Teknologi Polimer Atasi Masalah Sampah Plastik
Teknologi polimer dapat diterapkan untuk mengatasi persoalan sampah plastik di masyarakat.
Teknologi polimer memiliki potensi sangat besar untuk mengatasi persoalan sampah plastik di masyarakat. Intervensi teknologi polimer bisa diterapkan pada aspek preventif melalui pembatasan serta aspek kuratif lewat penanganan limbah.
Sampah plastik merupakan salah satu sumber polusi yang cukup besar di masyarakat. Masalah tersebut juga terjadi di Indonesia. Bahkan, volume sampah plastik yang ada di Indonesia merupakan yang paling besar kedua di dunia setelah China.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2022 menunjukkan, sebanyak 18,12 persen dari total timbulan sampah di Indonesia yang mencapai 69,2 juta ton merupakan sampah plastik.
Hal itu berarti ada sekitar 12,5 juta ton sampah plastik di Indonesia. Dari semua sampah plastik yang ada di masyarakat, masih ada 39,4 persen sampah yang tidak terkelola (Kompas.id, 15/6/2023).
Guru Besar Bidang Biologi Konservasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia Jatna Supriatna dalam Sidang Terbuka Dies Natalis Ke-74 Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat, Jumat (2/2/2024), mengatakan, sampah plastik yang tak terkelola berpotensi mencemari lautan.
Mengutip data di Filipina, jumlah plastik di laut hampir sama besarnya dengan ikan yang ditangkap oleh nelayan. Dari hasil tangkapan nelayan di Filipina, sekitar 60 persen merupakan ikan dan 40 persen merupakan plastik.
”Jangan sampai laut kita akan lebih dipenuhi dengan plastik dibandingkan dengan ikan. Ini harus jadi perhatian kita bersama,” ujarnya.
Plastik akan menjadi sumber persoalan bagi manusia, apalagi ketika sudah menjadi nanoplastik. Plastik yang hanyut di laut akan berubah jadi mikroplastik kemudian dimakan oleh ikan yang juga kita konsumsi.
Sebelumnya Guru Besar Tetap Bidang Teknologi Polimer Departemen Teknik Metalurgi dan Material Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI) Mochamad Chalid saat menyampaikan pidato pengukuhan sebagai guru besar FTUI pada 20 September 2023 mengatakan, kehidupan warga kini tak terlepas dari plastik. Berbagai perangkat yang dipakai warga sehari-hari terbuat dari plastik.
Baca juga: Butuh Aksi Nyata Industri dalam Pengurangan Sampah Plastik
Pada dasarnya, plastik terbuat dari bahan polimer yang ditambahkan dengan bahan lainnya. Plastik memiliki sifat khas, yakni berberat jenis rendah sehingga ringan. Plastik pun mudah dimodifikasi sehingga bisa diaplikasikan menjadi berbagai macam bentuk.
Jangan sampai laut kita akan lebih dipenuhi dengan plastik dibandingkan dengan ikan. Ini harus jadi perhatian kita bersama. Plastik akan jadi sumber masalah bagi manusia, apalagi ketika sudah menjadi nanoplastik.
Penggunaan plastik pun terus meningkat di dunia. Pada 2017 tercatat konsumsi plastik di Jerman mencapai 95,8 kilogram per orang per tahun. Sementara konsumsi plastik di negara lain seperti Jepang sebesar 69,2 kilogram per orang per tahun dan Vietnam sebanyak 42,1 kilogram per orang per tahun.
Di Indonesia, konsumsi plastik lebih rendah, sekitar 19,8 kilogram per orang per tahun. Oleh karena itu, tingkat konsumsi plastik di Indonesia diperkirakan masih akan bertambah.
”Terkait plastik ini sebenarnya tidak salah pada bahannya, tetapi pada manusianya. Persoalan sampah plastik akan bisa teratasi apabila semua plastik mampu didaur ulang,” ungkapnya.
Teknologi polimer
Chalid menyampaikan, teknologi polimer berperan besar mewujudkan tata kelola sampah plastik lebih baik di masyarakat. Teknologi polimer tak hanya bisa dipakai di sisi hilir sebagai upaya kuratif menangani sampah plastik, tetapi juga di sisi hulu sebagai langkah preventif dengan membatasi penggunaan plastik.
