logo Kompas.id
Humaniora”Api Perlawanan” dari Bukit...
Iklan

”Api Perlawanan” dari Bukit Menoreh

Gegap gempita kunjungan wisata ke destinasi superprioritas Candi Borobudur nyaris tidak terasa bagi masyarakat desa di lereng Perbukitan Menoreh. Meski demikian, mereka memiliki cara tersendiri untuk bertahan.

Oleh
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN, REGINA RUKMORINI
· 6 menit baca
Peserta saat mengikuti tur wisata desa dengan menggunakan jip di Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (4/12/2023). Pada beberapa waktu ini, Desa Giritengah terus mengembangkan berbagai potensi wilayahnya, terutama dari sektor budaya dan pangan lokal.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Peserta saat mengikuti tur wisata desa dengan menggunakan jip di Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (4/12/2023). Pada beberapa waktu ini, Desa Giritengah terus mengembangkan berbagai potensi wilayahnya, terutama dari sektor budaya dan pangan lokal.

Bulir-bulir embun masih segar ketika lima mobil jip merayap di punggung Perbukitan Menoreh, Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Minggu (3/12/2023) pagi. Tepat di bawah bukit Pos Mati, iring-iringan mobil berhenti.

Krisno (30), pemuda desa setempat, kemudian memandu anak-anak muda peserta Festival Kampung Tani Desa Giritengah menyusuri jalan setapak, naik menuju Pos Mati. Di sana, Salfiah (56) sudah menanti.

Dengan senyum ramah, Salfiah menuangkan jenang mberut (jenang yang terbuat dari pati garut) ke dalam mangkuk daun pisang. Sembari menyeruput jenang, mata langsung dimanjakan dengan hamparan cakrawala pemandangan perdesaan Magelang.

Jenang mberut yang menjadi hidangan khas bagi pengunjung saat menikmati pemandangan dari puncak Pos Mati, Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (4/12/2023). Beberapa makanan lokal dari bahan yang didapat di sekitar desa tersebut menjadi suguhan khas bagi pengunjung.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Jenang mberut yang menjadi hidangan khas bagi pengunjung saat menikmati pemandangan dari puncak Pos Mati, Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (4/12/2023). Beberapa makanan lokal dari bahan yang didapat di sekitar desa tersebut menjadi suguhan khas bagi pengunjung.

”Sekarang kita mau tes mata. Di mana letak Candi Borobudur?,” kata Krisno.

Anak-anak muda dari berbagai universitas di Yogyakarta itu mulai menebak-nebak. Borobudur yang berjarak sekitar 5 kilometer dari Pos Mati sulit ditemukan. Bangunan candi berwarna kehitaman itu tersamar di antara rerimbunan dedaunan.

”Itu dia mas, yang warnanya kehitaman,” ucap salah satu peserta.

Pos Mati bukan sekadar tempat untuk berburu sunrise atau melihat pemandangan. Bagi warga setempat, tempat ini menyimpan sejarah yang luar biasa.

Warga Desa Giritengah meyakini Pos Mati sebagai tempat pengintaian sekaligus penyimpanan senjata pasukan Pangeran Diponegoro saat perang gerilya melawan Belanda (1925-1930). ”“Disebut Pos Mati karena di sinilah tempat di mana kita bisa berpasrah, seperti yang dahulu dilakukan Pangeran Diponegoro saat berperang,” terang Krisno.

Tiyo, seorang fotografer, saat menikmati suguhan pemandangan kawasan perdesaan di sekitar Candi Borobudur dari puncak Pos Mati, Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (4/12/2023).
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Tiyo, seorang fotografer, saat menikmati suguhan pemandangan kawasan perdesaan di sekitar Candi Borobudur dari puncak Pos Mati, Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (4/12/2023).

Dari Pos Mati, rombongan kemudian turun dan naik jip menuju Sendang Suruh. Di sana, Pitoyo sang juru kunci sudah menanti.

”Suruh artinya mbasuh ruh (mencuci jiwa). Di sinilah tempat persembunyian Pangeran Diponegoro, tempat di mana beliau berdoa mohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa,” ucap Pitoyo (45).

Pitoyo kemudian memegang siwur (gayung dari batok kelapa). Ia mempersilakan anak-anak muda bergantian membilas muka, kaki, dan tangan dengan air di dalam gentong yang diambil dari mata air Sendang Suruh.

Masyarakat Desa Giritengah menganggap Sendang Suruh sebagai tempat petilasan khusus Pangeran Diponegoro. Setiap peringatan hari jadi desa pada bulan Juni, warga menggelar ritual di tempat ini.

