COP28 Dubai Belum Menyepakati Penghapusan Bahan Bakar Fosil
Rancangan kesepakatan COP28 Dubai belum tegas menyepakati penghapusan bahan bakar fosil secara bertahap.
Oleh
ERIKA KURNIA, PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
DUBAI, SELASA — Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim ke-28 atau COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab, menurut rencana akan selesai sesuai jadwal yang ditetapkan, yakni pada 12 Desember 2023. Namun, banyak pihak kecewa karena sampai kini negara-negara belum tegas menyepakati penghapusan bahan bakar fosil secara bertahap.
Sesi perundingan dalam COP28 telah memasuki tahap akhir. Selama dua minggu terakhir, delegasi negara-negara di dunia telah membahas dan merundingkan sejumlah hal untuk membuat suhu bumi tetap berada di bawah 1,5 derajat celsius.
Meski demikian, sejumlah pihak cukup kecewa dengan rancangan atau draf kesepakatan COP28 yang dirilis pada Senin (11/12/2023). Salah satu hal yang disoroti dalam draf tersebut adalah tidak adanya kesepakatan terkait penghapusan bahan bakar fosil. Draf tersebut hanya menyerukan negara-negara untuk mengurangi konsumsi dan produksi bahan bakar fosildengan cara yang adil, teratur, dan merata.
Direktur Jenderal COP28Majid al-Suwaidi menyampaikan,rancangan kesepakatan yang dibuat pada Senin malam menjadi titik awal untuk memulai kembali diskusi. Rancangan kesepakatan ini juga bertujuan untuk mendorong negara-negara merundingkan kembali terkait hal-hal apa saja yang masih menjadi penghambat kesepakatan tersebut.
”Saat kami merilisnya, kami tahu ada pendapat yang terpolarisasi. Namun, hal yang tidak kami ketahui adalahterkaittitik kesepakatan dari masing-masing negara. Kami menghabiskan waktu sepanjang malam untuk berunding dan menerima masukan agar bisa menyusun rancangan kesepakatan baru,” ujarnya saat konferensi pers di Dubai, Selasa (12/12/2023).
Menurut Al-Suwaidi, draf kesepakatan baru diharapkan bisa mencakup semua elemen yang diperlukan untuk membuat rencana komprehensif hingga tahun 2030. Hal ini termasuk upaya mitigasi, adaptasi, peta jalan implementasi, serta ketentuan tentang kehilangan dan kerusakan (loss and damage) yang adil dan berimbang.
Al-Suwaidi mengakui bahwa banyak aspek perundingan yang masih terbuka dan hal tersebut wajar dalam proses perundingan konferensi perubahan iklim. Akan tetapi, ia menegaskan bahwa Presidensi COP28 Dubai tetap berupaya membuat catatan positif sepanjang sejarah konferensi dengan memasukkan kesepakatan tentang bahan bakar fosil.
”Penting bagi kita untuk menggunakan bahasa yang tepat terkait kesepakatan bahan bakar fosil dan memikirkan bagaimana kita mendapatkan keseimbangan itu. Ada pihak yang ingin dihapuskan secara bertahap. Jadi, intinya adalah mendapatkan konsensus,” katanya.
Indonesia telah memastikan agar operasionalisasi pendanaan tersebut mudah diimplementasikan.
Kepala Perundingan COP28 Uni Eropa Wopke Hoekstra menyatakan, draf kesepakatan tersebut tidak cukup dan tidak memadai untuk mengatasi masalah krisis iklim saat ini. Sebab, berbagai hasil kajian telah jelas menyatakan tentang penghapusan bahan bakar fosil secara bertahap guna memastikan suhu bumi tidak semakin meningkat.
Berdasarkan laporan Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC), infrastruktur bahan bakar fosil yang ada dan yang direncanakan saat ini sudah akan menghasilkan karbon dioksida yang cukup untuk menghangatkan planet sekitar 2 derajat celsius di abad ini. Oleh karena itu, berbagai proyek tersebut perlu dibatalkan, pensiun dini, atau dibersihkan.
Utusan Khusus AS untuk Perubahan Iklim John Kerry juga menyatakan keprihatinan yang sama. Menurut Kerry, banyak pihak telah menyerukan dunia untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap dan harus dimulai pada dekade ini.
Pembahasan lain
Direktur Mobilisasi dan Sumber Daya Sektoral dan Regional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wahyu Marjaka mengatakan, pembahasan dokumen putusan akhir COP28, termasuk Global Stocktake, alot dibahas sejak Senin (11/12/2023).
”Kami fokus menyiapkan intervensi di closing session COP28 saja. Tadi malam, kami baru selesai pukul 02.00. Sekarang masih dilanjut hari ini (Selasa) untuk closing,” kata Wahyu yang juga Sekretaris Delegasi RI itu.
Ia pun menyebut aktivitas negosiasi memang sudah mulai longgar. Indonesia sudah hampir selesai dengan seluruh topik yang perlu diselesaikan. Adapun yang belum selesai dibahas adalah artikel 6 Persetujuan Paris mengenai pembiayaan implementasi mitigasi perubahan iklim, yang menyangkut mekanisme pasar dan nonpasar.
Topik lain yang juga masih dinegosiasikan adalah artikel 39 terkait upaya percepatan pengurangan emisi gas rumah kaca. Internal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengatakan kepada Kompas, sejauh ini Indonesia sebagai anggota kelompok negara berkembang G77+China dapat menerima pengakhiran energi fosil tanpa mengurangi emisi, selama merekognisi peran energi tidak terbarukan tersebut dalam pembangunan.
Selain kesepakatan tentang penghapusan energi fosil, Presidensi COP28 berhasil mengumpulkan komitmen pendanaan senilai 792 juta dollar AS untuk kehilangan dan kerusakan. Pendanaan ini menjadi topik pertama dari sekitar 20 topik yang disetujui semua pihak untuk dimasukkan ke dalam dokumen Global Stocktake.
Wahyu menegaskan, Indonesia telah memastikan agar operasionalisasi pendanaan tersebut mudah diimplementasikan.Sebab, Indonesia memiliki potensi besar untuk mengakses pendanaan tersebut.”Kalau sudah adapledging(komitmen pendanaan) seperti itu, duitnya bisa tidak diakses? Bagaimana cara aksesnya dan aturannya seperti apa? Itu yang harus benar-benar dipastikan. Simpel, efisien, dan transparan,” ucapnya.
Prinsip kemudahan itu juga didorong untuk akses pendanaan lain, seperti komitmen 100 miliar dollar AS dari negara-negara maju, yang sampai saat ini masih jauh implementasinya. Sesuai dokumen yang dibuat di COP21 pada 2015, yang menjadi Persetujuan Paris, pendanaan itu diperuntukkan untuk mitigasi dan adaptasi, masing-masing sebesar 50 persen.
Pada saat bersamaan, Indonesia juga perlu membenahi koordinasi internal untuk memastikan dana guna kebutuhan menghadapi dan menangani dampak perubahan iklim itu diterima sampai ke akar rumput. ”Tantangan Indonesia sebenarnya lebih banyak di internal,” kata Wahyu.