Kekerasan Berbasis Jender, Potret Gelap Indonesia
Perempuan terus menjadi korban kekerasan dalam berbagai bentuk dan modus, dari penderitaan fisik hingga kehilangan nyawa.
Kekerasan berbasis jender terus mewarnai perjalanan bangsa Indonesia. Kekerasan itu menyasar perempuan, termasuk anak-anak, menjadi potret gelap yang hingga kini sulit terhapus dari wajah Indonesia.
Sepanjang tahun 2023, kekerasan yang menimpa perempuan dan anak, baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan, tak berjeda sedikit pun. Bahkan hingga di pengujung tahun 2023, masyarakat terus dikejutkan dengan berbagai peristiwa kekerasan sadis menyasar perempuan dan anak-anak sebagai korban.
Salah satu kasus yang membekas di ingatan publik adalah pembunuhan empat anak di Gang Roman, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, DKI Jakarta, pada 3 Desember 2023 lalu. Kasus yang berawal dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh Panca Darmansyah (41) terhadap D, istrinya, berujung pada pembunuhan anak-anaknya, yakni AK (1), AA (3), SA (4), dan VA (6).
Hingga kini publik sulit percaya, bagaimana mungkin seorang ayah tega membunuh empat anaknya sekaligus demi melampiaskan kekecewaan kepada istrinya. Di sisi lain, sejumlah kalangan mempertanyakan kepekaan aparat penegak hukum, dalam hal ini kepolisian dalam merespons laporan peristiwa KDRT.
Seharusnya, kepolisian lebih sensitif dalam menangani kasus kekerasan berbasis jender tersebut yang membuat perempuan (istri) dan anak rentan berada dalam ancaman berlanjut, yang berpotensi menjadi korban bahkan kehilangan nyawa.
Baca juga: Tragedi Jagakarsa Jadi Pelajaran untuk Lebih Peka pada Kasus KDRT
Kasus di Jagakarsa sesungguhnya hanyalah satu dari sekian kasus kekerasan yang menyasar perempuan. Sebelumnya pada awal September 2023, di Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, seorang istri, MSD (24), tewas dibunuh suaminya, Nando (25), setelah mengalami KDRT. Lagi-lagi polisi dinilai lamban dan tidak peka menangani kasus KDRT.
Selain lemahnya penegakan hukum, sikap apatis masyarakat dan kuatnya budaya patriarki dalam keluarga dan masyarakat menempatkan perempuan pada posisi rentan menjadi korban kekerasan berbasis jender yang berujung pada penghilangan nyawa.
Kasus di Jagakarsa dan Cikarang sebenarnya merupakan kasus bagian dari femisida atau kasus pembunuhan terhadap perempuan (termasuk anak) karena terkait dengan diri perempuan. Meski demikian, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat belum mengenali kasus tersebut sebagai femisida.
Femisida
Sampai sekarang kasus-kasus kekerasan pada perempuan, termasuk pembunuhan, masih dipandang sebagai kasus kriminal biasa pada perempuan. Data terpilah tentang kasus femisida pun tak tersedia. Padahal femisida merupakan kekerasan paling ekstrem terhadap perempuan, karena perempuan, maka dia menjadi sasaran pembunuhan.
Femisida menjadi perhatian dunia karena hingga kini semakin banyak perempuan yang terbunuh. Perserikatan Bangsa-Bangsa merumuskan dan menemukan dari berbagai belahan dunia ada 11 bentuk femisida, antara lain pembunuhan akibat kekerasan rumah tangga/pasangan intim, penyiksaan dan pembunuhan misoginis terhadap perempuan, serta pembunuhan perempuan dan anak perempuan atas nama ”kehormatan”.
Selain itu, pembunuhan terarah terhadap perempuan dan anak perempuan dalam konteks konflik bersenjata, pembunuhan terkait mahar, serta pembunuhan karena orientasi seksual dan identitas jender.
Baca juga: Perempuan di Cirebon Diduga Dibunuh Mantan Suami, Polisi Kejar Pelaku
Di Indonesia, femisida mulai mendapat perhatian khusus dari Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sejak tahun 2017. Komnas Perempuan melakukan kajian terkait femisida melalui pemantauan media massa daring terkait femisida, memetakan, dan mendokumentasikan tindak kejahatan femisida yang terjadi di Indonesia.
Pada tahun 2021 Komnas Perempuan melucurkan kajian awal dan kertas kerja bertajuk “Femisida Tidak Dikenal: Pengabaian terhadap Hak Atas Hidup dan Hak Atas Keadilan Perempuan dan Anak Perempuan”.
Selain tak ada data terpilah, dari kajian tersebut Komnas Perempuan menemukan angka femisida di Indonesia meningkat tajam, empat kali lipat, sejak tahun 2017 dengan pelaku terbanyak adalah pasangan, baik suami maupun pacar korban, sehingga kategori femisida intim cukup mendominasi kasus di Indonesia. Motif pembunuhan karena dendam/sakit hati, cemburu atau pertengkaran terbanyak dialami perempuan rentang usia produktif 21-40 tahun.
