logo Kompas.id
HumanioraPemilih Harus Kritis agar...
Iklan

Pemilih Harus Kritis agar Tidak Terjebak di Ruang Gema

Pemilih harus menyaring informasi agar tidak terjebak dalam ruang gema dan bisa obyektif pada hari pencoblosan, 14 Februari 2024.

Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
· 4 menit baca
Salah satu unggahan tentang anjuran untuk melakukan kampanye pilkada secara daring lewat media sosial di akun Instagram @politiq.comel yang diakses dari Jakarta, Sabtu (26/9/2020). Kampanye daring melalui media sosial bisa meminimalkan penyebaran virus Covid-19.
Kompas

Salah satu unggahan tentang anjuran untuk melakukan kampanye pilkada secara daring lewat media sosial di akun Instagram @politiq.comel yang diakses dari Jakarta, Sabtu (26/9/2020). Kampanye daring melalui media sosial bisa meminimalkan penyebaran virus Covid-19.

JAKARTA, KOMPAS — Ruang gema (echo chamber) di internet banyak dimanfaatkan oleh ketiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden hingga para calon legislatif untuk mencari suara rakyat menuju Pemilu 2024. Hal ini cukup berbahaya bagi masyarakat karena bisa membuat mereka terjebak dalam algoritma sehingga tidak terpapar kampanye pasangan calon lainnya.

Ruang gema merupakan situasi ketika seseorang hanya mendengar perspektif dan opini yang sama berulang kali, lalu membentuk fenomena yang dinamakan post truth atau meyakini satu hal yang ia yakin benar dan tidak mau melihat perspektif lain. Ini dapat terjadi baik secara daring maupun dalam kehidupan nyata.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Namun, di Internet, hampir semua orang dapat dengan cepat menemukan orang-orang yang mempunyai pemikiran dan perspektif yang sama melalui media sosial dan sumber berita yang tak terhitung jumlahnya. Algoritma akan menyuguhkan hal-hal yang disenangi dan paling sering dicari sehingga membuat ruang gema semakin mudah terbentuk.

Namun, politik itu manipulatif, jadi agak sulit kita berharap dari kandidatnya langsung yang mengedukasi publik di media sosial.

Peneliti Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Septa Dinata, mengatakan, ruang gema dapat menghalangi pemilih untuk menemukan gagasan dan perspektif baru dari pasangan calon lain secara daring. Terlebih jika literasi digital orang tersebut rendah dan sudah memiliki satu hal yang diyakini sebagai yang paling benar.

”Ada pertemuan antara algoritma media sosial dan kecenderungan audiensnya sendiri di era post truth ini, jadi ini klop. Hasilnya, diversifikasi informasi menjadi kurang dan terjadilah militansi yang berlebihan,” kata Septa saat dihubungi, Minggu (31/12/2023).

Media sosial menjadi salah satu alat kampanye efektif bagi calon gubernur DKI Jakarta, seperti yang dilakukan salah satu pasang calon gubernur di Twitter, 8 Juli 2012.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Media sosial menjadi salah satu alat kampanye efektif bagi calon gubernur DKI Jakarta, seperti yang dilakukan salah satu pasang calon gubernur di Twitter, 8 Juli 2012.

Lebih berbahaya lagi jika efek ruang gema tersebut menimbulkan misinformasi dan berita hoaks yang memakan banyak korban. Berita dari media yang tidak jelas kredibilitasnya pun dianggap sebagai kebenaran karena sesuai dengan opini yang sering dia dengar di ruang gema.

Ruang gema di internet semakin gencar dimanfaatkan politisi dalam kontestasi Pemilu 2024, terutama untuk menjaring pemilih muda yang melek digital. Sejauh ini, para capres hampir setiap hari melakukan siaran langsung, membalas satu per satu pengikutnya, hingga menggandeng pemengaruh di media sosial untuk ikut berkampanye digital.

