Masyarakat Makin Peka dan Berani Laporkan Kasus Kekerasan
Kekerasan terhadap perempuan dan anak tak kunjung berhenti. Diperlukan langkah bersama menghentikan kekerasan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam berbagai bentuk, baik fisik, psikis, maupun kekerasan seksual yang mewarnai sepanjang tahun 2023, harus menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak. Tumbuhnya kesadaran masyarakat dalam melaporkan kekerasan membuat banyak kasus bisa terungkap dan jumlah laporan meningkat.
Kendati demikian, upaya pencegahan dan perlindungan perempuan dan anak harus terus ditingkatkan karena modus kejahatan yang semakin canggih akibat derasnya perkembangan teknologi informasi. Masyarakat harus juga mewaspadai kekerasan berbasis jender secara daring dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang menyebabkan banyak perempuan dan anak yang menjadi korban.
Selain karena meningkatnya kesadaran masyarakat, tingginya laporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak juga karena dampak dari sosialisasi Dare to Speak Up (Berani Bicara) yang digencarkan Kementerian PPPA sejak tahun 2021.
”Berkali-kali kami sosialisasikan hari berani bicara. Karena kalau tidak berani mengungkap kasus, kasus akan berulang. Seperti kekerasan dalam rumah tangga, sepanjang kita tidak berani mengungkapkannya, kasus akan terus terjadi,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati kepada media, Jumat (5/1/2024).
Pada Konferensi Pers ”Capaian Kementerian PPPA Tahun 2023 dan Resolusi Tahun 2024” di Kantor Kementerian PPPA, Jakarta, selain Menteri PPPA, Pelaksana Harian Sekretaris Kementerian PPPA Titi Eko Rahayu dan para deputi serta staf ahli menteri di Kementerian PPPA juga menyampaikan capaian dan resolusi.
Hadir menyampaikan presentasi Lenny N Rosalin (Deputi Bidang Kesetaraan Gender), Ratna Susianawati (Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan), Nahar (Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak), Pribudiarta Nur Sitepu (Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak), dan Rini Handayani (Staf Ahli Menteri).
Menteri PPPA menyatakan, hingga saat ini sudah banyak penyintas yang berani melaporkan kasus-kasus kekerasan yang terjadi, istri berani melaporkan suaminya yang melakukan KDRT, atau anak-anak juga berani berbicara ketika menjadi korban kekerasan. Sikap berani berbicara dari korban dan masyarakat sangat penting untuk memberikan efek jera kepada para pelaku.
”Kalau bicara isu kekerasan perempuan dan anak, ini adalah fenomena gunung es. Belakangan ini tiada hari tanpa isu kekerasan,” papar Bintang.
Layanan pengaduan
Terkait penanganan kekerasan pada perempuan, Ratna menyatakan, sepanjang tahun 2023 (Januari hingga November 2023) Kementerian PPPA menerima langsung melalui layanan Sahabat Perempuan dan Anak atau SAPA 129 (contact center pengaduan khusus perempuan dan anak) sebanyak 1.290 kasus dengan 1.332 korban.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.090 kasus sudah diselesaikan, sisanya dalam proses. Adapun kasus yang dilaporkan mayoritas adalah KDRT dengan jenis kekerasan fisik, disusul kekerasan berbasis jender lainnya.
Terkait kekerasan pada anak, Nahar menjelaskan, masifnya sosialisasi memengaruhi pada angka kasus yang dilaporkan melalui Layanan SAPA 129 pada tahun 2023. Pada periode Januari-November 2023, terhadap 2.797 kasus kekerasan anak, jumlahnya meningkat jauh dibandingkan dua tahun sebelumnya, yakni 957 kasus (2022) dan 575 kasus (2021).
”Angka kasus di Layanan SAPA 129 naik drastis karena ada stimulus layanan SAPA yang terus dikembangkan, tidak hanya hadir di pusat, tetapi juga di 34 provinsi,” ujar Nahar.
Tak hanya di data SAPA 129, data di Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) periode Januari-November 2023 jumlah kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan juga tinggi, yakni mencapai 15.120 kasus dengan korban terbanyak perempuan, yakni 12.158 orang, dan anak laki 4.691 orang. Kasus terbanyak berupa kekerasan seksual.
”Kita tidak tahu setelah Januari 2024 ini kasus yang terungkap sama dengan tahun 2022 sebanyak 16.106 kasus atau bahkan lebih,” papar Nahar.
Terkait kesetaraan jender, Lenny menyebutkan, hingga tahun 2022 angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) perempuan masih di angka 73,31 atau menunjukkan posisinya masih di bawah laki-laki sebesar 76,73. Rendahnya IPM Perempuan berkontribusi terhadap rendahnya IPM nasional.
Sementara dalam Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan, sejak tahun 2015 TPAK perempuan meningkat sampai angka 66,52, tetapi setelah itu menurun, terakhir tahun 2022 pada angka 53,41.
Mengenai pemenuhan hak anak, Pribudiarta mengungkapkan, hingga tahun 2023 di sejumlah provinsi angka anak di bawah lima tahun yang tidak mendapatkan pengasuhan yang layak cukup tinggi, seperti di Nusa Tenggara Barat. Penyebabnya, antara lain, orangtuanya menjadi pekerja migran.