logo Kompas.id
HumanioraGatholoco Bangkit dari ”Mati”
Iklan

Gatholoco Bangkit dari ”Mati”

Festival Kampung Tani di Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, pada 2-4 Desember 2023 mencatat sejarah baru. Lima kelompok seni Gatholoco yang nyaris punah berkumpul.

Oleh
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN, REGINA RUKMORINI
· 6 menit baca
Penari Gatholoco dari Desa Candirejo saat pentas pada acara Srawung Seni Gatholoco di Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (3/12/2023).
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Penari Gatholoco dari Desa Candirejo saat pentas pada acara Srawung Seni Gatholoco di Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (3/12/2023).

Hujan deras mengguyur lereng Perbukitan Menoreh, Minggu (3/12/2023) sore hingga malam. Di halaman Pendopo Kampung Tani Desa Giritengah, lima rombongan kesenian Gatholoco duduk berkerumun berlindung di tenda.

Ini adalah kesempatan luar biasa ketika lima kelompok Gatholoco itu berkumpul dan tampil secara bersamaan dalam acara ”Srawung Seni Gatholoco”. Empat di antaranya berasal dari Kecamatan Borobudur, yaitu Gatholoco Desa Candirejo, Gatholoco Desa Giripurno, Gatholoco Desa Majaksingi, dan Gatholoco Desa Giritengah. Adapun satu grup lagi adalah Gatholoco dari Desa Kalisalak, Kecamatan Salaman.

Program Pemajuan Kebudayaan Desa yang digelar Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek tahun 2021 lalu rupanya memantik bangkitnya kelompok-kelompok seni Gatholoco di sekitar Candi Borobudur. Dalam tiga tahun, kesenian yang rata-rata dimainkan oleh generasi tua itu bermunculan.

Syair-syair yang dinyanyikan dalam kesenian Gatholoco sendiri bercerita tentang pranata mangsa atau kalender penanggalan Jawa. Pranata mangsa menjadi panduan kapan waktu yang tepat bagi para masyarakat untuk menjalankan aktivitasnya, termasuk dalam bercocok tanam.

”Di beberapa desa ini, kesenian Gatholoco ada yang sudah ’mati’ atau hilang selama 24 tahun, bahkan 25 tahun. Di Desa Giritengah sendiri, Gatholoco sempat mati kurang lebih tujuh tahun,” kata pegiat budaya sekaligus pendiri komunitas Eksotika Desa, Panji Kusumah.

Dalam acara ”Srawung Seni Gatholoco”, panitia menerapkan aturan main. Begitu satu kelompok memainkan satu tembang atau lagu, salah satu perwakilan kelompok langsung menjelaskan narasi dari lagu tersebut.

Gerakan kaki dari penari Gatholoco saat memeriahkan acara "Srawung Seni Gatholoco" di Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (3/12/2023).
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Gerakan kaki dari penari Gatholoco saat memeriahkan acara "Srawung Seni Gatholoco" di Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (3/12/2023).

Acara ini dikemas dengan cair. Ketika salah satu kelompok Gatholoco tampil, anggota-anggota kelompok lainnya boleh ikut menari ataupun memainkan alat musik.

Grup Gatholoco dari Desa Kalisalak, Kecamatan Salaman, mengawali penampilan dengan tembang ”Amba Sadaya” (Kita Semua). Dua penari laki-laki paruh baya mengawali. Gerakannya sigap dan rampak. Inilah kekhasan Gatholoco Kalisalak dibanding grup lainnya.

Asep, sang pembawa acara, mempersilakan grup lain untuk bergabung. Tarian itu seolah menyetrum penari-penari lainnya. Satu per satu orang maju, mulai dari anak-anak hingga orang tua, laki-laki maupun perempuan, semuanya menari bersama di depan panggung.

Di depan khalayak, Joko, perwakilan Gatholoco Desa Kalisalak, menjelaskan, sampai saat ini perhitungan pranata mangsa yang disampaikan dalam pertunjukan Gatholoco masih tetap relevan. ”Banyak yang mengatakan pranata mangsa tidak lagi relevan karena perubahan iklim. Padahal, yang berubah adalah perilaku kita terhadap alam,” ujarnya.

