Jaga Keberlanjutan Pembiayaan JKN, Opsi Kebijakan Perlu Dipertimbangkan
Keberlanjutan pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional perlu dijaga untuk memastikan layanan diterima masyarakat optimal.
JAKARTA, KOMPAS — Keberlanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional menjadi keniscayaan dengan besarnya manfaat yang sudah dirasakan masyarakat di Indonesia. Namun, upaya untuk menjaga keberlanjutan tersebut bukan tanpa tantangan. Tujuan untuk menyehatkan masyarakat dapat tercapai secara optimal apabila kondisi pembiayaan dalam program JKN juga sehat.
Laporan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan per 31 Desember 2023 menunjukkan, kondisi keuangan jaminan sosial (DJS) kesehatan dalam pembiayaan program JKN masih sesuai ketentuan dengan aset bersih Rp 57,76 triliun. Kondisi keuangan itu dinyatakan sehat. Dengan aset tersebut diestimasi bisa mencukupi untuk 4,36 kali bulan pembayaran klaim ke depan.
Jumlah itu menurun dibandingkan pada Desember 2022 dengan aset bersih mencukupi untuk 5,9 kali bulan pembayaran klaim ke depan. Adanya aset bersih dalam dana jaminan sosial menggambarkan kondisi pembiayaan sehat. Sebab, sejak pertama kali diluncurkan pada 2014 sampai 2020, kondisi keuangan dana jaminan sosial kesehatan defisit. Pada 2019 bahkan defisit Rp 51 triliun.
Ketua Komisi Pengawasan, Monitoring, dan Evaluasi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Muttaqien di Jakarta, Selasa (13/2/2024), mengatakan, berdasarkan hitungan aktuaria, kondisi dana jaminan sosial (DJS) kesehatan dalam pelaksanaan JKN diestimasikan sehat sampai akhir tahun 2024. Karena itu, penyesuaian iuran sebagai upaya menjaga keberlanjutan pembiayaan JKN belum diperlukan sampai akhir 2024.
Baca juga: Potensi Selisih Biaya JKN Rp 19 Triliun, Mitigasi Pendanaan Perlu Disiapkan
”Akan tetapi, persiapan dan mitigasi risiko sejak dini diperlukan sebagai persiapan menghadapi persoalan DJS kesehatan di tahun 2025 ataupun awal tahun 2026,” ujarnya.
Muttaqien mengatakan, pembiayaan program JKN menjadi salah satu aspek amat penting untuk menjaga keberlanjutan program tersebut. Untuk menjaga keberlanjutan pembiayaan JKN, dibutuhkan keseimbangan antara penerimaan (revenue) dan pengeluaran (spending) dalam pemanfaatan layanan kesehatan. Penerimaan DJS kesehatan terutama didapat dari iuran yang diterima dari peserta JKN.
Karena itu, apabila besaran iuran tidak lagi sesuai beban biaya manfaat yang harus dikeluarkan, penyesuaian besaran iuran perlu dilakukan. Sesuai Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 Pasal 38, besaran iuran perlu ditinjau paling lama dua tahun sekali.
Persiapan dan mitigasi risiko sejak dini diperlukan sebagai persiapan menghadapi persoalan DJS kesehatan di tahun 2025 ataupun awal tahun 2026.
Jika diperlukan penyesuaian, DJSN akan melakukan peninjauan iuran dan mengusulkan perubahan besaran iuran kepada Presiden. Akan tetapi, penyesuaian iuran tersebut saat ini dinilai belum diperlukan setidaknya sampai akhir 2024.
Beban kesehatan
Guru Besar Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Ascobat Gani menyampaikan, kondisi DJS kesehatan yang relatif sehat tidak akan terjamin keberlanjutannya jika tanpa upaya antisipasi sejak dini. Beban kesehatan masyarakat yang semakin besar akan mengancam sistem pembiayaan dalam program JKN.
Pada masa pandemi Covid-19, sebagian besar masyarakat enggan ataupun takut untuk melakukan pemeriksaan dan pengobatan ke fasilitas kesehatan. Hal itu turut berdampak pada menurunnya jumlah biaya manfaat yang dikeluarkan dalam program JKN.
Namun, pascapandemi Covid-19, masyarakat mulai kembali datang ke fasilitas kesehatan. Sejumlah peserta yang berobat dalam kondisi lebih buruk akibat pengobatan tertunda selama pandemi.
Baca juga: Biaya Manfaat Naik Rp 30 Triliun, Antisipasi Risiko Defisit
”Beban biaya kesehatan katastropik di masyarakat juga meningkat. Biaya untuk penyakit katastropik termasuk biaya paling besar yang dikeluarkan BPJS Kesehatan. Belum lagi ke depan akan ada makin banyak penduduk lansia (lanjut usia) yang lebih rentan terhadap penyakit. Kondisi ini akan menjadi ancaman bagi cashflow (arus kas) dalam dana jaminan sosial,” tutur Ascobat.
