”Publisher Rights” saat Hari Pers, Momentum Menyegarkan Ekosistem Media
Perpres ”publisher rights” diharapkan menghadirkan persaingan yang berkeadilan antara platform digital dan media.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo direncanakan akan mengumumkan peraturan presiden tentang publisher rights atau hak penerbit pada puncak peringatan Hari Pers Nasional di Jakarta, Selasa (20/2/2024) sore. Regulasi ini diharapkan menjadi momentum menyegarkan ekosistem media Tanah Air yang dalam beberapa tahun terakhir terpuruk dihantam gelombang disrupsi digital.
Peraturan presiden (perpres) publisher rights bertujuan menghadirkan persaingan yang berkeadilan antara platform digital dan media. Selain itu, juga mendorong kerja sama kedua pihak untuk mendukung jurnalisme berkelanjutan.
Campur tangan negara melalui regulasi sangat dibutuhkan. Sebab, selama ini distribusi konten didominasi oleh perusahaan platform. Tanpa adanya dukungan untuk konten berkualitas, produksi konten sensasional dengan judul umpan klik atau click bait akan sulit dibendung.
”Meskipun terlambat, pengesahan publisher rights ini momentum penting untuk menyegarkan dan menyehatkan ekosistem media nasional kita. Penyegaran ini menginginkan persaingan yang sehat dan setara,” ujar Dewan Pengawas LPP (Lembaga Penyiaran Publik) TVRI Agus Sudibyo di Jakarta, Selasa (20/2/2024).
Berdasarkan catatan Kompas, perpres publisher rights telah diwacanakan lebih dari tiga tahun lalu. Bahkan, Saat menghadiri puncak Hari Pers Nasional tahun lalu di Sumatera Utara pada 9 Februari 2023, Presiden Jokowi meminta regulasi itu dirampungkan dalam waktu satu bulan.
Agus mengatakan, regulasi ini tidak serta-merta memberikan remunerasi kepada publisher atau media. Namun, publisher rights menjadi fondasi untuk membangun bisnis media yang lebih baik.
Asosiasi media perlu menjelaskan regulasi ini kepada para anggotanya. Perpres publisher rights bukan mewajibkan platform memberikan uang kepada media, tetapi untuk bekerja sama atau bernegosiasi dalam bisnis.
”Tidak mudah memperjuangkan remunerasi meaningfull. Apalagi, jumlah media di Indonesia banyak sekali. Namun, paling tidak, kita menunjukkan Indonesia berani meregulasi platform,” katanya.
Regulasi itu juga menjadi pijakan penting bagi Indonesia untuk mengatur rana digital. Hal ini sangat diperlukan karena Indonesia memiliki pasar digital yang sangat besar. Perpres publisher rights diharapkan dapat diperkuat dengan dijadikan sebagai undang-undang dalam beberapa tahun mendatang.
”Terlepas nantinya ada beberapa catatan, pasal kurang sempurna, realisasi perpres ini patut dihargai. Mungkin inilah capaian terbaik saat ini,” ucapnya.
Menurut Agus, memperjuangkan bisnis media berkelanjutan sejalan dengan mendukung konten berita berkualitas. Dengan bisnis yang baik, kesejahteraan pekerja media akan terpenuhi. Dengan demikian, mereka bisa fokus untuk memproduksi berita berkualitas.
”Jadi, ini bukan dualisme, tetapi dualitas yang saling berhubungan. Media yang kontennya bagus karena bisnisnya berkelanjutan. Problem (media) kita selama ini adalah bisnisnya yang mengalami disrupsi,” ujarnya.
Regulasi ini tidak serta-merta memberikan remunerasi kepada publisher atau media. Namun, publisher rights menjadi fondasi untuk membangun bisnis media yang lebih baik.
Agus menuturkan, kehidupan demokrasi ditentukan oleh kualitas ruang publik yang dapat mengontrol kekuasaan. Ruang publik sangat bergantung pada apa yang disajikan media massa kepada masyarakat.
”Fungsi kontrol itu dipengaruhi kualitas informasi. Kalau informasinya bermakna, media memberi tahu masyarakat fakta sebenar-benarnya. Namun, jika isi kontennya ngawur atau hoaks, publik menjadi gagal paham sehingga bisa salah menjalankan kritik,” ujarnya.
Imbasnya, masyarakat rentan dimobilisasi untuk kepentingan tertentu. Jadi, bisnis media berkelanjutan, kebebasan pers, dan demokrasi menjadi trilogi yang saling berkaitan.
”Media berkelanjutan menentukan kualitas ruang publik. Sementara ruang publik yang sehat berkontribusi terhadap kualitas demokrasi. Perpres publisher rights yang melibatkan asosiasi (media dan jurnalis) juga mencirikan kebebasan pers,” ucapnya.
Kehati-hatian
Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Ade Wahyudin mengatakan, publisher rights menjadi salah satu upaya melindungi kesejahteraan jurnalis. Namun, hal ini perlu dibarengi dengan sikap kehati-hatian dalam penerapan regulasi tersebut.
”Kita merespons baik ketika ada intervensi pemerintah untuk melindungi bisnis media. Hal ini tentu diharapkan berdampak terhadap kesejahteraan jurnalis. Namun, jangan sampai nanti ada sensor terhadap konten-konten berita yang bisa dikerjasamakan dengan platform,” katanya.
Selain perlindungan bisnis, perlindungan terhadap keselamatan jurnalis juga tidak boleh diabaikan. Laporan tahunan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers pada 2023 mencatat 87 serangan terhadap jurnalis, media, dan narasumber. Korbannya sebanyak 126 individu dan organisasi atau media.
Jumlah serangan itu meningkat dibandingkan tahun 2022 yang sebanyak 51 kekerasan dengan 113 korban individu dan organisasi. Selain kekerasan fisik, serangan terhadap pers juga terjadi di ruang digital dan secara verbal.
Pelakunya dari berbagai latar belakang, seperti oknum aparat, pejabat publik, preman, pengusaha, anggota organisasi masyarakat, satpam, pegawai swasta, dan kerabat pejabat. Bentuk kekerasannya juga beragam, seperti penganiayaan, penyekapan, penembakan, perampasan alat kerja, dan ancaman. Ada juga kekerasan seksual, teror, penghapusan data, penghalang-halangan liputan, serta serangan siber.
Menurut Ade, perhatian pemerintah terhadap penyelesaian kasus kekerasan pada jurnalis sangat minim. Sejumlah kasus yang dilaporkan ke kepolisian tak kunjung terselesaikan.
”Kekerasan yang tidak diungkap akan terus berulang. Ancaman yang dibiarkan bisa menyebabkan jurnalis ketakutan. Pada akhirnya, amunisi demokrasi dari suara kritis jurnalis itu akan berkurang,” katanya.
Sebelumnya, dalam Konvensi Nasional Media Massa: Pers Mewujudkan Demokrasi di Era Digital, di Jakarta, Senin (19/2/2024), Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi menyebutkan, sebagai salah satu pilar demokrasi, pers perlu terus didukung di tengah disrupsi teknologi digital. Pemerintah berupaya menghadirkan kebijakan afirmatif untuk mendorong fair playing field (arena yang adil) antara media Tanah Air dan perusahaan platform digital.
”Langkah ini dilakukan untuk memastikan disrupsi digital tidak semakin menggerus keberlangsungan industri media. Salah satu kebijakannya berupa rancangan peraturan presiden mengenai publisher rights (hak penerbit). Insya Allah sebentar lagi kita akan menyambut disahkannya regulasi ini oleh Presiden (Joko Widodo),” katanya.