Pencegahan Kekerasan di Sekolah Dinilai Masih Formalistis
Kekerasan masih menjadi ancaman bagi peserta didik di satuan pendidikan yang perlu serius diatasi.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan yang utamanya dikenal dengan “tiga dosa besar” pendidikan, yakni kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi, harus serius diselesaikan. Pencegahan dan penanganan kasus-kasus tersebut agar tak terjebak formalistis dan berhenti pada slogan di sekolah. Butuh upaya dan kolaborasi yang nyata agar pemahaman mendalam soal kekerasan pada level mikro dan siber dijalankan dengan serius di sekolah dan madrasah.
Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Feriyansyah di Jakarta, Rabu (3/1/2024), mengatakan, P2G mengapresiasi langkah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang segera mengeluarkan peraturan sebagai upaya mewadahi pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan. Namun hal ini tidak cukup. Kemendikbudristek didorong lebih serius menuntaskan ”tiga dosa besar” pendidikan di pendidikan dasar, menengah, dan perguruan tinggi.
Feriyansyah mendorong agar implementasi Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) harus dikawal sampai ke sekolah dan madrasah. Permendikbudristek tersebut mengamanatkan paling lama enam bulan segera dibentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) setelah peraturan diterbitkan. Artinya, pada Januari 2024 semua sekolah dan madrasah di Indonesia yang berjumlah lebih dari 300.000 lembaga semestinya sudah membentuk TPPK dan memahami tugasnya.
“Faktanya, hingga akhir Desember 2023 ini sekolah hanya membentuk dan menunjuk tim saja. Karena ditekan oleh dinas pendidikan yang kejar tayang, tanpa mengerti harus berbuat apa dan melakukan tindak lanjut seperti apa,” ujar Feriyansyah.
Menurut Feriyansyah, di madrasah lebih tak tersentuh lagi karena belum ada dan belum menerima sosialisasi regulasi pencegahan kekerasan tersebut. P2G mendorong agar pemahaman mendalam soal kekerasan pada level mikro dan siber perlu diselenggarakan dengan serius di sekolah dan madrasah.
Upaya pencegahan jangan hanya formalistis dan selesai dengan menempel poster deklarasi ”Sekolah Ramah Anak”. Kemendikbudristek perlu melibatkan organisasi guru untuk menyosialisasikan permendikbudristek tersebut.
“Dalam pantauan jaringan P2G daerah, pelatihan pencegahan penanganan kekerasan di sekolah yang didesain Kemendikbudristek hanya dengan pola massal dengan pelatih yang didatangkan dari pusat ke daerah,” kata Feriyansyah.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru (YCG) Muhammad Mukhlisin mengatakan, tindakan-tindakan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia sangat mengkhawatirkan, baik dari kuantitas maupun jenis tindakan kekerasan.
Kami sangat serius dalam memitigasi kekerasan dalam segala bentuk di lingkungan satuan pendidikan.
Sedikitnya ada 136 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan sepanjang 2023 yang terekam pemberitaan media massa dengan total 134 pelaku dan 339 korban, yang 19 orang di antaranya meninggal. Data ini dihimpun Yayasan Cahaya Guru pada 1 Januari-10 Desember 2023 melalui pemantauan pemberitaan media massa tersertifikasi Dewan Pers.
Dari data penanganan kekerasan oleh Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek tahun 2021-2023, terdata 127 kasus. Ada 7 kasus pada tahun 2021, sebanyak 68 kasus pada tahun 2022, dan 52 kasus tahun 2023. Kasus perundungan terbanyak dilaporkan, lalu kekerasan seksual, dan intoleransi.
Data dari Asesmen Nasional (AN) tahun 2022, potensi kekerasan masih dialami peserta didik. Lebih dari 63 persen berpotensi aman dari kejadian perundungan. Lebih dari 73 persen peserta didik berpotensi aman dari kejadian hukuman fisik serta lebih dari 65 persen berpotensi aman dari kekerasan seksual.
