Imaji Harapan dari Jeritan Penderitaan Rakyat
”Ratu Adil” menjadi simbol pengharapan masyarakat Jawa menanti sosok yang membebaskan rakyat dari penderitaan.
Sejarah manusia tidak pernah lepas dari penderitaan rakyat jelata. Namun, derita tak selamanya hanya memendam lara. Betapa pun gelapnya penderitaan, perlawanan wong cilik tetap menggeliat lewat imaji yang menyalakan harapan.
Budayawan dan wartawan Sindhunata menangkap kisah perlawanan wong cilik dan cara mereka memupuk harapan di lorong penderitaan. Ia merefleksikannya dalam disertasinya saat menjalani studi doktoral di Sekolah Tinggi Filsafat Jesuit (Hochschule für Philosophie, Philosophische Fakultät) di Muenchen, Jerman, pada 1992.
Tiga dekade berselang, menjelang Pemilu 2024, disertasi itu dibukukan penerbit Gramedia Pustaka Utama dalam bahasa Indonesia berjudul Ratu Adil: Ramalan Jayabaya & Sejarah Perlawanan Wong Cilik. Buku ini bukan buku ilmiah biasa.
Untuk menghidupkan tulisannya, Sindhunata menggandeng pelukis asal Yogyakarta, Budi Ubrux. Jadilah buku itu menjadi upaya semiotika tulis dan rupa. Sebuah buku ilmiah bernuansa seni rupa.
Ketika Sindhunata sibuk mengerjakan teks bukunya, Ubrux juga larut dalam proses kreatifnya. Lebih dari 40 drawing dan delapan lukisan yang dihasilkan selama setahun. Semua karyanya menjadi ilustrasi dalam buku tersebut.
Karya-karya Ubrux menjadi bahasa visual yang merefleksikan perlawanan dan harapan rakyat kecil. Hal ini sekaligus memantik pertanyaan, apakah ”Ratu Adil” itu memang senyata-nyata ada atau sebatas imaji penantian sosok yang membebaskan rakyat dari penderitaan dan ketidakadilan.
Baca juga: Belajar dari Wong Cilik Mendamba ”Ratu Adil”
”Ratu Adil adalah simbol pengharapan. Dia seperti mimpi. Meski mungkin tidak akan pernah tercapai, rakyat selalu memelihara harapan itu dalam berbagai imaji,” ujarnya di sela-sela Pembukaan Pameran dan Peluncuran Buku Ratu Adil, di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (11/1/2024).
Dengan gaya realis impresionis, karya-karya Ubrux memotret perubahan zaman, harapan, perlawanan, serta pergulatan batin dan nasib wong cilik tentang ”Ratu Adil”. Lukisan berjudul ”Kelahiran Marhaenisme”, misalnya, menggambarkan sosok Bung Karno menuntun sepeda di area persawahan.
Di sekitarnya terdapat sejumlah petani sedang memanen padi. Ada juga petani lain yang menjual hasil panen buah-buahan seperti semangka dan mangga.
Lukisan ini adalah ilustrasi perjumpaan Bung Karno dengan petani di Bandung, Jawa Barat, pada masa penjajahan. Petani bernama Marhaen itu mempunyai lahan dan alat produksi, tetapi hidup miskin karena penjajahan. Imajinasi Ubrux ”menghadirkan” gambar bocah laki-laki duduk di boncengan sepeda yang dituntun Bung Karno tersebut.
”Lukisan ini paling lama pengerjaannya, hampir dua bulan. Gambar anak laki-laki itu saya imajinasikan sebagai simbol pengharapan bagi generasi penerus,” ucapnya.
Ubrux menyebutkan beberapa karya yang paling mengesankan baginya dalam pameran itu, yaitu lukisan bertema Samin berjudul ”Melawan dengan Bertahan”, lukisan bertema Ayam Jago dengan judul ”Mengelus-elus Harapan”, serta drawing berjudul ”Feodalisme Mubral-Mubrul”.
Dengan gaya realis impresionis, karya-karya Ubrux memotret perubahan zaman, harapan, perlawanan, serta pergulatan batin dan nasib wong cilik tentang ”Ratu Adil”.
Lukisan ”Melawan dengan Bertahan” menggambarkan belasan laki-laki suku Samin beserta tumpukan berbagai hasil pertanian, seperti padi dan kelapa. Lukisan ini menginterpretasikan perlawanan orang-orang Samin terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Sementara lukisan ”Mengelus-elus Harapan” mendeskripsikan harapan wong cilik yang disimbolkan oleh ayam jago. ”Jago itu simbol pertarungan sekaligus harapan rakyat di desa-desa,” ucapnya.
Adapun drawing ”Feodalisme Mubral-Mbarul” menjadi salah satu karya yang masih sangat relevan dengan kondisi sekarang. Karya ini menggambarkan kaum priayi yang sedang berpesta dan mabuk-mabukan di istana. Di luar istana, rakyat meratapi penderitaan di gubuk-gubuk reot.
Menginterpretasikan buku atau karya ilmiah ke dalam lukisan menjadi pengalaman perdana bagi Ubrux. Hal ini menjadi tantangan tersendiri baginya agar karyanya tetap ”dekat” dengan narasi buku yang memuat berbagai topik tersebut.
