Dua Mekanisme Pembiayaan Hijau untuk Percepat Penurunan Emisi
BPDLH menyediakan dua mekanisme pembiayaan hijau baru, yakni pendanaan katalitik serta program pemberian insentif pada rencana dan hasil mitigasi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup bekerja sama dengan pihak lain meluncurkan dua mekanisme pembiayaan hijau baru. Dua mekanisme pembiayaan hijau baru ini diharapkan bisa mendorong para pelaku ekonomi mempercepat mencapai pembangunan berkelanjutan dan penurunan emisi sesuai dokumen kontribusi nasional.
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Joko Tri Haryanto mengemukakan, saat ini terdapat dua komitmen besar Indonesia, yaitu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan penurunan emisi sesuai dokumen kontribusi nasional (NDC) 2030. Kedua komitmen ini diharapkan bisa membuat bumi tetap terjaga dan layak dihuni.
“Namun, masih banyak tantangan, seperti kurangnya kesadaran dan pemahaman, kapasitas sumber daya manusia, data dan transparansi, serta hal terpenting yakni akses pendanaan,” ujarnya saat memberikan sambutan dalam acara peluncuran Program Catalytic Funding for Indonesia Impact Fund Investee in Leveraging Impact dan Incentivize Mitigation Plans and Outcomes, di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (11/12/2023).
Dari sejumlah tantangan ini, Joko menyoroti terkait akses pendanaan untuk mencapai kedua komitmen besar Indonesia. Seluruh pihak perlu keluar dari paradigma bahwa komitmen tersebut tidak harus didasarkan pada dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang terbatas.
Kondisi inilah yang menjadi salah satu latar belakang BPDLH meluncurkan dua mekanisme pembiayaan hijau baru yang bekerja sama dengan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), Mandiri Capital Indonesia, dan Kedutaan Besar Jepang.
Dua mekanisme pembiayaan hijau tersebut adalah catalytic funding(pendanaan katalitik) dan program incentivize mitigation plans and outcomes (pemberian insentif pada rencana dan hasil mitigasi). Pendanaan katalitik berfokus pada pengembangan perusahaan rintisan (start-up) yang nantinya diharapkan bisa menerapkan solusi berbasis sosial dan lingkungan (ESG).
”Pada tahap awal terdapat empat start-up yang bergabung dalam mekanisme ini. Dua start-up bergerak di bidang akuakultur dan perikanan, satu start-up di bidang pengelolaan sampah, dan satu start-up di bidang edukasi. Ke depan, kami dan UNDP telah menyiapkan batch berikutnya dengan pemanfaatan yang diharapkan semakin besar,” tutur Joko.
Pendanaan ini dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama, diberikan total 20 persen, kedua 30 persen, kemudian terakhir diserahkan sebesar 50 persen. Pendanaan ini memiliki nilai total 400.000 dollar AS atau masing-masing start-up mendapat 100.000 dollar AS. Pendanaan ini kemudian akan dievaluasi dengan pertimbangan ESG dan infrastruktur yang dibangun.
Peluncuran dua mekanisme ini juga diharapkan bisa mendorong pemerintah ataupun seluruh pihak dalam pencapaian komitmen yang sudah dinyatakan dalam pembaruan NDC dan SDG.
Selain itu, mekanisme pemberian insentif pada rencana dan hasil mitigasi diberikan kepada pelaku yang masuk ke bursa karbon dengan dua modalitas. Modalitas pertama adalah pelaku bisa mempercepat prosedur terkait penyelesaian daftar rincian aksi mitigasi perubahan iklim sehingga tercatat dalam sistem registri nasional (SRN) untuk nantinya diverifikasi.
Kemudian, modalitas kedua adalah memberikan insentif kepada pelaku yang sudah eksisting masuk ke bursa sehingga mereka bisa melakukan transaksi. Mekanisme ini diharapkan bisa mendorong masuknya pelaku-pelaku ekonomi lainnya khususnya menengah ke bawah.
”Ke depan, BPDLH akan terus mencoba untuk memberikan percepatan dukungan pencapaian SDG dan NDC 2030. Peluncuran dua mekanisme ini juga diharapkan bisa mendorong pemerintah ataupun seluruh pihak dalam pencapaian komitmen yang sudah dinyatakan dalam pembaruan NDC dan SDG,” ungkap Joko.
Mendukung kelompok rentan
Resident Representative UNDP Indonesia Norimasa Shimomura menyatakan, mekanisme pembiayaan hijau ini akan memfasilitasi perluasan bisnis atau kegiatan dari start-up di daerah dengan risiko bencana tinggi dan kurang terlayani. Kemudian pembiayaan ini juga dapat mendukung kelompok atau populasi rentan, termasuk masyarakat pesisir.
Ia menegaskan, kolaborasi antar-pemangku kepentingan sangat penting dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan dan penurunan emisi. UNDP pun berkomitmen untuk tetap menjadi mitra bagi pemerintah Indonesia untuk menjadi negara dengan pendanaan hijau yang inovatif.
”Indonesia juga telah mempelopori operasionalisasi sistem penetapan harga karbon yang memungkinkan tercapainya penurunan emisi sesuai NDC,” ucapnya.
Sampai saat ini, UNDP telah bekerja sama dengan sejumlah kementerian untuk membantu landasan penetapan harga karbon di Indonesia, seperti peta jalan penerapan pajak karbon untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara. Dukungan tersebut memungkinkan Indonesia meluncurkan perdagangan karbon domestik pada awal tahun ini.