Para peserta tur siap menyantap hidangan setelah doa ritual <i>wiwitan</i>.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA (

Para peserta tur siap menyantap hidangan setelah doa ritual wiwitan.

Setelah beranjak dari Sendang Suruh, terdengar suara tetabuhan dari arah Punthuk Kendil yang berada tepat di bawah Suroloyo, puncak tertinggi di deretan utara Perbukitan Menoreh. Setelah mendaki selama beberapa menit, tibalah rombongan di Punthuk Kendil.

Seperti halnya Pos Mati, Punthuk Kendil juga menawarkan eksotika pemandangan alam yang luar biasa. Di puncak bukit ini, warga sudah menyiapkan wiwitan, sajian makanan untuk ritual mengawali musim tanam juga masa panen.

Gito Atmojo (73), tokoh kesenian Gatholoco, memimpin doa. Ia meminta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, kelancaran dan berkah dalam mengawali masa tanam.

Tikar digelar di atas hamparan rumput Punthuk Kendil. Setelah Gito selesai berdoa, sajian ayam ingkung, urap, oseng tempe, ikan asin, dan nasi putih langsung disantap bersama-sama.

Ilyadi (66), salah satu seniman senior Gatholoco di Desa Giritengah
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Ilyadi (66), salah satu seniman senior Gatholoco di Desa Giritengah

Di bawah pondok kecil, rombongan kesenian Gatholoco mengiringi perjamuan khas desa itu dengan tabuhan tambur dan rebana. Seusai menyantap wiwitan, para penari Gatholoco mengajak anak-anak muda untuk menari bersama. Mereka menari bersama semesta.

Iklan

Gatholoco adalah kesenian tradisional yang berkembang di lereng Perbukitan Menoreh, salah satunya di Desa Giritengah. Di usianya yang tak lagi muda, Ilyadi (66) yang biasa dipanggil Mbah Juni masih sigap menari. Berulang kali ia memamerkan atraksi melompat di atas tubuh penari lain yang membungkukkan badannya.

Di atas Punthuk Kendil, Grup kesenian Gatholoco Giritengah melantunkan tembang ”Mangsa Kasa” yang berkisah tentang kalender penanggalan Jawa atau pranata mangsa. Hingga sekarang, para petani di lereng Menoreh masih memanfaatkannya sebagai panduan untuk bercocok tanam.

”Gatholoco adalah kesenian tentang pitutur atau petuah-petuah bijak. Di sinilah, nasihat-nasihat disebarkan. Gatholoco tidak sekadar tontonan, tetapi juga tuntunan,” kata pegiat budaya sekaligus pendiri komunitas Eksotika Desa, Panji Kusumah.

Baca Juga: Berburu Paus Bukan Cuma Urusan Perut

Kelompok tari Gatholoco yang kembali dihidupkan sebagai ruang ekspresi berkesenian warga di Punthuk Kendil, Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (4/12/2023).
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Kelompok tari Gatholoco yang kembali dihidupkan sebagai ruang ekspresi berkesenian warga di Punthuk Kendil, Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (4/12/2023).

Panen berkelanjutan

Mayoritas warga Desa Giritengah memang berprofesi sebagai petani. Mereka biasanya menjalankan pola tanam tumpang sari. Dengan cara ini, mereka tidak pernah kehabisan hasil panen untuk dijual atau dikonsumsi sendiri.

”Saya menanam paling sedikit lima jenis tanaman selain cabai, mulai dari sawi, mentimun, buncis, pepaya, sampai jahe. Di bagian pojok-pojok lahan sawah, kami kadang juga menanam singkong,” ujar Takim (68), petani senior di Giritengah.

Bulan November lalu, Takim sudah mulai menanam cabai yang dibarengi dengan sawi, mentimun, buncis, dan pepaya. Pada hari ke-25, sawi bisa dipanen dan 10 hari kemudian pada hari ke-35 gantian Takim memanen mentimun.

Memasuki hari ke-45, giliran sayuran buncis yang bisa dipanen. Lalu, pada hari ke-90, cabai mulai dapat dipetik. Memasuki Januari, batang-batang bibit singkong mulai ditanam. Sembari menunggu singkong tumbuh, pada Maret buah pepaya sudah siap dipanen.

Di sela-sela waktu tersebut, tanaman cabai yang dipupuk menggunakan pupuk organik bisa terus-menerus berbuah sampai memasuki musim kemarau. Pada saat kemarau, ketika pasokan air semakin menipis, Takim dan para petani tumpang sari masih bisa memanen jahe dan singkong.

