Konser Ananda Menyambut Natal, Kisah tentang Ibu dan Pandemi
Perayaan selalu membawa kegembiraan. Itu sebabnya, pianis Ananda Sukarlan ingin merangkai sukacita Natal, Hari Ibu, Tahun Baru, dan pementasan karya barunya berjudul ”Pandemic Poems” menjadi satu.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·5 menit baca
Denting piano dari jemari lentik Ananda Sukarlan (55) memenuhi ruangan di Mitra Hadiprana Boutique Mall, Kemang, Jakarta Selatan, Minggu (17/12/2023). Setiap nada mengalun, mulut seolah terkunci. Rasanya, suara sekalipun tidak ingin mengganggu keindahan bunyi itu.
Sore itu, Ananda menggelar konser amal menyambut Natal. Selain merayakan Natal dengan gembira, komponis ini juga mengajak orang memperingati Hari Ibu dan Tahun Baru. Momen itu juga menjadi pentas pertamanya mengenalkan karya terbarunya berjudul ”Pandemic Poems”.
Pentas ”paket lengkap” ini, antara lain, untuk menggalang dana bagi penyelenggaraan kompetisi Ananda Sukarlan Award (ASA) tahun 2024. Kejuaraan ini menjadi ajang bagi para musikus klasik muda Indonesia di semua instrumen musik.
Dalam konser ini, Ananda mengajak dua pemenang edisi ASA tahun 2023. Mereka adalah pemain biola Aghisna Indah Mawarni (22) asal Jombang, Jawa Timur, dan Shelomita Amory, soprano berusia 14 tahun dari Salatiga, Jawa Tengah.
Membuka konser amal itu, Ananda memainkan komposisi ”variations on god rest ye merry gentlemen”. Komponis dan pianis yang masuk dalam The 2000 Outstanding Musicians of the 20th Century itu langsung mengaduk-aduk perasaan pendengarnya.
Jemari Ananda awalnya bermain di atas tuts piano dengan nada-nada lembut dan pelan. Namun, tak lama kemudian, tempo musiknya tiba-tiba melompat menjadi lebih cepat dan kuat selama lebih kurang 5 menit.
Puisi
Berikutnya, pianis peraih Royal Order of Merit Isabel la Catolica (penghargaan tertinggi untuk warga sipil dari Kerajaan Spanyol dari Yang Mulia Raja Felipe VI) ini ditemani soprano Shelomita. Ananda memainkan tiga lagu dari puisi Emily Dickinson.
Tiga lagu itu adalah ”If I Could Stop One Heart from Breaking”, ”We Learned the Whole of Love”, dan ”This is My Letter to The World”. Suara sopran Shelomita langsung memecah syahdunya konser intim yang disaksikan sekitar 100 penonton itu.
Dalam penampilan ini, Ananda seperti mengajak orang untuk berbuat kebaikan dan berbagi kasih sayang di dunia yang penuh penderitaan ini. Sebagaimana penggalan puisi-puisi Emily Dickinson di atas.
Jika aku bisa menghentikan satu hati agar tidak hancur/Aku tidak akan hidup sia-sia/Jika aku bisa meringankan satu kehidupan yang sakit…
Suasana makin haru saat ia memainkan lagu Natal berjudul ”Silent Night” versi Indonesia. Sebuah versi ’rumit’ ala Ananda itu menyuguhkan kekhidmatan khas musik religi, lalu melompat pada nada-nada jenaka, dan tegas.
Di sini, Ananda menunjukkan kepiawaiannya dalam bermusik. Saat tangan kirinya memainkan ”Silent Night”, tangan kanannya melantunkan melodi khas musik tradisional Indonesia.
Suasana Tanah Air pun kian terasa karena Ananda beraksi di area Galeri Hadiprana. Galeri ini pertama kali didirikan oleh Hendra Hadiprana di Jalan Paletehan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan Tahun 1962. Galeri yang sempat manarik perhatian Presiden Soekarno kala itu lalu pindah ke Kemang.