Dari pantauan atas pemberitaan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan akan di media daring, Komnas Perempuan menemukan sejumlah kasus terindikasi kuat sebagai femisida. Contohnya, pantauan sepanjang November 2022-Oktober 2023, Komnas Perempuan mendapati 159 pemberitaan dengan indikasi femisida yang cukup kuat.
Dari sisi regulasi pun, istilah femisida belum dikenal dalam aturan perundang-undangan nasional ataupun daerah. Begitu juga di kalangan penegak hukum, seperti kepolisian, femisida belum dikenal, masih sebatas tindak pidana umum.
”Pengaduan kasus femisida terlebih femisida-bunuh diri hampir tak pernah dilaporkan ke lembaga hak asasi manusia, termasuk Komnas Perempuan, dan pengada layanan,” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Rainy M Hutabarat, pada Diskusi Publik “Memahami Femisida sebagai Bentuk Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan”, awal Desember 2023.
Meskipun banyak kasus femisida, tidak semua pembunuhan terhadap perempuan dapat dikategorisasi sebagai femisida. Namun, pembunuhan terhadap perempuan tidak bisa dilihat sebagai satu pembunuhan biasa.
Femisida merupakan bagian dari berbagai kekerasan yang dialami perempuan, selain KDRT, kekerasan seksual, perdagangan orang, eksploitasi, dan berbagai kekerasan yang menyasar perempuan. Bahkan kekerasan seksual hingga kini menjadi momok terbesar pada perempuan dan anak-anak. Belum lagi, ancaman kekerasan berbasis jender di ranah daring yang semakin mengerikan modusnya.
Implementasi regulasi
Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) Periode Januari-November 2023 jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan mencapai 9.575 kasus dengan jumlah korban 9.799 orang, terdiri dari kasus kekerasan fisik (4.825 korban), psikis (3.763 korban), dan kekerasan seksual (1.822 korban).
Upaya mengurangi angka kekerasan hingga kini sudah dilakukan pemerintah dan berbagai pihak. Bahkan Indonesia memiliki sejumlah undang-undang terkait perlindungan perempuan dari berbagai kekerasan. Mulai dari UU Penghapusan KDRT, Tindak Pidana Perdagangan Orang, hingga UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang diundangkan tahun 2022 lalu.
Pengaduan kasus femisida terlebih femisida-bunuh diri hampir tak pernah dilaporkan ke lembaga hak asasi manusia termasuk Komnas Perempuan, dan pengada layanan.
Sayangnya implementasi dari UU tersebut masih menghadapi berbagai hambatan, terutama lemahnya perspektif aparat penegak hukum. Hingga kini para perempuan korban kekerasan mengalami hambatan dalam mengakses keadilan. Bahkan, UU PKDRT yang telah ada hampir dua dekade, implementasinya masih banyak tantangan. Kasus KDRT, terutama kekerasan terhadap istri, masih menempati rangking tertinggi.
Undang-Undang TPKS yang dinilai sangat progresif juga ternyata belum bisa jadi pamungkas dalam mencegah dan menangani kasus-kasus TPKS. Pemahaman masyarakat dan penegak hukum, tetap menjadi hambatan terbesar dalam implementasi UU TPKS. Di tingkat penegakan hukum tantangan terjadi mulai dari pelaporan kasus, pemeriksaan, penuntutan, hingga putusan.
“Masih banyak tantangan dalam pelaporan kasus kekerasan seksual. Misalnya, sikap aparat penegak hukum yang masih menolak laporan korban dengan menggunakan UU TPKS, dengan berbagai alasan,” ujar Ratna Batara Munti, Koordinator LBH APIK Jawa Barat.
Alasan tersebut selain belum ada sosialisasi, belum ada petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, juga belum tentu jaksa dan hakim akan menerima penggunaan UU TPKS. Dalam praktik di lapangan, saat ini masih ada kantor kepolisian yang menolak laporan kasus TPKS dan mengarahkan ke kepolisian resor lain.
“Jika pun akhirnya ada yang berhasil, pendamping membutuhkan upaya ekstra sebelumnya untuk meyakinkan aparat penegak hukum agar menggunakan UU TPKS dalam menindaklanjuti laporan korban,” kata Ratna.
Tantangan lain UU PTKS, di lapangan masih banyak perkara kekerasan seksual diselesaikan di luar proses peradilan, pihak aparat penegak hukum juga kerap memfasilitasi “damai” dan menghentikan penyidikan dengan alasan keadilan restoratif karena telah diselesaikan secara kekeluargaan, misalnya dengan memfasilitasi perjanjian perdamaian, bahkan ikut membantu mengupayakan pernikahan antara pelaku dengan korban.
Tantangan yang dihadapi sepanjang 2023 diperkirakan masih akan terjadi pada tahun 2024. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, menegaskan sinergi dan kolaborasi dari semua pemangku kepentingan baik di tingkat pusat maupun daerah, sangat dibutuhkan. Upaya membangun kesadaran untuk bersama melindungi perempuan dari berbagai kekerasan, tidak boleh berhenti.