Mukhlisin mengatakan, YCG ingin mendokumentasikan dan memublikasikan fakta-fakta tantangan pendidikan keberagaman sepanjang tahun 2023, meliputi diskriminasi dan intoleransi, kekerasan, dan perundungan. YCG juga memetakan pola dan tren tantangan pendidikan keberagaman pendidikan pada tahun 2023 serta memberikan rekomendasi bagi berbagai pihak untuk memajukan keamanan iklim pendidikan yang menghargai keberagaman.
Refleksi akhir tahun YCG bertajuk “Mengikis Kekerasan, Meneguhkan Iklim Kebinekaan pada Tahun Politik” beberapa waktu lalu memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah. Rekomendasi itu antara lain mendorong pemerintah pusat agar memperbanyak pelatihan guru dan tenaga kependidikan untuk mengenal, mencegah, dan menangani kasus-kasus intoleransi, perundungan, kekerasan seksual, serta diskriminasi. Sementara itu, salah satu rekomendasi bagi pemerintah daerah adalah menghapus kebijakan-kebijakan pendidikan yang diskriminatif, seperti mengutamakan kelompok agama tertentu dalam pelaksanaan penerimaan peserta didik baru (PPDB).
Adapun rekomendasi untuk satuan pendidikan adalah menyediakan peningkatan kapasitas guru dan tenaga kependidikan mengenai pemahaman dan kesadaran kekerasan dan intoleransi; menjadikan prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan dalam UU Sisdiknas sebagai dasar penyelenggaraan pendidikan; serta menyediakan ruang aman bagi korban untuk melapor dan menindaklanjuti laporan dengan serius. Orangtua/keluarga diharapkan turut serta mengembangkan kesadaran keluarga dan masyarakat terhadap dampak kekerasan terhadap anak.
Berbagai inisiatif
Secara terpisah, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengakui kekerasan, seperti perundungan, memang masalah besar di lingkungan pendidikan. Kemendikbudristek pun mengambil berbagai inisiatif regulasi dan program. “Kami sangat serius dalam memitigasi kekerasan dalam segala bentuk di lingkungan satuan pendidikan,” ucapnya.
Menurut Nadiem, Permendikbudristek PPKSP menjadi inisiatif terbesar dalam memitigasi resiko kekerasan. Selain itu, Kemendikbudristek berkolaborasi dengan delapan kementerian/lembaga untuk pembentukan TPPK di sekolah dan satuan tugas di masing-masing pemda. Ada juga program Roots se-Indonesia dan mengerahkan kampanye dan sosialisasi perundungan di berbagai daerah. Digelar juga Asesmen Nasional (AN) untuk mengetahui risiko kerentanan kekerasan di satuan pendidikan dan prioritas program pencegahan dan penanganan. Selain itu, penguatan kanal pelaporan dan penaganan kasus oleh Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek.
Inspektur Jenderal Kemdikbudristek Chatarina Muliana Girsang mengatakan, data kekerasan dari KPAI ataupun Kementerian PPA sejalan dengan hasil AN yang menunjukkan, 20-30 persen anak mengalami kekerasan dan rawan kekerasan. Inisiatif Kemendikbudristek dengan membuat regulasi baru Permendikbudristek PPKP pada 4 Agustus 2023 setidaknya mengubah lima poin yang diatur pada aturan lama, yakni sasaran (tidak hanya peserta didik, tetapi juga guru dan tenaga kependidikan/warga sekolah), definisi bentuk kekerasan yang lebih jelas, serta pembentukan tim satuan tugas dan mengatur lebih rigid dan lebih terstruktur tentang mekanisme pencegahan dan penanganan.
“Tim PPK di sekolah dan satgas daerah wajib menindaklanjuti aduan dari kami dan media tentang kekerasan di satuan pendidikan. Melakukan pemantauan dan menemukan fakta untuk memastikan korban terlindungi,” kata Chatrina.