Dalam konser ini, Ananda memainkan dua karya lainnya. Salah satunya, ”Rapsodia Nusantara No. 39”, yang dipersembahkan Agustia Budiman kepada Linda Ngadiman sebagai hadiah ulang tahun ke-29 pernikahan mereka.
Ada pula variasi lagu SM Mochtar, ”Kasih Ibu”. Lagu ini telah dipesan oleh UOB (United Overseas Bank) melalui program tanggung jawab sosial perusahaan UOB Heartbeat.
Pada konser ini, Ananda memadukan musiknya dengan gesekan biola dari Aghisna Indah Mawarni, pemenang ASA tahun 2023. Keduanya memainkan komposisi berjudul ”Sadness Becomes Her”. Di sini, denting piano Ananda berpadu dengan suara menyayat biola Aghisna.
Mendengarnya, seolah mengajak kita untuk merenung dan merindukan sosok seorang ibu. Rupanya, komposisi ini pernah dibuat Ananda sebagai instrumen dalam film Air Mata Terakhir Bunda.
”Lagu ini terinspirasi pengalaman hidup saya saat kuliah di Belanda tahun 1995. Bagaimana saat saya lulus, ibu saya tidak bisa menemani. Akhirnya, perasaan itu saya tuangkan jadi komposisi. Begitulah, musik dan hidup sering crossover atau bersilangan,” kata Ananda.
Puncak dari konser ini adalah dilantunkannya pertama kali karya baru Ananda, ”Pandemic Poems”. Di sini, Ananda mengajak Shelomita untuk menyanyikan lirik-lirik puisi itu. ”Pandemic Poems” adalah empat tembang puitik yang diadaptasi dari empat puisi yang ditulis saat pandemi.
Musikalisasi puisi itu adalah ”Gugus 1: Pemedis di Garis Depan” karya Goenawan Monoharto, ”Beda Keyakinan” (Hilmi Faiq), dan ”Setelah Dirumahkan (5)” (Muhammad Subhan). Pentas itu ditutup ”Dialog Sesama Virus Korona tentang Koruptor” dari puisi Riri Satria.
”Puisi ini sebenarnya saya buat untuk antologi buku. Puisi ini sebenarnya sebagai pengingat untuk kita semua. Bahwa virus korona yang kejam itu masih kalah kejam dibandingkan koruptor. Karena, koruptor itu tega mencekik orang yang sudah susah karena kena korona. Buktinya, ada menteri tertangkap korupsi bansos (bantuan sosial) Covid-19,” ungkap Riri.
Konser kali ini, menurut Ananda, adalah sebuah penanda. ”Dengan konser ini, saya ingin mengajak orang menutup buku era pandemi dan membuka lembar baru masa depan. Ada harapan baru yang harus disambut dengan sukacita di depan sana. Sukacita Natal ini milik kita bersama,” kata Ananda.
Aghisna, pemain biola berkerudung asal Jombang, mengaku bangga bisa tampil dalam konser menjelang Natal itu. ”Saya gembira bisa tampil di sini. Karena ini menunjukkan bahwa kami semua dipersatukan oleh musik dan turut merasakan kebahagiaan Natal dengan musik, ” katanya.
Sebagai penutup, Rinawati Prihatiningsih, panitia acara, mengaku bahagia atas dukungan penonton terhadap musik di Tanah Air. ”Terima kasih atas setiap dukungan Anda semua hari ini,” ucap Rinawati yang turut mendirikan Yayasan Musik Sastra Indonesia (YMSI) bersama Ananda.
Baginya, penonton pentas itu sudah berkontribusi luar biasa untuk perkembangan mosaik dan talenta pemusik serta vokalis muda di Indonesia. Penonton juga telah mendukung perkembangan ekosistem musik sastra di Indonesia.
Menurut Rinawati, di tengah era digital serba cepat seperti saat ini, manusia tetap harus menjaga keseimbangan dengan meresapi musik dan sastra. ”Sebab, hal itu akan membuat kita menebalkan rasa atas semua yang terjadi di sekitar kita,” ujarnya.