”Saya memang diberi kebebasan berimajinasi oleh Romo Sindhunata. Namun, saya harus tetap menjaga agar setiap gambar terkait dengan bukunya. Pengalaman ini memperkaya proses saya dalam berkarya,” ucapnya.
Sindhunata menyampaikan, ketika berencana menerbitkan disertasinya, ia meminta Ubrux melukis untuk bukunya. Lukisannya bukan sekadar sebagai ilustrasi, tetapi diharapkan semakin menggugah imajinasi atas data historis. Bahkan, kalau perlu, menjadi interpretasi terhadap data tersebut.
Sebelum pembukaan pameran tersebut, Sindhunata telah membuat dua tulisan tentang ”Ratu Adil”. Kedua tulisan berjudul ”Politik Ratu Adil” dan ”Amanat Ratu Adil” itu diterbitkan di Kompas pada Desember 2023 dan Januari 2024.
”Saya tidak tahu situasi politik saat ini dan tidak bisa meramalkannya. Buku ini terbit pada saat kita sungguh mengharapkan datangnya Ratu Adil yang begitu didambakan rakyat,” katanya.
Sindhunata menuturkan, salah satu visi ”Ratu Adil” yang ia refleksikan adalah bahwa sejarah jangan terus memaksa ke depan, tapi juga harus menengok ke belakang agar peduli terhadap penderitaan rakyat. Ia mencontohkan gerakan reformasi pada 25 tahun lalu yang ”meledak” karena penderitaan rakyat pada masa itu.
”Pilpres yang terselenggara saat ini karena adanya reformasi. Reformasi adalah ibu yang melahirkan demokrasi. Kalau kita mengkhianati reformasi, itu sama saja kita membunuh ibu kita sendiri. Membunuh ibu itu aib, laknat, dan tidak patut,” ucapnya.
Menurut Sindhunata, kekuasaan tidak bisa terus lestari. Kekuasaan dalam konsep Jawa berbeda dengan pandangan machiavellis. Kekuasaan machiavellis boleh lupa akan apa pun asal kekuasaan itu bisa makin kuat dan langgeng. Sementara konsep Jawa mengingatkan tentang penyakit kekuasaan, yaitu lupa.
”Jangan lupa, kekuasaan ada batas waktunya. Kalau tidak eling lan waspada, kekuasaan akan membusukkan dan menghancurkan dirinya sendiri,” katanya.
Kurator pameran ”Ratu Adil”, Agus Noor, menyebutkan, karya-karya Ubrux dalam pameran itu menjadi proses kreatif sang pelukis setelah periode ”koran-koran” yang sudah sangat identik dengan karakter lukisan-lukisannya. Hal ini patut menjadi catatan khusus karena dibutuhkan keberanian untuk keluar dari kerutinan gagasan dalam berkarya.
”Suasana yang realis mistis terasa kuat dalam beberapa karyanya. Seakan menjadi bahasa visual yang diungkapkannya untuk mencapai kesan ambiguitas, apakah Ratu Adil itu sesuatu yang realis sosiologis atau imaji seputar perlawanan dari harapan rakyat,” katanya.
Agus menambahkan, hal menarik lainnya adalah imaji ayam jago yang sering muncul dalam karya-karya Ubrux kali ini. Imaji itu terasa menggugah ketika mengaitkan antara harapan akan adanya ”Ratu Adil” dengan situasi politik hari-hari ini.
Pameran lukisan ”Ratu Adil” berlangsung hingga 18 Januari 2024. Bedah buku Ratu Adil: Ramalan Jayabaya & Sejarah Perlawanan Wong Cilik akan digelar di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (12/1/2024) pukul 16.00.
Menurut General Manager Bentara Budaya Ilham Khoiri, perspektif ”Ratu Adil” juga relevan untuk meneropong kondisi Indonesia sekarang. Saat ini kita memang sedang unhappy lantaran belum menemukan hero bagi bangsa. Namun, jangan terlalu murung karena kita masih dapat menemukan para hero dalam sejarah khazanah perjalanan bangsa.
Baca juga: Amanat Ratu Adil
”Mereka adalah para pahlawan, perintis, dan pendiri bangsa yang memiliki mimpi besar tentang Indonesia dan bekerja keras untuk mewujudkannya. Dengan terus menyadari dan menyerap spirit mereka, kita tidak akan kehilangan harapan akan masa depan bangsa,” katanya.
Kolaborasi Sindhunata dan Ubrux tak lepas dari peran Telly Liando, pencinta seni, kolektor, dan pemilik Ohana Gallery di Tangerang, Banten, yang menyiapkan studio khusus bagi Ubrux untuk menggarap lukisan dan drawing-drawing-nya. Karya-karya tersebut akan disimpan di Ohana Gallery.
”Karya dalam pameran ini digarap berdasarkan penelitian sejarah yang dilakukan oleh Romo Sindhunata saat bersekolah di Jerman. Lukisan-lukisan ini menghidupkan tulisan Romo Sindhunata,” ujarnya.