Universitas Surabaya mengukuhkan enam Guru Besar dengan harapan memacu ambisi sebagai kampus riset dan berkelas dunia.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
Rapat Terbuka Senat Universitas Surabaya untuk pengukuhan enam Guru Besar, Rabu (20/12/2023), di Kampus Tenggilis, Jawa Timur.
SURABAYA, KOMPAS — Rapat Terbuka Senat Universitas Surabaya mengukuhkan enam Guru Besar di Kampus Tenggilis, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (20/12/2023). Keberadaan Mahaguru menjadi pilar ilmu pengetahuan dan teknologi yang menandakan mutu serta kualitas pendidikan tinggi.
Tiga dari enam Guru Besar yang dikukuhkan berasal dari Fakultas Teknik. Masing-masing ialah Rudy Agustriyanto dan Putu Doddy Sutrisna sebagai Mahaguru Ilmu Teknik Kimia serta Elieser Tarigan sebagai Mahaguru Ilmu Teknik Elektro. Dua orang dari Fakultas Hukum, yakni JM Atik Krustiyati dan Hesti Armiwulan sebagai Guru Besar Ilmu Hukum. Seorang lagi, Putu Anom Mahadwartha sebagai Mahaguru Ilmu Manajemen pada Fakultas Bisnis dan Ekonomika.
Dengan keberadaan enam Profesor baru itu, Ubaya telah memiliki 17 Guru Besar aktif dan 4 Mahaguru emeritus. Menurut Rektor Ubaya Benny Lianto, pengukuhan enam Guru Besar itu merupakan program untuk menjadikan 55 dosen sebagai Mahaguru dalam kurun 2023-2027. ”Februari 2024 akan dikukuhkan lagi enam Guru Besar,” katanya dalam pidato setelah orasi ilmiah keenam Mahaguru.
Menurut Benny, keberadaan Guru Besar menjadi penanda bagi Ubaya yang berambisi menjadi perguruan tinggi berkelas dunia. Mahaguru adalah pilar-pilar Iptek kampus. Jika kian bertambah pilarnya, kampus sejatinya bermutu dan berkualitas. ”Guru Besar akan mendorong kinerja Ubaya sebagai kampus inovatif berbasis riset dan world class university,” ujarnya.
Benny menekankan, Guru Besar adalah puncak penguasaan seseorang dalam suatu kepakaran sekaligus jabatan tertinggi akademik. Untuk itu, Mahaguru jangan merasa puas apalagi telah paripurna mengajar. Sejatinya, status Guru Besar adalah langkah awal untuk pembuktian kelayakan seseorang sebagai sumber pengetahuan dan inspirasi bagi masyarakat terutama dalam dunia akademik.
Guru Besar harus menjadi contoh dan panutan bagi kolega yang adalah sivitas kampus. Selain itu, menjadi motivator para dosen sebagai pendidik masyarakat. Mahaguru juga inspirasi untuk mendorong pemajuan dan kemajuan riset yang hasilnya harus bermanfaat bagi publik. ”Guru Besar jangan hanya berkarya di dalam kampus, harus membagikan ilmunya, tidak jago kandang untuk kepentingan lebih besar, yakni bangsa dan negara,” kata Benny.
Salah satu orasi ilmiah yang cukup menarik dan menggelitik disampaikan oleh Prof Anom dengan judul ”Apakah Kita Semua Penjudi? Ambiguitas Efficient Market Hypothesis yang mendorong Gambler Behavior”. EMH adalah fondasi penting dalam teori keuangan modern. Namun, penelitian terkini menunjukkan kompleksitas pasar keuangan mungkin lebih besar daripada yang diantisipasi oleh teori ini.
Di sisi lain, gambler's behavior dalam konteks keuangan mengacu pada perilaku investor yang mengambil keputusan berdasarkan spekulasi. Penanam modal mengabaikan analisis fundamental atau teknis yang mendalam. Perilaku ini berkarakteristik pengejaran keuntungan cepat, pengabaian risiko, spekulasi daripada investasi, ketergantungan emosional, efek sunk cost fallacy atau pantang mundur alias terus berinvestasi dalam aset yang merugi baik secara finansial maupun emosional, pola pikir jangka pendek, dan ketergantungan berlebihan pada keuntungan.
”Masyarakat sering salah kaprah, merasa tidak berjudi padahal perilakunya berjudi. Misalnya, banyak orang terjebak karena tergiur iming-iming keuntungan instan dari investasi bodong,” ujar Prof Anom yang menjabat Dekan Fakultas Bisnis dan Ekonomika.
Di waktu yang bersamaan, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, mengukuhkan Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Achmad Muhibbin Zuhri sebagai Guru Besar Ilmu Teologi Islam Kontemporer. Muhibbin menawarkan teologi kebinekaan sebagai pendekatan alternatif bagi Islam menjawab tantangan kemanusiaan pada masa depan.
Dalam keterangan dari UINSA, Muhibbin mengatakan, perkembangan ilmu teologi bukan terletak pada upaya perlindungan dan pemurnian doktrin keagamaan. Ilmu teologi harus lebih menekankan pada kemampuan menjawab masalah kemanusiaan. Antara lain, menjembatani hubungan antarmanusia yang harmonis umat Islam dengan pemeluk agama dan keyakinan lainnya.
Masih menurut Muhibbin, hubungan antarumat selama ini berpendekatan humanisme dan aktivitas sosial untuk merekatkan persaudaraan. Pendekatan teologis cenderung dihindari karena anggapan tak relevan dan mengarah pada perdebatan dogma tak berujung serta memicu kerenggangan. Padahal, pemahaman teologis yang benar sepatutnya mendorong aktivitas penghormatan, toleransi, dan kesetaraan yang aktif.