Berdasarkan data BPJS Kesehatan pada 2023, biaya untuk penyakit katastropik lebih dari Rp 34,7 triliun. Biaya terbesar pada pembiayaan penyakit jantung Rp 17,6 triliun untuk 20 juta kasus, kanker sebesar Rp 5,9 triliun untuk 3,8 juta kasus, stroke Rp 5,2 triliun untuk 3,4 juta kasus, dan gagal ginjal Rp 2,9 triliun untuk 1,5 juta kasus.
Selain itu, keberlanjutan pembiayaan program JKN terancam defisit dengan makin besarnya selisih dana jaminan kesehatan dengan jumlah iuran yang diterima. Biaya manfaat yang harus dibayarkan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional, termasuk biaya promotif dan preventif pada tahun 2024, diproyeksikan lebih dari Rp 176,8 triliun.
Adapun biaya iuran yang diterima pada 2024 sebesar Rp 157,8 triliun. Dari jumlah itu, selisih antara biaya manfaat dan iuran mencapai Rp 19 triliun. Selisih biaya tersebut ditutup dengan aset bersih dari DJS kesehatan (Kompas, 12/1/2024).
Opsi pembiayaan
Menurut Ascobat, kenaikan iuran tidak dapat dihindari dengan mempertimbangkan beban kesehatan yang semakin besar dalam program JKN. ”Besaran iuran ini merupakan hitungan aktuaria yang nyata. Jangan sampai itu dikesampingkan karena pertimbangan politik. Hal ini apalagi dengan semakin besarnya jumlah peserta JKN yang tercakup,” katanya.
Selain kenaikan iuran, sumber pembiayaan lain untuk dana jaminan sosial kesehatan juga perlu lebih dioptimalkan. Itu, antara lain, dengan memanfaatkan dana bagi hasil cukai hasil tembakau dan dana dari cukai minuman berpemanis. Upaya pembatasan manfaat dan penerapan standar pelayanan kesehatan sesuai panduan klinis (clinical pathway) bisa dipertimbangkan.
Muttaqien menuturkan, keberlanjutan pembiayaan dalam program JKN juga bisa dijaga dengan memastikan agar kolektibilitas iuran dari semua segmen terjaga. Karena itu, DJSN mendorong agar BPJS Kesehatan berupaya meningkatkan akuisisi peserta baru, menjaga kepesertaan aktif, dan melakukan kegiatan reaktivasi peserta. Saat ini, ada 53,7 juta peserta nonaktif dalam program JKN.
DJSN juga memantau pengeluaran DJS kesehatan agar pembiayaan JKN dapat terus terjaga. Kejadian fraud, baik di fasilitas kesehatan, peserta, BPJS Kesehatan, maupun pemangku kebijakan lainnya, harus dicegah agar pembiayaan bisa efektif.
Sejumlah opsi kebijakan lain yang dapat dipertimbangkan, yakni penyesuaian manfaat dan penerimaan bantuan dari pemerintah. ”Semua opsi itu perlu disimulasi secara teknokratik dan memperhatikan kemampuan masyarakat dan fiskal pemerintah,” tuturnya.
”Hal terpenting adalah dari sisi political viability (kelayakan dari aspek politik), yakni bagaimana opsi-opsi yang ada dikomunikasikan dan dikonsultasikan kepada semua stakeholder (pemangku kepentingan) terkait sehingga menjadi opsi kebijakan terbaik, mampu dilaksanakan, dan diterima oleh semua kalangan,” tutur Muttaqien.
Secara terpisah, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menyampaikan, terkait upaya pencegahan tindakan kecurangan atau fraud, BPJS Kesehatan telah berupaya melakukan penguatan untuk mencegah, mendeteksi, dan menangani kasus-kasus kecurangan di fasilitas kesehatan.
BPJS Kesehatan bersama pemangku kepentingan terkait juga telah membentuk tim antikecurangan untuk mengatasi hal tersebut. Tim ini tersebar di seluruh Indonesia.
Untuk meningkatkan kolektibilitas iuran, Ghufron menuturkan, BPJS Kesehatan membuka berbagai saluran pembayaran bagi peserta. Ada 950.000 saluran pembayaran bisa diakses warga. Kemudahan ini diharapkan meningkatkan kolektibilitas iuran dari peserta. Selain itu, peserta juga diharapkan bisa mengecek status kepesertaan secara berkala untuk memastikan status kepesertaannya masih aktif.
Baca juga: Tidak Cukup Sekadar Menjadi Peserta JKN
”Program JKN ini memiliki nilai gotong royong yang betul-betul dirasakan bangsa Indonesia. Jadi keberlanjutan program ini harus diperhatikan. Untuk itu, dari sisi pembiayaan kita harus berpikir agar cost effective, tetapi di sisi lain akses pelayanan di masyarakat juga harus bermutu,” tuturnya.
Ali Ghufron menambahkan, keberlanjutan program JKN tidak bisa dilakukan satu pihak saja. Program JKN merupakan bentuk tanggung jawab dari berbagai kementerian dan lembaga serta masyarakat, termasuk akademisi, pemberi layanan kesehatan, serta pengusaha.
Dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional pun disebutkan setidaknya ada 30 kementerian atau lembaga terkait yang turut serta untuk meningkatkan pelaksanaan program tersebut.