Penghitungan Penurunan Emisi di Kelautan Terkendala Data Dasar
Tidak adanya data dasar menyulitkan dalam penetapan target penurunan emisi di sektor kelautan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelautan merupakan salah satu sektor terpenting dalam upaya penurunan emisi dan mitigasi perubahan iklim. Namun, hingga kini belum tersedia metodologi dan data dasar yang bisa digunakan. Kendala ini perlu diselesaikan agar mendukung inventarisasi gas rumah kaca serta melihat tingkat serapan dan penyimpanan karbon dari berbagai ekosistem karbon biru.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi mengemukakan, upaya pengendalian perubahan iklim yang dilakukan Indonesia bukan semata-mata mengikuti agenda global. Pengendalian perubahan iklim merupakan upaya dalam melaksanakan mandat konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, yaitu masyarakat Indonesia berhak mendapatkan lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
”Yang kita lakukan jelas untuk memenuhi hak masyarakat. Namun, mengingat perubahan iklim ini dirasakan oleh semua orang, maka kerangka pelaksanaannya dan metodologinya mengacu pada tatanan atau kesepakatan-kesepakatan yang ada di tingkat global,” ujarnya dalam Dialog Karbon Biru di Bogor, Jawa Barat, Selasa (20/2/2024).
Menurut Laksmi, kelautan merupakan salah satu sektor terpenting dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Dalam sejumlah perundingan global, Indonesia juga gencar menyuarakan agar isu kelautan secara resmi bisa masuk ke dalam agenda negosiasi.
Meski demikian, Laksmi mengakui, upaya penurunan emisi di sektor kelautan masih menghadapi sejumlah tantangan terutama dari aspek metodologi dan data informasi dasar (baseline). Ketiadaan data baseline ini akan menyulitkan dalam penetapan target penurunan emisi.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Nilai Ekonomi Karbon, upaya mitigasi perubahan iklim di sektor kelautan atau karbon biru diselenggarakan oleh kementerian yang menangani isu kelautan yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Oleh karena itu, KLHK bersama KKP terus berkoordinasi terkait data baseline.
”Kami terus mengeksplorasi agar bisa mendapatkan data baseline terkait ekosistem mana saja yang nantinya dapat didahulukan untuk masuk ke dalam NDC (dokumen kontibusi nasional penurunan emisi). Dalam NDC, bisa saja nanti kita memilih satu subsektor, misalnya padang lamun karena mangrove sudah masuk ke sektor kehutanan,” ujarnya.
Selain itu, kata Laksmi, KLHK dan KKP juga tengah mengembangkan metodologi untuk menghitung penurunan emisi di sektor kelautan. Penghitungan ini diperlukan sebagai upaya inventarisasi gas rumah kaca guna melihat tingkat serapan dan penyimpanan karbon dari beberapa ekosistem karbon biru seperti mangrove, padang lamun, dan terumbu karang.
Bila memakai istilah kasar, jangan sampai ada yang namanya blue carbon colonialism karena banyak pemain global yang kemudian ingin membeli konsesi ekosistem tersebut.
”Tahun 2024 ini diharapkan Indonesia bisa menyampaikan second NDC yang di dalamnya akan menambahkan sektor dan subsektor. Saat ini, kita baru ada lima sektor dan belum semua subsektor masuk ke dalam komitmen NDC. Jadi, nantinya sektor kelautan dan subsektornya juga akan kita masukkan,” tuturnya.
Direktur Pulau-pulau Kecil dan Tata Ruang LautKKP Muhamad Yusuf mengatakan, faktor emisi merupakan salah satu hambatan dalam menghitung inventori gas rumah kaca di sektor kelautan. Sebagai contoh, faktor emisi di ekosistem padang lamun memiliki data yang sangat bervariasi sehingga sulit menggunakan data tersebut untuk proses inventarisasi.
”Sekarang kami sudah menghitung berapa faktor emisi kalau padang lamun dirusak. Kami juga sudah melakukan skenario berapa penurunan emisi di padang lamun. Jadi, nantinya kami akan menyebutkan berapa kontribusi padang lamun dalam penurunan emisi,” katanya.
Harus berhati-hati
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB UniversityLuky Adrianto mengatakan, pemerintah perlu menetapkan terlebih dahulu metodologi yang digunakan untuk mengukur penurunan emisi di sektor kelautan. Sebab, metodologi ini sangat menentukan dan merupakan aspek penting yang dilihat oleh pihak global.
Luky juga menekankan, penghitungan nilai ekonomi karbon dalam ekosistem karbon biru harus dilakukan dengan hati-hati. Hal ini bertujuan agar tidak ada penghitungan yang melebihi kapasitas atau juga menggeneralisasi semua nilai ekosistem biru tersebut.
Ekosistem karbon biru, seperti hutan mangrove, padang lamun, dan rawa payau, merupakan ekosistem pesisir yang mampu menyerap dan menyimpan karbon dalam jumlah besar. Indonesia sebagai pemilik sekitar 17 persen cadangan karbon biru global berpeluang besar dalam melakukan perdagangan karbon internasional yang bersumber dari ekosistem pesisir.
”Bila memakai istilah kasar, jangan sampai ada yang namanya blue carbon colonialism karena banyak pemain global yang kemudian ingin membeli konsesi ekosistem tersebut. Kita harus menyampaikan literasi di komunitas dengan jelas,” ujarnya.