Tidak Cukup Sekadar Menjadi Peserta JKN
Peserta JKN di daerah terpencil, perbatasan, atau kepulauan masih kesulitan untuk mengakses layanan kesehatan.
Pintu utama Puskesmas Baun di Kelurahan Teunbaun, Kecamatan Amarasi Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, tertutup rapat. Sepi, tak ada petugas dalamnya.
Di daun pintu tertempel kertas berisi pemberitahuan bahwa pelayanan ditutup selama tiga hari berturut-turut mulai Kamis (8/2/2024) dengan alasan libur nasional. Puskesmas hanya dibuka bagi pasien gawat darurat seperti kecelakaan atau ibu bersalin.
Beberapa orang yang berkumpul di depan puskesmas itu menyesalkan adanya penutupan layanan selama tiga hari itu. ”Puskesmas boleh libur, tapi orang sakit tidak pernah kenal tanggal merah. Ini aneh, tapi nyata,” kata Sisko (45), warga setempat.
Ia menuturkan, beberapa orang sempat datang, tetapi setelah membaca pemberitahuan itu mereka langsung pulang. Hampir semua dari mereka merupakan peserta Jaminan Kesehatan Nasional.
Puskesmas boleh libur, tapi orang sakit tidak pernah kenal tanggal merah. Ini aneh, tapi nyata.
Mereka tak punya pilihan lagi selain memendam penyakit sambil menunggu puskesmas beroperasi kembali. Mereka yang kebanyakan masyarakat miskin itu tak punya ongkos ke rumah sakit yang jaraknya juga tidak dekat. Untuk berangkat ke rumah sakit terdekat, yakni RSUD Prof Dr WZ Johannes Kupang, mereka harus menyewa ojek dengan biaya paling murah Rp 100.000.
Perjuangan untuk mengakses layanan kesehatan juga dirasakan Agnes Nini (60), warga Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur. Beberapa waktu lalu, ia harus menempuh perjalanan panjang dan menguras energi untuk berobat ke rumah sakit.
Setidaknya ia harus menghabiskan waktu lebih dari 12 jam untuk bisa tiba ke rumah sakit di Kupang. Itu pun harus menggunakan perahu motor yang kemudian dilanjutkan dengan kapal. Jarak dan waktu yang panjang itu harus ditempuhnya karena di daerahnya tidak tersedia dokter spesialis yang dibutuhkan untuk penyakitnya.
”Ternyata pegang kartu saja belum menjamin. Kita harus berjuang cari rumah sakit. Ada KIS (Kartu Indonesia Sehat), tapi rumah sakit jauh,” ujarnya.
Baca juga: Sakit Susah, Mati Juga Susah
Tidak hanya itu, sekalipun sudah bisa mengakses layanan kesehatan, fasilitas yang didapatkan juga tidak optimal. Gusti (22), warga Kota Kupang yang menderita pembengkakan jantung, selama dua minggu tidak mendapatkan perawatan khusus. Selama itu, ia hanya diinapkan di bangsal rumah sakit.
Kondisi serupa juga dialami salah satu warga di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Juhar (65), Kepala Desa Muara Enggelam, Kecamatan Muara Wis, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Ia teringat pada warganya yang meninggal karena terkendala akses ke rumah sakit.
Meski sudah terdaftar sebagai peserta JKN dan mendapatkan surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), akses untuk memperoleh layanan kesehatan ke rumah sakit rujukan tidak mudah. Untuk dirujuk ke rumah sakit di Kecamatan Kota Bangun, misalnya, warga harus berperahu sekitar satu jam saat air danau tinggi. Jika air danau surut, waktu tempuh bisa 1,5-2 jam.
Setelah itu, mereka mesti menyewa mobil atau ojek ke rumah sakit. Perjalanan panjang itu sedikitnya butuh ongkos Rp 400.000. Biaya yang besar itulah yang menjadi salah satu penyebab utama warga terbatas untuk menjangkau layanan kesehatan di rumah sakit.
Inisiatif sebenarnya sudah muncul dari warga setempat untuk mengatasi keterbatasan tersebut. Warga setempat akhirnya membentuk Forum Masyarakat Sehat. Forum tersebut dibentuk dengan tujuan membantu pembiayaan kesehatan, terutama pembiayaan akomodasi ke fasilitas kesehatan rujukan. Pembiayaan didapatkan dari hadiah lomba serta iuran warga.
Kesenjangan
Kisah Sisko, Agnes, Gusti, dan Juhar berbeda dengan yang dialami Vonny (55). Warga Gunung Anyar, Surabaya, tersebut relatif lebih mudah untuk mengakses layanan kesehatan. Ia hampir setiap bulan melakukan perawatan fisioterapi di RS Gotong Royong Surabaya. Layanan rujukan pun jauh lebih mudah karena bisa dilakukan secara daring.
Baca juga: Layanan Kesehatan di Daerah Terpencil
Kemudahan itu juga dialami Yudah Sukardi (65). Ia tidak mendapati kesulitan untuk mendapatkan perawatan di RS Haji Surabaya. Ketika harus berobat atau melakukan kontrol kesehatan, ia bisa mendapatkan pelayanan tanpa melalui unit gawat darurat. Menurut dia, semuanya sudah terukur dan tahapannya pun jelas. Bahkan, obat saat ini sudah bisa diantarkan ke rumah pasien.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya Nanik Sukristina menuturkan, puskesmas di Surabaya membuka layanan selama 24 jam untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan pemeriksaan, pengobatan, dan kegawatdaruratan. Layanan itu sudah mulai dijalankan sejak November 2023.
Kemudahan mengakses pelayanan kesehatan dengan program JKN juga diakui Marianus (39). Warga asal Nusa Tenggara Timur yang saat ini menetap di Kota Denpasar, Bali, itu merasakan kemudahan mengakses layanan kesehatan sebagai peserta JKN ketika istrinya melahirkan. Dirinya hanya mengurus surat rujukan dari klinik yang melayani program BPJS Kesehatan.
Marianus mengaku dirinya tidak mengeluarkan biaya untuk mengakses pelayanan kesehatan bagi istrinya saat menjalani persalinan di rumah sakit. Ia hanya mengeluarkan biaya untuk kebutuhan lain selama perawatan. ”Mudah dan murah karena ada BPJS (JKN). BPJS sangat membantu asalkan tidak lupa membayar iurannya setiap bulan,” ujar Marianus.
Kesenjangan layanan kesehatan menjadi potret persoalan yang masih terjadi dalam penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional. Setiap peserta JKN berhak memperoleh manfaat pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, pemerintah serta BPJS Kesehatan harus berupaya agar setiap masyarakat, terutama masyarakat di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan bisa mendapatkan akses kesehatan yang berkualitas.
Dalam aturan pun sudah mengakomodasi adanya layanan ambulans bagi peserta yang harus dirujuk dari satu fasilitas kesehatan ke fasilitas kesehatan lainnya. Hal itu sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2023 tentang Pembiayaan JKN.
Baca juga: Masih Timpangnya Distribusi Tenaga Kesehatan di Indonesia
”Biaya rujukan ini sudah meliputi biaya rujukan melalui darat dan laut dengan tarif pelayanan sesuai standar yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Tarif itu dibayar BPJS Kesehatan kepada FKTP yang merujuk. Sayangnya, banyak peserta yang tidak mengetahui adanya layanan ini. Jadi perlu ada edukasi yang lebih luas ke masyarakat. Kita juga perlu dorong biaya ambulans udara,” ujarnya.