Keadilan Layanan Kesehatan Masih Jadi Pekerjaan Rumah
Tujuan program JKN untuk memastikan akses kesehatan yang bermutu dan merata masih belum terwujud.
JAKARTA, KOMPAS — Perbaikan akses dan keadilan layanan jadi tujuan yang ingin dicapai dari program Jaminan Kesehatan Nasional yang dimulai sejak 1 Januari 2014. Namun, setelah 10 tahun program itu berjalan, ekualitas atau keadilan belum terwujud. Tugas besar itu mesti disadari semua pihak terkait, mulai dari badan penyelenggara jaminan sosial kesehatan, pemerintah, hingga masyarakat.
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Dedi Supratman, di Jakarta, Senin (12/2/2024), mengatakan, mutu layanan belum merata di Indonesia jadi salah satu pekerjaan rumah yang belum teratasi dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Padahal, tujuan program itu adalah memastikan semua penduduk memiliki akses kesehatan bermutu dan berkualitas.
”Jadi, bayangkan saja, orang-orang yang memiliki kartu JKN lebih dari 95 persen penduduk di Indonesia. Namun, persoalannya tidak semua bisa mengakses layanan dengan kualitas sama. Masyarakat yang di pelosok tidak bisa menikmati layanan secara utuh seperti yang ada di Jakarta, sementara mereka terdaftar sebagai peserta yang sama dengan jumlah iuran yang sama,” katanya.
Kesenjangan layanan pada peserta JKN di Indonesia ditunjukkan dari Laporan Hasil Penelitian Evaluasi Kebijakan JKN di 13 Provinsi Indonesia oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (PKMK FKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2020. Adapun 13 provinsi itu meliputi, antara lain, Bengkulu, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, Sumatera Barat, Papua, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta.
Baca juga: Membenahi Arsitektur Kesehatan
Dalam penelitian tersebut ditemukan ada perbedaan proporsi peserta JKN sakit yang mengakses layanan kesehatan antarprovinsi. Provinsi seperti Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Tengah, dan Jawa Timur memiliki proporsi tertinggi dibanding daerah lain.
Di DI Yogyakarta, misalnya, terdapat 113,73 peserta sakit per 1.000 peserta. Sementara itu, proporsi peserta sakit yang mengakses layanan di Papua hanya 21,6 peserta per 1.000 pada tahun yang sama.
Data tersebut dapat mengindikasikan dua kondisi, yakni peserta di provinsi seperti Papua lebih sedikit mengalami kesakitan atau yang dinilai lebih memungkinkan, tidak banyak peserta JKN di Papua yang dapat mengakses layanan walaupun menderita sakit. Dari data lain, justru menunjukkan kondisi sebaliknya.
Merujuk dari data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada 2020, selisih iuran dan beban layanan di DI Yogyakarta menunjukkan angka negatif dari tahun 2016-2018.
Sementara di Kabupaten Malaka, NTT, justru menunjukkan angka positif, yakni iuran yang diterima lebih besar daripada beban pelayanan yang dikeluarkan. Hal itu bisa terjadi karena masyarakat di Kabupaten Malaka yang membutuhkan pelayanan tidak dapat memanfaatkan JKN karena keterbatasan akses.
Kondisi itu justru menunjukkan fenomena gotong royong terbalik yakni masyarakat di daerah terpencil memberikan subsidi kepada masyarakat di perkotaan. Jangan sampai masyarakat sudah menjadi peserta JKN, tetapi tidak bisa mengaksesnya karena tidak ada layanan kesehatan. Pemerataan akses ini yang harus jadi perhatian bersama,” katanya.
Kondisi itu justru menunjukkan fenomena gotong royong terbalik, yakni masyarakat di daerah terpencil memberikan subsidi kepada masyarakat di perkotaan.
Kompensasi
Dedi menuturkan, disparitas dalam akses layanan kesehatan seharusnya bisa diatasi untuk sementara waktu dengan pemberian kompensasi. Dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) disebutkan BPJS Kesehatan bisa mengembangkan pola pembiayaan pelayanan kesehatan dalam rangka pemberian kompensasi dan pemenuhan layanan pada daerah dengan fasilitas kesehatan yang belum memenuhi syarat.
Pola pembiayaan itu, misalnya dengan pembiayaan untuk pelayanan kesehatan bergerak, pelayanan kesehatan berbasis telemedicine atau layanan kesehatan jarak jauh, ataupun pengembangan layanan lainnya.
Baca juga: Teknologi Menutup ”Jurang” Disparitas Layanan Kesehatan
Dengan begitu, peserta di daerah yang belum memiliki fasilitas kesehatan yang memadai tetap mendapatkan pelayanan. Selain itu, adanya dukungan dari pemerintah daerah untuk menanggung akomodasi dari peserta yang harus menjalani pelayanan rujukan di fasilitas kesehatan yang berada di luar daerah juga diperlukan.