Menurut Joko, Gatholoco di Desa Kalisalak sudah berkembang sejak tahun 1930. Eksistensinya hingga sekarang menjadi bukti bahwa pitutur-pitutur di dalamnya masih dijadikan pegangan masyarakat, khususnya para petani.

Berikutnya tampil Gatholoco dari Candirejo yang menampilkan satu penari laki-laki paruh baya dengan para penari perempuan di sekelilingnya. Tak mau kalah, Gatholoco Desa Giripurno juga mengerahkan para penari muda perempuan bersama penari muda laki-laki.

Setelah sempat mati suri, Gatholoco yang dahulu identik dengan kesenian orang-orang tua kini mulai dimainkan generasi muda. Bahkan, dalam acara ”Srawung Seni Gatholoco” kemarin ada satu penabuh bedug Gatholoco dari Desa Giripurno yang usianya baru lima tahun. Namanya Rian.

Kelompok tari Gatholoco yang kembali dihidupkan sebagai ruang ekspresi berkesenian warga di Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (4/12/2023). Pada beberapa waktu ini Desa Giritengah terus mengembangkan berbagai potensi wilayahnya dari sektor wisata, budaya, dan pangan lokal. Mereka mengangkat kembali beberapa keunggulan desanya di tengah tumbuh pesatnya industri pariwisata di kawasan Candi Borobudur.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Kelompok tari Gatholoco yang kembali dihidupkan sebagai ruang ekspresi berkesenian warga di Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (4/12/2023). Pada beberapa waktu ini Desa Giritengah terus mengembangkan berbagai potensi wilayahnya dari sektor wisata, budaya, dan pangan lokal. Mereka mengangkat kembali beberapa keunggulan desanya di tengah tumbuh pesatnya industri pariwisata di kawasan Candi Borobudur.

Iklan

Nasihat dan wejangan

Ilyadi (66) atau lebih akrab dipanggil Mbah Juni, sesepuh kesenian Gatholoco asal Giritengah, mengatakan, Gatholoco di desanya memiliki 28 tembang atau lagu yang sarat dengan pitutur atau nasihat tentang siklus kehidupan manusia, mulai dari lahir hingga meninggal.

Masing-masing lagu memiliki ragam gerakan. Ada satu lagu yang diisi dengan gerakan atraktif di mana satu pemain melompati badan pemain lainnya yang membungkuk, dan di lagu lainnya, pemain hanya menggerakkan tangan dan kaki, menari berkeliling, dengan sesekali berkumpul dan menyebar.

Salah satu dari 28 lagu tersebut berjudul ”Mangsa Kasa” yang bercerita tentang pranata mangsa atau kalender penanggalan Jawa yang terbagi dalam 12 mangsa atau musim. Pranata mangsa ini menjadi panduan bagi masyarakat kapan waktu yang tepat untuk menjalankan aktivitasnya.

Sebagai contoh, pranata mangsa inilah yang mengatur detail tentang kapan waktu yang tepat untuk bercocok tanam, waktu yang ideal untuk memiliki anak, hingga hal-hal sepele, seperti kapan waktu yang pas untuk memotong bambu.

Periode mangsa kesanga jatuh mulai tanggal 1 hingga 25 Maret. ”Mangsa kesanga adalah waktu yang tepat untuk memotong bambu, yaitu pada tanggal muda dan harus pada pagi hari, jangan lewat pukul 12.00. Kalau lewat pukul 12.00, bambunya nanti akan mudah keropos dimakan bubuk (serangga pemakan bambu),” papar Mbah Juni.

Para penari Gatholoco menari bersama di Punthuk Kendil, di lereng Menoreh, Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (4/12/2023).
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Para penari Gatholoco menari bersama di Punthuk Kendil, di lereng Menoreh, Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (4/12/2023).

Menurut Mbah Juni, Gatholoco adalah seni menghitung atau petung yang luar biasa. Gatholoco sendiri berasal dari kata gothuk-gathuk atau grothal-grathul lucu atau dipasang-pasangkan alias dicocok-cocokkan sehingga menjadi lucu. Penghitungan hari yang dibuat dalam kesenian Gatholoco kadang memang membuat orang keheranan dan merasa lucu. Namun, penghitungan-penghitungan itu ternyata selaras dengan aneka macam aktivitas kehidupan manusia.

