Mengakhiri Kekerasan di Sekolah Dukung Kesehatan Mental
Kekerasan di sekolah, terutama perundungan, memengaruhi kesehatan mental dan prestasi belajar warga sekolah sehingga harus diatasi serius.
JAKARTA, KOMPAS — Mengakhiri kekerasan di sekolah diyakini dapat menyelamatkan kesehatan mental guna mendukung pembelajaran yang lebih baik. Karena itu, mencegah dan menangani kekerasan di sekolah, terutama perundungan atau bullying, terus menjadi perhatian serius.
Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Chatarina Muliana Girsang, di Jakarta, Minggu (7/1/2023), mengatakan, isu terbanyak yang ditangani adalah perundungan. Kasus ini terutama terjadi di sekolah menengah, selain juga terjadi pada jenjang SD. Selain perundungan (bullying) ada juga kasus kekerasan seksual dan intoleransi.
Saat rapat kerja bersama Komisi X DPR pada akhir tahun lalu, Chatarina menyampaikan kemajuan Kemendikbudristek dalam mengatasi isu perundungan dengan mendorong pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di satuan pendidikan. Hingga awal November 2023, dilaporkan terbentuk 104.870 TPPK. Rincannya adalah 31.801 TPPK pada jenjang PAUD, 46.203 TPPK untuk jenjang SD, 14.431 TPPK untuk jenjang SMP, 6.284 untuk jenjang SMA, 4.626 TPPK untuk jenjang SMK, 541 TPPK untuk jenjang SLB, dan 984 untuk jenjang pendidikan kesetaraan.
Baca Juga: Kasus Perundungan di Sekolah Meningkat Selama 2023
Chatarina memaparkan, mekanisme yang berlaku di Kemendikbudristek dalam menangani kekerasan dan pemulihan bagi korban oleh TPPK atau satuan tugas (satgas) merujuk pada Permendikbudristek Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) khususnya Pasal 39-69. Pertama, laporan dapat disampaikan melalui surat tertulis, telepon, pesan singkat elektronik, dan bentuk pelaporan lain yang memudahkan pelapor. Selanjutnya, laporan kekerasan yang diterima akan ditangani oleh TPPK atau satgas dan memastikan pemulihan melalui alur pemeriksaan, mulai dari pemanggilan dan pengumpulan bukti serta keterangan, penyusunan kesimpulan dan rekomendasi, hingga tindak lanjut laporan dan rekomendasi dari pihak yang berwenang.
Adapun untuk penyusunan kesimpulan dan rekomendasi meliputi sanksi administratif kepada pelaku, pemulihan korban, dan tindak lanjut keberlanjutan layanan pendidikan. Tindak lanjut laporan hasil pemeriksaan dan rekomendasi diserahkan oleh TPPK atau satgas kepada pejabat yang berwenang untuk menerbitkan keputusan. Pemberian sanksi administratif yang diberikan dari peraturan ini tidak mengesampingkan peraturan lain. Adapun terkait pemulihan, perlu dilakukan sejak laporan diterima dan layanan pemulihan difasilitasi oleh pemerintah daerah.
Chatarina menyampaikan, Kemendikbudristek melalui Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) gencar melakukan berbagai program pencegahan perundungan. Sejak tahun 2021 dilakukan program pencegahan perundungan di satuan pendidikan berkolaborasi dengan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) berupa pemberian bimbingan teknis pencegahan perundungan di satuan pendidikan (Program Roots Indonesia); serta membentuk sekitar 71.829 siswa agen perubahan yang tersebar di 489 kabupaten/kota dan 38 provinsi.
Kemudian, akan mengadakan program pengembangan, seperti Program Roots Mandiri melalui Portal Merdeka Mengajar, Pembelajaran Mandiri, serta pemanfaatan platform pembelajaran Program Pencegahan Perundungan (Roots) di laman Puspeka: https://belajarbersama-cerdasberkarakter.kemdikbud.go.id/ yang sampai Juli 2023 telah melayani 76.224 pengguna.
Pengaruhi kondisi mental
Kepala Puspeka Rusprita Putri Utami mengatakan, kekerasan, seperti perundungan, dapat memengaruhi kondisi mental. Dengan kondisi mental yang menurun, tentu pembelajaran menjadi tidak menyenangkan dan sekolah menjadi tempat yang kurang aman serta nyaman bagi seluruh warga sekolah.
”Untuk itulah, sangat penting bagi warga sekolah, khususnya peserta didik, memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk bisa mengelola emosi sehingga bisa menjaga kesehatan mental masing-masing,” ujar Rusprita.
Dampak dari perundungan itu bisa menurunkan prestasi siswa, mereka yang jadi korban belajarnya jadi tidak bisa optimal.
Puspeka Kemendikbudristek dan Unicef Indonesia, ujar Rusprita, memperkuat komitmen pencegahan perundungan di satuan pendidikan. Program Roots Antiperundungan Indonesia juga bertujuan untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, nyaman, dan menyenangkan, bebas dari kekerasan, salah satunya perundungan.
Hasil jajak pendapat Unicef tahun 2019 melalui U-Report terhadap 2.777 anak muda Indonesia berusia 14-24 tahun, terdapat 45 persen di antara mereka mengalami perundungan daring. Berdasarkan data, di antara negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), rata-rata terdapat 23 persen siswa usia sekolah yang menyatakan bahwa mereka mengalami perundungan setidaknya beberapa kali dalam satu bulan terakhir.
Pada kegiatan Roots Day Nasional tahun 2023, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek Iwan Syahril menyampaikan, isu perundungan merupakan permasalahan yang sangat serius dan harus ditangani secara bersama-sama. Diharapkan semakin banyak sekolah yang terinspirasi untuk menerapkan Roots sebagai program bersama dalam mengatasi perundungan. Dengan demikian, peserta didik dapat belajar dan beraktivitas dengan baik di sekolah.
”Program Roots ini menjadi salah satu strategi paling efektif dan sudah terbukti sangat baik dalam menangani perundungan pada ekosistem pendidikan di Indonesia,” ujar Iwan.
Baca Juga: Perundungan di Sekolah Perburuk Prestasi Belajar Siswa
Psikolog anak, Grace Eugenia Sameve, mengatakan, perundungan atau bullying bisa menjadi salah satu faktor seseorang mengalami stres atau kondisi yang tidak optimal sehingga dapat menurunkan kesehatan mentalnya, baik jangka pendek maupun jangka panjang. ”Apa pun jenis bullying-nya, perundungan itu tidak dapat dibenarkan. Jadi, lebih baik kita mencegah terjadinya perundungan daripada mengobati,” kata Grace.
Libatkan siswa
Lorenza, siswi SMKN 1 Kota Sidoarjo, Jawa Timur, menyatakan, perundungan adalah isu yang sangat serius. Hal itu lantaran perundungan berdampak menurunkan prestasi, terutama bagi korban. ”Dampak dari perundungan itu bisa menurunkan prestasi siswa. Mereka yang menjadi korban belajarnya jadi tidak bisa optimal,” kata Lorenza.
Sementara itu, Natalia Demetouw, Siswi SMPN 2 Depapre, Kabupaten Jayapura, Papua, mengatakan pernah menjadi korban perundungan. Kini, dia sangat antusias menjadi seorang agen perubahan.
”Saya bangga bisa mengikuti Roots karena kini saya bisa ikut menyebarkan perilaku-perilaku positif sehingga dapat membuat orang-orang di sekitar merasa nyaman dan tidak menjadi pelaku perundungan,” tutur Natalia.
Buhari Ilman, siswa SMAN 1 Permata, Kabupaten Bener Meriah, Aceh, mengatakan, perundungan terjadi tanpa memandang jender. Siswa laki-laki ataupun perempuan sama-sama berpotensi menjadi pelaku ataupun korban perundungan.
”Di Roots kami belajar tentang kesetaraan jender karena sebenarnya korban perundungan itu bisa juga laki-laki, bukan hanya perempuan. Yang bisa kita lakukan adalah berusaha menyebarkan perilaku-perilaku positif, saling mengingatkan, dan menghargai satu sama lain,” ujar Buhari.
Erni, fasilitator guru dari SMAN 14 Kabupaten Pandeglang, Banten, mengatakan, dirinya membantu siswa agen perubahan untuk memiliki rasa percaya diri dalam menjalankan perannya demi menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman bebas dari kekerasan. ”Supaya tercipta lingkungan pembelajaran yang aman dan nyaman, kita harus sangat serius menangani persoalan perundungan ini. Sekolah kami akhirnya membuat peraturan yang lebih mengakomodasi kebutuhan siswa agar lebih nyaman belajar,” papar Erni.