Iklan

Berbeda dengan pemilu periode sebelumnya yang lebih banyak dilakukan di lapangan terbuka hingga stadion yang mengumpulkan banyak massa dan ongkos kampanye yang lebih besar. Menurut Septa, hal ini sangat efektif menjaring suara rakyat masa kini.

”Ini sangat efektif, pemilih muda sangat besar, masyarakat pengguna media sosial semakin besar. Namun, politik itu manipulatif, jadi agak sulit kita berharap dari kandidatnya langsung yang mengedukasi publik di media sosial,” tuturnya.

Baca juga: Literasi (Konvensional) Sebelum Literasi Digital

Pada Pemilu 2024, jumlah pemilih muda mendominasi. Secara nasional, dari total 204,8 juta pemilih dalam Pemilu 2024, sekitar 106,3 juta atau 52 persen berusia 17-40 tahun. Jika dirinci, persentase pemilih berusia 17-30 tahun sebanyak 31,29 persen dari total pemilih dan 31-40 tahun sebanyak 20,7 persen.

Oleh karena itu, agar menjadi pemilih yang tidak terjebak dalam ruang gema di internet dan bisa obyektif saat mencoblos pada 14 Februari 2024 nanti, seseorang harus menjadi kritis dan terbuka. Biasakan memeriksa berbagai sumber berita di internet untuk memastikan agar mendapatkan informasi yang lengkap dan obyektif.

Sebab, di media sosial tidak ada editorial, pengguna harus menyaring sendiri informasi apa yang dikonsumsi. Kemudian, berinteraksilah dengan orang-orang dengan perspektif berbeda dengan tetap berhati-hatilah dalam mendiskusikan ide-ide baru di internet dengan mengedepankan rasa hormat.

”Kita harus punya inisiatif sendiri dengan mendiversifikasi jenis media sosial yang kita gunakan, bisa pakai Instagram, X, Tiktok, Facebook. Bisa jadi algoritma informasi di Tiktok berbeda dengan di Instagram, jadi harus menjadi editor untuk diri sendiri,” tutur Septa.

https://cdn-assetd.kompas.id/zwaB4SW5TEwBoWFNcgiDDNwPWYk=/1024x3311/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F06%2F25%2F20200625-H25-LHR-Kampanye-media-sosial-mumed_1593101938_png.png

Penelitian Sandra Gonzalez-Bailon, profesor dari Sekolah Komunikasi Annenberg di University of Pennsylvania, Amerika Serikat, menunjukkan, efek ruang gema bisa diatasi dengan penggunaan internet yang kritis. Salah satu contohnya adalah kemenangan Presiden Joe Biden atas Donald Trump pada Pemilu AS 2020. Padahal, Trump dikenal pintar memanfaatkan ruang gema di media sosial hingga terpilih menjadi presiden AS pada 2016.

”Bukan ingin mendorong orang untuk tetap tertutup dalam ruang gema orang lain, kami menemukan bahwa ’gelembung-gelembung’ tersebut sudah mulai pecah. Masyarakat sebenarnya sudah mengonsumsi berita dari berbagai sumber,” kata Sandra, dikutip dari Penntoday.upenn.edu.

Baca juga: Metode Pembelajaran Digital Menguatkan Cara Konvensional

Penelitian ini dilakukan Sandra bersama Tian Yang dari Sekolah Komunikasi Annenberg di University of Pennsylvania dengan melacak perilaku penjelajahan web dari tahun 2014 hingga 2018, termasuk akses seluler dan berbagai sumber berita. Hasilnya, keterpaparan terhadap berita semakin meningkat, terutama melalui perangkat seluler.

Platform media sosial yang semakin berubah juga turut memengaruhi, misalnya Facebook dan X yang kini jauh lebih agresif memberikan label pada konten hoaks atau menyesatkan, termasuk pada cuitan presiden. Misalnya, Twitter pernah memberikan label peringatan informasi palsu kepada lebih dari 200 cuitan dan postingan Presiden Donald Trump, termasuk yang di-retweet pada 2020.

Editor:
ADHITYA RAMADHAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000