Bencana Alam Picu Kekerasan Seksual di Sulawesi Tengah
Kekerasan seksual terjadi di sejumlah daerah, termasuk lokasi bencana. Perlindungan korban bencana alam perlu diperkuat.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Para aktivis perempuan bergembira seusai pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/4/2022). DPR menyetujui RUU TPKS menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR Ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022.
JAKARTA, KOMPAS — Hampir dua tahun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual disahkan, implementasi di lapangan masih menghadapi tantangan. Di beberapa daerah, seperti Sulawesi Tengah dan Kalimantan Barat, kekerasan seksual pada anak menunjukkan tren meningkat.
Selain karena usia; kemiskinan, pengaruh pornografi, dan minimnya pemahaman tentang seksualitas menjadi faktor pendorong terjadinya kekerasan seksual. Adapun kasus kekerasan seksual di Sulawesi Tengah (Sulteng) meningkat akibat bencana alam. Di Sulteng dan Kalimantan Barat (Kalbar) masih ditemukan penyelesaian kasus secara hukum adat.
”Kebijakan perlindungan anak dan perempuan dari kekerasan tersedia, tetapi implementasinya mengalami hambatan pengetahuan, infrastruktur, anggaran, kelembagaan, dan sumber daya manusia,” ucap Andi Misbanul Pratiwi, peneliti Wahana Visi Indonesia (WVI), dalam Peluncuran Kajian Kesiapan Provinsi Kalbar dan Sulteng dalam Implementasi UU TPKS melalui seminar ”Melindungi Anak dari Kekerasan Seksual, Dimulai dari Siapa?”, Kamis (14/12/2023), di Jakarta.
Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) pada periode Januari 2022 hingga Januari 2023, di Sulteng terdapat 664 kasus kekerasan dengan korban laki-laki sebanyak 88 orang dan perempuan sebanyak 607 orang.
Dari data tersebut, jenis kekerasan yang dialami meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, eksploitasi, perdagangan orang, penelantaran, dan jenis kekerasan lainnya. Dari jenis kekerasan tersebut, kekerasan seksual menempati posisi tertinggi dengan jumlah 310 kasus.
Kebijakan perlindungan anak dan perempuan dari kekerasan tersedia, tetapi implementasinya mengalami hambatan pengetahuan, infrastruktur, anggaran, kelembagaan, dan sumber daya manusia.
Kemudian berdasarkan usia, korban paling banyak berada pada rentang kelompok usia 13-17 tahun, yakni sebanyak 227 orang. Berdasarkan karakteristik jenis pendidikan, mayoritas korban berada di level pendidikan SMA ke bawah. Berdasarkan jumlah kasus per kabupaten/kota, wilayah dengan jumlah kekerasan paling tinggi adalah Kota Palu (156 kasus), Buol (103 kasus), Poso (66 kasus), Parigi Moutong (66 kasus), dan Sigi (42 kasus).
Kajian tentang Kesiapan Provinsi Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah dalam Implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dilakukan oleh Wahana Visi Indonesia di Sulteng dan Kalteng pada Maret-Juni 2023.
Peluncuran kajian dan seminar diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bersama Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan WVI. Kajian di dua provinsi tersebut untuk mendalami respons pemerintah daerah dalam kebijakan lokal merespons UU TPKS, termasuk kesiapan membuat kebijakan lokal yang mendukung penghapusan kekerasan seksual terhadap anak.
Dari analisis jender ditemukan bahwa adanya kebijakan di tingkat daerah merupakan modalitas dan kemajuan dalam menangani kekerasan seksual. Kekerasan seksual tidak lagi menjadi urusan privat, tetapi tanggung jawab negara (publik).
Selain itu, adanya kebijakan di tingkat daerah juga menunjukkan isu kekerasan seksual menjadi isu penting terkait perlindungan perempuan dan anak. Meski demikian, implementasi UU TPKS di dua provinsi mengalami hambatan sosio-kultural, yakni komitmen anggaran, pengetahuan dan perspektif aparat penegak hukum, serta perspektif masyarakat terkait kekerasan seksual.
Anggaran terbatas
Hambatan tersebut disebabkan anggaran responsif jender masih terbatas, peningkatan pengetahuan aparat penegak hukum belum maksimal, dan budaya patriarki di masyarakat masih kuat. Oleh karena itu, ada kebutuhan terkait komitmen politik melalui kebijakan, program, dan ketersediaan anggaran untuk memperkuat infrastruktur penghapusan kekerasan seksual.
”Komitmen anggaran penting untuk memastikan sebuah kebijakan dapat diimplementasikan dengan maksimal. Penting memastikan adanya anggaran responsif jender. Pengetahuan dan perspektif aparat penegak hukum menjadi faktor penentu dalam implementasi hukum yang berkeadilan jender,” katanya.
Kendati demikian, kajian WVI menemukan terdapat praktik baik di dua wilayah dalam hal koordinasi dan kerja sama lintas pihak lembaga mendukung pelayanan terpadu bagi korban kekerasan seksual. ”Sebagian besar pemerintah daerah dan aparat penegak hukum memiliki perspektif baik dalam pelayanan terpadu dan penanganan kasus kekerasan seksual. Mereka juga mendukung penghapusan kekerasan seksual,” ujar Andi.
Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan Kementerian PPPA Ciput Eka Purwianti mengapresiasi hasil kajian dari WVI terkait implementasi UU TPKS di dua provinsi itu. ”Hasil kajian ini sangat bermanfaat tidak hanya di tingkat provinsi, kabupaten/kota, sebagai daerah yang mempunyai tanggung jawab penanganan serta perlindungan pada korban kekerasan seksual sesuai amanat UU Nomor 12 Tahun 2022,” ujarnya.
Menurut Ciput, dengan disahkannya UU TPKS pada tahun 2022, semua pihak berkampanye masif, mengedukasi pencegahan kekerasan seksual. Selain itu, ketersediaan layanan bagi para korban kekerasan seksual juga meningkat, termasuk meningkatnya kesadaran masyarakat dalam melihat kasus-kasus kekerasan seksual.