Semua sistem penghitungan atau ”jadwal” yang ada dalam pranata mangsa dibuat dengan berdasarkan penghitungan Jawa. Dasar penghitungan inilah yang kemudian dijadikan patokan masyarakat untuk menetapkan tanggal yang tepat dalam menggelar ritual-ritual desa, seperti peringatan 100 hari atau 1.000 hari meninggalnya seseorang.

Saat pentas Gatholoco di hadapan anak-anak muda di Punthuk Kendil, Minggu lalu, Mbah Juni mencontohkan bagaimana cara menghitung musim tanam yang pas sesuai pranata mangsa. ”Hari ini hari Minggu lima (lima), lalu Pon itu pitu (tujuh) berarti (jumlahnya jika ditambah) dua belas. Sekarang kalau mau menanam kelapa bagus, lombok bagus, buah-buahan juga bagus. Semua hari itu baik, tetapi dalam hati kita tetap ada pilihan yang terbaik,” terangnya.

Ia juga memamerkan keahilan dan kecepatannya dalam menghitung hari. ”Soal perhitungan tanggal, kemampuan HP (handphone) merek apa pun pasti kalah dengan saya,” ujarnya sembari tertawa.

Tampak anggota kelompok kesenian Gatholoco sebelum pentas bagi wisatawan di Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (4/12/2023). Berkesenian menjadi salah satu hiburan bagi warga yang mayoritas sebagai petani.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Tampak anggota kelompok kesenian Gatholoco sebelum pentas bagi wisatawan di Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (4/12/2023). Berkesenian menjadi salah satu hiburan bagi warga yang mayoritas sebagai petani.

Di Giritengah sendiri, seni Gatholoco berkembang sejak tahun 1972 dan mulai dilengkapi dengan musik terbang, dodog, kenting, dan ecrek-ecrek pada tahun 1973. Warga setempat meyakini, kesenian ini sudah ada jauh sebelumnya dan diwariskan secara turun-temurun di sekitar Borobudur.

Setyastuti, dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, mengatakan, tarian Gatholoco biasanya dimainkan dengan gerakan lurus, kemudian berputar, lalu kembali pada gerakan lurus. Gerakan-gerakan ini seolah menyiratkan situasi perubahan iklim dan kondisi alam dengan perubahan apa pun yang terjadi. Ada masanya, di mana situasi akan kembali seperti pada ordinatnya semula.

Menurut Setyastuti, kesenian ini sarat dengan makna filosofis karena di dalamnya mengajarkan siapa pun untuk kembali kepada kearifan-kearifan alam. Tarian Gatholoco dimainkan oleh laki-laki ataupun perempuan. Hal ini mencerminkan sebagian aktivitas kehidupan yang berjalan sebagai perpaduan antara kekuatan dan kesuburan. Terkadang, kesenian ini juga menambahkan simbol-simbol hewan, di mana para penarinya memakai topeng binatang-binatang tertentu.

Achmad Solikan (34), petani muda asal Giritengah, mengungkapkan, dirinya tidak sungkan untuk berguru kepada tetua-tetua seniman Gatholoco di desanya untuk belajar mengenal kearifan-kearifan lokal dalam bercocok tanam. ”Simbah-simbah dahulu sering menyiram tanaman padi yang mulai keluar bunga dengan air leri (air cucian beras) dan ternyata itu menyuburkan. Simbok-simbok dulu kalau ke sawah pasti membawa tumpukan daun bambu. Ternyata, daun bambu bisa menggemburkan tanah, sehingga tanah mudah dicangkul,” ungkapnya.

Sebagian besar kelompok kesenian Gatholoco yang tampil di acara ”Srawung Seni Gatholoco” halaman Pendopo Kampung Tani Desa Giritengah pekan lalu adalah para petani dari lereng Pegunungan Menoreh yang menggarap tanah ”tadah hujan”. Meski tanah mereka berada di lereng pegunungan dengan pasokan air terbatas, mereka tetap memegang teguh tanda-tanda alam yang selalu mereka dendangkan dalam tembang-tembang Gatholoco.

Gatholoco yang sempat ”tidur lama” itu kini telah bangkit dari mati…

Editor:
BUDI SUWARNA
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000