Tak bisa dimungkiri, di tengah jalan, kadang petani juga mengalami gagal panen, seperti yang dialami Achmad Solikan (34) pada 2018. ”Biasanya kami kami menjual cabai berkarung-karung. Namun, waktu itu, petani di sini hanya bisa menjual cabai beberapa kantong keresek karena tanaman cabai terserang virus,” ungkapnya.

Petani muda, Achmad Solikan, saat mempraktikkan cara membuat pupuk organik cair dari bahan alami di Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (4/12/2023).
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Petani muda, Achmad Solikan, saat mempraktikkan cara membuat pupuk organik cair dari bahan alami di Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (4/12/2023).

Sejak saat itulah, Solikan secara otodidak mulai mengembangkan sistem pertanian organik yang lebih ramah lingkungan. Perlahan-lahan, ia mulai berhenti memakai obat-obatan kimia dan bereksplorasi membuat obat-obatan serta pupuk organik sendiri dengan memakai dedaunan, sisa makanan, serta berbagai bahan alami yang ada di lingkungan sekitar rumah.

Selain melakukan uji coba secara pribadi, Solikan juga sering mengikuti pelatihan, berdiskusi dengan dosen dan praktisi, serta mencari-cari informasi di internet. Di kampungnya, ia juga berguru tentang ilmu pranata mangsa kepada para maestro Gatholoco.

”Tanaman cabai yang saya beri pupuk organik umurnya lebih panjang. Saat saya memakai pupuk kimia, masa petik cabai hanya empat bulan dari Januari hingga April. Namun, begitu saya menggunakan pupuk organik, masa petiknya bisa sampai bulan Juni,” katanya.

Solikan tidak pelit membagikan pengetahuannya dalam meramu pupuk serta obat-obatan organik tersebut. ”Karena semua ilmu membuat pupuk dan obat ini saya dapatkan secara gratis, maka kemudian semuanya juga harus saya berikan gratis kepada orang lain,” ujarnya.

Di lahan pertanian Perbukitan Menoreh yang hanya mengandalkan air hujan, para petani di Desa Giritengah masih bisa bercocok tanam dengan hasil yang optimal. Berbekal kepekaan dalam membaca pranata mangsa serta kearifan lokal, mereka bisa mewujudkan hasil panen yang berkelanjutan.

Krisno saat akan memandu peserta tur wisata desa di Balkondes Giritengah, Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (4/12/2023). Beberapa lokasi menjadi tujuan mereka, antara lain Puncak Pos Mati, Sendang Suruh, Punthuk Kendil, dan tempat pengolahan pertanian organik.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Krisno saat akan memandu peserta tur wisata desa di Balkondes Giritengah, Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (4/12/2023). Beberapa lokasi menjadi tujuan mereka, antara lain Puncak Pos Mati, Sendang Suruh, Punthuk Kendil, dan tempat pengolahan pertanian organik.

Berbagai macam kearifan lokal, peninggalan sejarah, dan kebudayaan di Desa Giritengah dirayakan oleh masyarakat setempat dalam Festival Kampung Tani yang didukung oleh Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Tahun 2022, Desa Giritengah menerima Penghargaan Desa Budaya dari Kemendikbudristek.

”Tahun ini, kami menganggarkan dana desa sebesar Rp 227 juta khusus untuk pemajuan kebudayaan desa. Kami berharap kebudayaan di desa ini menjadi potensi khas yang bisa dikembangkan dan bisa menghidupi warga,” kata Sunakin, Kepala Desa Giritengah.

Sepanjang tahun 2022, kunjungan wisatawan ke Candi Borobudur mencapai 1,4 juta orang. Namun, Desa Giritengah yang berada di ujung barat daya Candi Borobudur jarang dilirik wisatawan.

”Kalaupun ada tamu yang datang menginap di Balai Ekonomi Desa (Balkondes) Giritengah, rata-rata mereka karena kehabisan kamar di Balkondes-Balkondes lainnya yang dekat dengan Candi Borobudur,” ujar pengelola Balkondes Giritengah, Siti Musvita Sari (20).

Baca Juga: Pada Anak Muda Gayo, Didong Kami Titipkan

Meski dari sisi wisata masih terabaikan, masyarakat desa ini memiliki kearifan lokal dan potensi kebudayaan yang luar biasa untuk dilestarikan dan dikembangkan. Dari bukit Menoreh, ”api perlawanan” itu dikobarkan.

Editor:
BUDI SUWARNA
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000