Pada lingkup preventif, pembatasan konsumsi plastik bisa dilakukan dengan menghasilkan inovasi produk yang mudah didaur ulang. Pada produk yang dihasilkan juga dapat memanfaatkan sampah plastik sebagai bahan baku utama ataupun bahan tambahan dari produk tersebut.
Bekisting ramah lingkungan
Besarnya masalah limbah plastik di masyarakat mendorong peneliti dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia untuk mengelola limbah plastik jadi produk ramah lingkungan. Produk yang dikembangkan berupa balok gelagar atau bekisting yang terbuat dari limbah plastik polimer high density polyethylene (HDPE).
Inovasi tersebut kini telah dikembangkan dalam bentuk purwarupa (prototype). Bekisting merupakan cetakan sementara yang digunakan untuk menahan beban ketika beton dituang atau dibentuk. Umumnya, proses ini juga sering disebut sebagai pengecoran.
Karena fungsinya hanya sementara, bekisting akan dilepas dan dibongkar setelah beton yang dibentuk telah mencapai kekuatan yang diinginkan. Bekisting yang sudah dibongkar biasanya akan dibuang dan berakhir jadi limbah. Bekisting yang dibuat dengan material konvensional akan memakai kayu, tripleks, atau kasau.
Baca juga: Peliknya Pengelolaan Sampah Kemasan Plastik
Dosen dan peneliti di Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Nuraziz Handika, yang juga turut mengembangkan bekisting ramah lingkungan dari polimer HDPE menjelaskan, material konvensional yang selama ini digunakan sebagai material bekisting akan berakhir jadi limbah konstruksi.
Sisa limbah konstruksi dari bekisting kayu menyumbang 5-10 persen untuk limbah konstruksi perumahan dan 15 persen untuk limbah konstruksi gedung.
”Jadi, lewat inovasi ini kami seperti sekali mendayung tiga pulau terlampaui. Di satu sisi kita membantu mengurangi limbah bekisting konvensional dan di sisi lain kita menghasilkan plastik polimer HDPE agar bisa dipakai berulang kali serta memanfaatkan limbah HDPE dari produk rumah tangga dan industri,” tuturnya.
Plastik berbahan polimer HDPE merupakan jenis plastik yang biasanya digunakan untuk kemasan bentuk botol, seperti botol susu, botol detergen, botol sampo, dan botol minyak. Bahan plastik jenis HDPE lebih kuat dan tidak menyerap air sehingga dapat dimanfaatkan di bidang konstruksi.
Nuraziz menjelaskan, berdasarkan perhitungan teoretis, kapasitas dari balok bekisting yang dikembangkan ini mencapai 1 ton. Sejumlah pengujian pun telah dilakukan.
Selain pengujian eksperimental, pemodelan simulasi numerik juga dilakukan. Dalam pemodelan simulasi numerik, metode yang digunakan mulai dari metode elemen hingga untuk melakukan validasi properti dari material.
”Dengan melakukan pemodelan material bekisting polimer, kita dapat memprediksi bagaimana bekisting polimer akan berperilaku saat diberi beban, baik itu beban tarik maupun beban lentur,” ujarnya.
Menurut associate professor di FTUI, Sotya Astutiningsih, plastik HDPE digunakan sebagai pilihan untuk material bekisting ramah lingkungan karena sifatnya dapat didaur ulang.
”Tidak seperti material bekisting konvensional, misalnya kayu atau plywood, bekisting berbahan HDPE ini dapat didaur ulang kembali menjadi bekisting polimer HDPE siap pakai,” ungkapnya.
Baca juga: Menuju Pengelolaan Sampah yang Lebih Baik
Pengembangan pun akan terus dilakukan agar inovasi material alternatif ramah lingkungan ini bisa dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat dan pelaku industri konstruksi, terutama industri konstruksi beton.
Inovasi ini sekaligus turut mendukung tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya tujuan ketujuh terkait energi bersih dan terjangkau, tujuan kesebelas terkait kota dan permukiman yang berkelanjutan, serta tujuan kedua belas terkait konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab.