Berhenti merokok terbukti efektif meningkatkan angka harapan hidup secara signifikan.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perokok usia 40 hingga 79 tahun memiliki risiko kematian hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah merokok. Artinya, rata-rata mereka kehilangan 12 hingga 13 tahun kehidupan. Sebaliknya, berhenti merokok terbukti efektif dalam mengurangi risiko kematian, dan orang-orang dapat memperoleh manfaatnya dengan sangat cepat.
Sebuah studi yang dilakukan oleh para peneliti Universitas Toronto di Unity Health Toronto ini diterbitkan di jurnal NEJM Evidence pada Kamis (8/2/2024). Eo Rin Cho, dari Centre for Global Health Research, Unity Health, and Dalla Lana School of Public Health, Toronto, menjadi penulis pertama kajian.
Penelitian menunjukkan bahwa perokok yang berhenti merokok sebelum usia 40 tahun dapat berharap untuk hidup hampir sepanjang hidup mereka yang tidak pernah merokok. Mereka yang berhenti merokok pada usia berapa pun hampir mencapai tingkat kelangsungan hidup orang yang tidak pernah merokok 10 tahun setelah berhenti, dan sekitar separuh manfaat tersebut diperoleh hanya dalam waktu tiga tahun.
”Berhenti merokok sangatlah efektif dalam mengurangi risiko kematian, dan orang-orang dapat memperoleh manfaatnya dengan sangat cepat,” kata Prabhat Jha, profesor kesehatan masyarakat di Centre for Global Health Research at Unity Health Toronto, yang menjadi peneliti senior dalam laporan ini.
Studi observasional ini melibatkan 1,48 juta orang dewasa di empat negara, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Norwegia. Setiap peserta diikuti perjalanan kesehatannya selama 15 tahun.
Berhenti merokok pada usia berapa pun dikaitkan dengan kelangsungan hidup yang lebih lama, dan bahkan mereka yang berhenti merokok kurang dari tiga tahun memperoleh harapan hidup hingga enam tahun.
Di antara 1,48 juta orang dewasa yang dipantau selama 15 tahun, terjadi 122.697 kematian. Jika disesuaikan dengan usia, pendidikan, penggunaan alkohol, dan obesitas, perokok memiliki rasio bahaya kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah merokok, yaitu 2,8 untuk perempuan dan 2,7 untuk laki-laki.
Analisis data menunjukkan, perokok berusia antara 40 dan 79 tahun memiliki risiko kematian hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah merokok, yang berarti rata-rata mereka kehilangan 12 hingga 13 tahun kehidupan.
Perokok yang telah berhenti merokok mengalami penurunan risiko kematian hingga 1,3 kali lipat atau 30 persen lebih tinggi daripada mereka yang tidak pernah merokok. Berhenti merokok pada usia berapa pun dikaitkan dengan kelangsungan hidup yang lebih lama, dan bahkan mereka yang berhenti merokok kurang dari tiga tahun memperoleh harapan hidup hingga enam tahun.
”Banyak orang yang menganggap sudah terlambat untuk berhenti merokok, apalagi di usia paruh baya,” kata Jha. Namun, hasil ini bertentangan dengan pemikiran tersebut. Tidak ada kata terlambat, dampaknya cepat dan orang (bekas perokok) dapat mengurangi risiko berbagai penyakit utama sehingga kualitas hidup lebih lama dan lebih baik.”
Para peneliti menemukan bahwa berhenti merokok mengurangi risiko kematian, khususnya yang disebabkan penyakit pembuluh darah dan kanker. Bekas perokok juga mengalami penurunan risiko kematian akibat penyakit pernapasan, tetapi sedikit berkurang, kemungkinan besar disebabkan oleh kerusakan paru-paru yang tersisa.
Saat ini terdapat sekitar 60 juta perokok di empat negara yang terlibat dalam penelitian ini, dan lebih dari 1 miliar perokok di seluruh dunia. Tingkat merokok global telah menurun lebih dari 25 persen sejak tahun 1990, tetapi tembakau masih menjadi penyebab utama kematian yang dapat dicegah.
Jha mengatakan, temuan ini harus menambah urgensi upaya pemerintah untuk mendukung masyarakat yang ingin berhenti merokok. ”Membantu perokok berhenti merokok adalah salah satu cara paling efektif untuk meningkatkan kesehatan secara substansial. Dan kita tahu bagaimana melakukannya, dengan menaikkan pajak rokok dan meningkatkan dukungan untuk berhenti merokok,” ujarnya.
Banyak negara lain dapat menurunkan tingkat merokok dengan menaikkan pajak. Adapun dukungan penghentian dapat mencakup pedoman klinis dan sumber daya pasien, seperti saluran bantuan, tetapi juga pendekatan sistem kesehatan secara keseluruhan.
”Ketika perokok berinteraksi dengan sistem layanan kesehatan dengan cara apa pun, dokter dan profesional kesehatan dapat mendorong mereka untuk berhenti, dengan menunjukkan betapa efektifnya berhenti merokok,” kata Jha.
Hal ini dapat dilakukan dengan kepedulian dan tanpa penilaian atau stigma karena menyadari bahwa rokok direkayasa untuk menimbulkan kecanduan yang tinggi.
Perokok Indonesia meningkat
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam laporan terbarunya yang dikeluarkan pada Selasa (16/1/2024) menyebutkan, tren konsumsi rokok secara global terus mengalami penurunan dengan data tahun 2022 sekitar 1 dari 5 orang dewasa di seluruh dunia mengonsumsi tembakau dibandingkan dengan 1 dari 3 orang pada tahun 2000. Meski demikian, Indonesia masih mengalami tren peningkatan penggunaan tembakau, terutama karena masih bertambahnya perokok baru di kalangan anak dan remaja.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa 150 negara berhasil mengurangi penggunaan tembakau. Brasil dan Belanda menunjukkan penurunan konsumsi tembakau paling tinggi melalui peraturan, pajak yang tinggi, dan langkah-langkah pengendalian tembakau lain. Brasil mengalami penurunan relatif sebesar 35 persen sejak tahun 2010 dan Belanda hampir mencapai target 30 persen.
Laporan WHO ini menyebutkan, prevalensi konsumsi tembakau penduduk Indonesia di atas 15 tahun pada tahun 2022 mencapai 36,5 persen. Ini berarti 1 dari 3 orang dewasa di Indonesia merokok.
Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, prevalensi merokok penduduk di atas 15 tahun di Indonesia pada tahun 2021 sebesar 28,96 persen, tahun 2022 sebesar 28,26 persen, dan tahun 2023 sebesar 28,62 persen.
Masih menurut data BPS, provinsi dengan persentase perokok paling banyak pada tahun 2023 adalah Lampung, yang mencapai 34,08 persen, disusul Nusa Tenggara Barat sebesar 32,79 persen, dan Jawa Barat sebesar 32,78 persen.