”Hal ini yang harus kita pikirkan bersama bahwa target cakupan kesehatan semesta atau UHC itu bukan sekadar kepesertaan, melainkan juga pelayanan. Pelayanan itu harus merata dan berkualitas untuk semua peserta sehingga program JKN bisa lebih maju,” tutur Dedi.
Tarif
Secara terpisah, Ketua Kompartemen Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Daniel Budi Wibowo mengatakan, perkembangan rumah sakit semakin pesat di era JKN.
Jumlah rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan pun meningkat. Setidaknya ada 3.120 rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan pada 2023. Hal itu meningkat lebih dari 85 persen dibanding 2014. Dari jumlah itu, kerja sama paling banyak dengan rumah sakit swasta.
Meski demikian, tarif layanan yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan kepada rumah sakit dinilai masih belum sesuai dengan kenaikan biaya operasional layanan kesehatan. Padahal, jumlah peserta yang mengakses layanan kesehatan semakin besar.
Menurut dia, kenaikan tarif INA-CBGs yang diterapkan masih belum sesuai. Tarif INA-CBGs merupakan tarif yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan kepada rumah sakit dengan sistem paket berdasarkan jenis penyakit.
”Kenaikan tarif INA-CBGs itu masih jauh dari kenaikan inflasi, biaya investasi peralatan, dan biaya operasional yang meningkat. Banyak rumah sakit yang sebenarnya tertekan, tetapi mereka tidak berani melepas bekerja sama dengan BPJS Kesehatan karena sumber pasien sekarang terbesar dari JKN. Akibatnya, rumah sakit sulit meningkatkan kualitas layanan,” tutur Daniel.
Saat ini, tingkat keterisian rumah sakit untuk peserta JKN bisa mencapai lebih dari 95 persen. Keterisian tersebut baik pada rumah sakit pemerintah maupun rumah sakit swasta.
Sebelumnya, Direktur Utama RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Iwan Dakota menyampaikan, besaran tarif INA-CBGs belum sesuai untuk sejumlah layanan penyakit jantung. Banyak tindakan untuk layanan jantung yang tarifnya belum sesuai, sementara teknologi kedokteran yang semakin maju telah tersedia.
Apabila layanan tersebut tidak dapat ditanggung dalam program JKN-KIS, pemanfaatannya pun menjadi terbatas. Hal itu akhirnya membuat rumah sakit melakukan subsidi untuk tindakan-tindakan yang tidak ditanggung oleh program JKN-KIS.
Namun, solusi ini dinilai bukan solusi yang berkelanjutan karena dapat mengganggu arus keuangan rumah sakit. ”Subsidi yang kami keluarkan untuk pelayanan pasien per tahun sekitar Rp 110 miliar sampai Rp 160 miliar per tahun,” ujar Iwan (Kompas.id, 29/8/2023).
Baca juga: Disparitas Layanan Menjadi Kendala
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Azhar Jaya mengatakan, tarif INA-CBGs ditinjau secara berkala. Perubahan pun akan dilakukan berdasarkan hasil penilaian dari para pakar.
”Tarif INA-CBGs akan mengalami perubahan secara berkala sehingga tidak mungkin kita membiarkan penyedia layanan kesehatan merugi. Tarif yang ada saat ini juga tetap memberi ruang untuk rumah sakit mendapatkan keuntungan. Indikatornya, banyak rumah sakit swasta yang tetap bekerja sama dengan BPJS (Kesehatan),” katanya.
Terkait dengan upaya peningkatan kualitas layanan kesehatan, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menuturkan, upaya kredensial serta akreditasi kepada fasilitas kesehatan jadi upaya memastikan layanan kesehatan bagi peserta JKN terjamin. Tiap fasilitas kesehatan didorong memenuhi janji layanan JKN sebagai komitmen untuk memberikan layanan yang sesuai bagi peserta.
Janji layanan itu meliputi, antara lain, memberikan pelayanan tanpa biaya tambahan di luar ketentuan, tidak melakukan pembatasan hari rawat pasien sesuai indikasi medis, memberikan pelayanan obat yang dibutuhkan dan tidak membebankan peserta mencari obat jika terdapat kekosongan, serta melayani peserta dengan ramah tanpa diskriminasi.
”Janji ini berlaku untuk seluruh fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Kerja sama dengan rumah sakit harus bagus. Kita juga sekarang sudah memberikan down payment atau uang muka sehingga cash flow (arus kas) rumah sakit bisa lebih terjaga,” katanya.