani sebagai tindak pidana sebagaimana umumnya. Karena itu, di kepolisian tidak tersedia data pilah tentang pembunuhan terhadap perempuan.
Beberapa tahun terakhir, Komnas Perempuan memantau kasus terkait femisida dari pemberitaan di media daring. Pantauan terbaru Komnas Perempuan pada periode November 2022-Oktober 2023 menemukan 159 pemberitaan terindikasi kuat femisida.
Diskusi yang digelar Komnas Perempuan dan UN Women dalam Peringatan 16 Hari Kampanye Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) 2023 juga dihadiri Sarah Knibbs, Deputi Regional Director untuk Asia Pasifik, dan Jameshed Kazi, Representative and Liason to ASEAN dari UN Women.
Rainy bersama komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, memaparkan laporan Komnas Perempuan terkait pantuan femisida pada 2023. Menurut Rainy, femisida belum dikenali sebagai pembunuhan berbasis jender terhadap perempuan dan bentuk kekerasan paling ekstrem serta sadis.
Untuk mendata secara terpilah, mengenali jenis dan pola, selama ini Komnas Perempuan mengandalkan pemberitaan media massa. Adapun kasus-kasus pembunuhan terhadap perempuan, termasuk bunuh diri, tergolong isu hangat di media.
”Sayangnya, perspektif dalam pemberitaan belum berlensa jender. Temuan Komnas Perempuan atas 70 tautan berita dari berbagai media massa, jurnalis lebih menyoroti aspek siapa korban, cara dan alat yang digunakan, tempat, motif pembunuhan, dan kondisi jenazah korban saat ditemukan” papar Rainy.
Dipandang pembunuhan biasa
Siti Aminah menyatakan, istilah femisida tidak dikenal dengan baik di Indonesia. Penghilangan nyawa berbasis jender terhadap perempuan diperlakukan seperti halnya pembunuhan biasa (homicide).
Catatan Tahunan Komnas Perempuan (CATAHU) 2005 memasukkan kekerasan terhadap perempuan yang mengakibatkan kematian, tetapi tidak menggunakan istilah femisida. Femisida baru mulai dicatat pada 2017.
Catahu 2017 mulai memasukkan kasus femisida berdasarkan hasil pemantauan pemberitaan media daring. Pantauan kasus femisida karena ada Rekomendasi Umum Komite CEDAW Nomor 35 Tahun 2017 tentang Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan.
Rekomendasi ini mengingatkan bahwa kekerasan berbasis jender menjadi hambatan kritis untuk mencapai kesetaraan substantif antara perempuan dan laki-laki, serta penikmatan hak asasi manusia dan kebebasan dasar perempuan.
”Rekomendasi ini mendesak negara pihak mengumpulkan, menganalisis, dan memublikasikan data statistik mengenai kekerasan terhadap perempuan, dengan fokus khusus pada data administratif pembunuhan terkait jender perempuan dan anak perempuan atau femisida,” tutur Aminah.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menyatakan, pembunuhan terhadap perempuan tidak bisa dilihat sebagai satu pembunuhan biasa. Meski demikian, tidak semua pembunuhan terhadap perempuan dapat kita kategorisasikan sebagai femisida.
”Membahas isu femisida tidak bisa lepas dari faktor pendorong berupa misogini, ketimpangan relasi kuasa, superioritas, dominasi, hegemoni, agresi, hingga rasa memiliki perempuan. Perlu ditekankan bahwa isu femisida nyata dan penting untuk dikenali, masyarakat luas ataupun hukum di Indonesia,” kata Andy.
Jameshed Kazi mencontohkan kasus pembunuhan istri oleh suami setelah mengalami kekerasan dalam rumah tangga di Bekasi. Itu merupakan femisida, yakni pembunuhan berencana dengan motivasi berbasis jender. ”Femisida merendahkan martabat perempuan dan anak perempuan,” katanya.
Selama ini terjadi ketimpangan di masyarakat karena cara pandang masyarakat menganggap perempuan tidak berharga dan laki-laki lebih tinggi posisinya. Jameshed menegaskan penting sekali memperlihatkan data yang menunjukkan penyebab pembunuhan terhadap perempuan dan anak perempuan.
Sarah Knibbs memaparkan, femisida ialah kejahatan sistematik terhadap perempuan yang merefleksikan ketimpangan jender dalam masyarakat. Hilangnya nyawa perempuan membawa luka mendalam bagi keluarga. Pada 2022, sekitar 48.000 perempuan dan anak muda dibunuh pasangan atau anggota keluarga.